tirto.id - Rusdy Rukmarata, Direktur Artistik dan Founder Eksotika Karmawibhangga Indonesia (EKI) Dance Company, dan Pandita Utama Majelis Nichiren Syosyu Buddha Dharma Indonesia (MNSBDI) meninggal dunia pada 19 April 2023 pada usia 61 tahun.
Dalam dunia tari kontemporer Indonesia, Rusdy dengan legacy-nya, EKI Dance Company-nya, dapat dikatakan salah salah satu perusahaan tari terbaik.
Berikut adalah catatan dari hasil wawancara saya dengan Rusdy di tahun 2021, pada usia seperempat abad EKI Dance Company.
Dua puluh lima tahun (1996-2021) sudah gairah kesenian tak putus-putus diproduksi dan dihadirkan dari beberapa petak rumah di komplek Jalan Padang, Manggarai, Jakarta Selatan. Dua puluh lima tahun, atau seperempat abad, gairah kesenian itu kian seperti anak muda matang menemukan berbagai kesenangan baru dan mengolahnya ke dalam kreatifitas tak terbendung.
Dua puluh lima tahun usia Eksotika Karmawibhangga Dance (EKI) Dance Company, sebuah perusahaan seni dengan basis tari dibangun oleh tangan dingin Aiko Senosoenoto dan Rusdy Rukmarata, sepasang suami-istri yang meyakini bahwa jalan seni, khususnya tari, adalah bagian dari menularkan kebaikan-kebaikan dan rasa empati pada sesama umat manusia.
Tari, bagi EKI Dance Company, adalah jalan lain untuk memperlihatkan sisi lain dari jalan seni, bahwa di balik tujuan seni yang humanis, profesionalisme dan disiplin ketat harus dijalankan oleh penyelenggara seni itu sendiri.
Tidak mudah menghadirkan dan membuat sebuah komunitas dan lembaga seni bertahan selama 25 tahun. Terlebih EKI dari awal menyebut diri mereka sebagai dance company, sebuah perusahaan seni, dimana rutinitasnya tidak sekedar memproduksi tari.
Terdapat kerja manajemen, kerja komunikasi publik, rekrutmen dan regenerasi anggota, inkubasi ide dan gagasan, hingga kerja-kerja lain selayaknya sebuah perusahaan untuk menyesuaikan bagaimana seni tari tetap terbarukan secara bentuk dan muatannya ketika dihadirkan ke publik.
EKI menjadi salah satu dari sekian dance company di Indonesia, yang dapat bertahan dan menyesuaikan diri di tengah gegasnya perubahan dunia, tak terkecuali keinginan untuk menghadirkan sesuatu yang tetap dinikmati oleh beragam generasi dalam bidang seni tari.
Generasi bertumbuh, terus bertukar dan berganti, dan EKI Dance Company tentu tidak hadir begitu saja sebagaimana dilihat oleh publik hari ini. Perjalanan panjang selama seperempat abad yang ditempuh oleh perusahaan seni ini menjadikan mereka tenang dalam memandang dinamika kesenian di Indonesia.
EKI Dance Company menjadi sebuah perusahaan dengan karya-karya yang dapat menyesuaikan bentuk dan muatannya di tengah keinginan-keinginan masyarakat akan seni. Dengan gagasan dan niat awal yang tetap mereka pegang sampai hari ini, bahwa kesenian melalui tari harus mencerdaskan dan mendatangkan perilaku positif, baik terhadap internal EKI atau masyarakat penontonnya.
Karena itu pula, sepanjang karir EKI Dance Company, mereka tidak segan-segan menggarap ide dari sesuatu yang dianggap tabu bagi sebagian masyarakat Indonesia. Semisal menggarap mengenai perilaku negatif anak-anak muda pada dekade 1990-an, perilaku pergaulan dan seks bebas, penggunaan narkotika, tawuran antar pelajar.
EKI Dance Company didirikan di awal masa perubahan besar-besaran dalam sistem perpolitikan dan pada tubuh pemerintahan Indonesia sedang terjadi. Krisis moneter terasa akan melanda, negeri mulai bergejolak, dan berbagai peristiwa mulai terjadi menjadi bagian penting dari kesejarahan Indonesia.
Dalam kondisi finansial dan krisis keuangan dianggap paling buruk tersebut, EKI Dance Company hadir membawa keyakinan bahwa kesenian harus mengambil bagian dan jalan pencerahan.
Rusdy Rukmarata dan Aiko Senosoenoto berpandangan bahwa kesenian harus mengambil bagian lain yang mungkin tidak terperhatikan dalam kondisi serba tidak jelas itu. Dan EKI Dance Company mengambil sikap, dalam situasi tersebut, persoalan anak-anak muda adalah bagian yang salah satunya harus diperhatikan.
Karmawibhangga pun menjadi pilihan untuk penamaan perusahaan seni yang didirikan oleh Aiko dan Rusdy. Secara filosofis Karmawibhangga mengacu pada relief pada bagian kaki Candi Borobudur (Kamadhatu). Relief Karmawibhangga dipahatkan pada 160 panil yang menggambarkan ajaran tentang karma, hukum sebab akibat, perbuatan yang baik dan buruk.
Karmawibhangga dalam ajaran Buddha merupakan paduan dari karma berarti perbuatan, tingkah laku, dan wibhangga berarti alur, gelombang. Karmawibhangga adalah paparan tentang alur atau gelombang kehidupan manusia sebagai akibat perilaku kehidupannya yang lalu.
Setiap perbuatan manusia akan berakibat pada bentuk kelahirannya setelah si pelaku tersebut meninggal. Ia bisa dilahirkan kembali sebagai manusia yang cantik atau buruk, yang kaya atau miskin, bodoh atau pandai, dan lain sebagainya.
Hukum karma atau hukum sebab-akibat berlaku untuk semua orang, baik raja, bangsawan, pendeta maupun orang kebanyakan. Ajaran Karmawibhangga meneguhkan bahwa suatu perbuatan pasti ada akibatnya.
Panil-panil Karmawibhangga pada kaki Borobudur kini ditutup oleh struktur batu penyangga dan tak dapat dilihat oleh orang-orang. Tapi bagi Rusdy dan Aiko, filosofi dan muatan yang hadir, dalam pengisahan panil-panil tersebut kemudian dijadikan landasan dalam berkesenian mereka.
Selain dari kandungan ajaran, mereka pun memandang panil tersebut sebagai bentuk keindahan “eksotika” dari kesenian luhur Indonesia, ajaran dan keindahan yang kemudian ditularkan dalam bentuk lain: tari.
Perkenalan Rusdy dengan Tari
Proses panjang yang ditempuh EKI Dance Company tidak akan pernah lepas dari perjalanan hidup pendirinya, Rusdy Rukmarata dan Aiko Senosoenoto. Rusdy sebagai seorang penari dan koreografer sudah mulai mengenal dan menempuh jalan kesenian pada tahun 1979 sewaktu dia SMA.
Ia mulai tertarik dengan kesenian, khususnya tari, pada saat terlibat dalam acara pentas yang diselenggarakan sekolahnya di musim perpindahan tahun ajaran baru.
“Saya waktu SMA, Jurusan Sastra, karena laki-laki sedikit saya harus terlibat dan ikut-serta. Padahal, sebelumnya saya tidak pernah bersentuhan dengan dunia tari, lebih menggemari olahraga, sepak bola, dan sebagainya,” kata Rusdy.
Rusdy yang pada awalnya tidak mau terlibat dalam dunia tari, karena stigma terhadap penari laki-laki, terpaksa harus ikut. Pada waktu itu ia bertemu dengan Linda Karim seorang pengajar balet dari Nritya Sundara yang diminta oleh sekolahnya untuk mengajar.
Rusdy merasa stigma terhadap penari laki-laki mulai hilang dari pikirannya. Dalam balet, pikir Rusdy, ternyata terdapat gerakan yang tidak hanya dihadirkan khusus untuk perempuan, tapi untuk laki-laki juga, dalam artian gerakan tari menghapus batasan gender.
Dari pengalaman pertama menari untuk pentas seni sekolah itu kemudian Rusdy merasa betah untuk ikut terlibat dalam dunia tari. Ia mulai terlibat dalam pentas-pentas Nritya Sundara di Taman Ismail Marzuki (TIM) dan berbagai tempat lain.
Dari keikutsertaan Rusdy dengan Linda Karim, Rusdy mulai mengenal koreografer-koreografer lain di dunia tari Indonesia, khususnya mereka yang kerap pentas di TIM. Rusdy kemudian mulai terlibat tidak hanya dengan Linda Karim, tapi juga dengan Farida Feisol, Maya Tamara, Suriyatin, Margie Kalhorn, dan Rudy Wowor.
“Periode awal itu saya ikut juga dalam garapannya Farida Feisol, seperti Gunung Agung Meletus, meski Cuma ikut lari-lari bawa obor. Tapi dari sana saya kemudian mengenal banyak penari lain semisal Tom Ibnur,” kata Rusdy.
Tidak hanya balet, Rusdy juga terlibat dalam pementasan genre seni lain, semisal tari Melayu. Ia pernah terlibat dalam pertunjukan Putri Pucuk Kelumpang dan memperluas jejaringnya dalam dunia tari. Pada periode awal ini nama Rusdi semakin dikenal ketika ia diwawancarai oleh stasiun TVRI di awal tahun 80-an untuk program "Temu Remaja".
Rusdy pernah ditantang untuk membuat satu koreografi untuk ditampilkan di stasiun televisi tersebut. Ia kemudian membuat koreografi mengenai Indonesia berdasarkan lagu Sakura-nya Fariz RM.
Keterlibatan Rusdy dengan Nritya Sundara dan perkenalannya dengan orang-orang di dunia seni tari memantapkan dirinya untuk memilih menjadi penari profesional menjelang akhir masa SMA-nya. Keinginannya tersebut didukung oleh kedua orang tuanya dengan syarat Rusdy harus menyelesaikan sekolah dan memilih untuk melanjutkan sekolah untuk mendukung karirnya.
“Saya pada masa akhir SMA sudah tidak mau sekolah karena sudah kebanyakan job, tari ini-itu, bahkan sudah mulai menggarap koreografi dan mengajar di SMA,” kenang Rusdy. “Orang tua saya memberikan syarat, mereka mendukung saya dalam dunia tari, tapi tetap harus tamat sekolah,” lanjutnya.
Selepas SMA, Rusdy juga iseng untuk ikut ujian Seleksi Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SMPTN) dan lulus di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Indonesia. Perkuliahan Rusdy berjalan lancar, tapi kesibukannya di dunia tari, mulai dari latihan hingga pertunjukan harus membuatnya harus memilih.
“Pada waktu kuliah saya sering dihadapkan pada beberapa pilihan jadwal yang sering berbenturan karena jadwal tari sudah semakin banyak. Semisal memilih ujian perkuliahan, gladi resik dan pertunjukan, mau tak mau saya harus memilih gladi resik dan pertunjukan karena sudah memantapkan diri ingin menjadi penari profesional,” terang Rusdy.
Rusdy lantas memilih meninggalkan perkuliahannya di Universitas Indonesia. Pilihannya untuk meninggalkan perkuliahan tersebut tetap dibicarakan Rusdy pada kedua orangtuanya.
Dukungan tetap didapat Rusdy, dan sebagaimana pernah disampaikan orang tuanya sewaktu ia ingin berhenti sekolah, orangtua Rusdy menyarankan agar Rusdi tetap melanjutkan sekolah, entah itu kuliah di bidang seni atau kursus singkat.
Pada akhirnya Rusdy memutuskan untuk melanjutkan kuliah di Jurusan Seni Universitas Nasional. Di sana Rusdy belajar berbagai hal terkait seni tradisi berbagai daerah di Indonesia.
“Sewaktu itu dekan di sana Bapak Bernard Suryabrata. Saya belajar berbagai tradisi di sana, termasuk tradisi Sunda dan Jawa, tapi jurusan tersebut bertahan sebentar dan bubar,” kata Rusdy.
Dalam masa kebingungan harus melanjutkan kuliah ke mana, Rusdy menemukan peluang untuk melanjutkan sekolah seni di tempat yang ia inginkan, London Contemporary Dance School, Inggris, Beasiswa British Council dan Supersemar. Sewaktu Rusdy menggarap satu pertunjukan khusus untuk anak disabilitas di bawah Yayasan Supersemar, ia mendapat rekomendasi untuk melanjutkan sekolah seni di Inggris.
Namun beasiswa seiring perjalanan beasiswa yang seharusnya ia dapat selama tiga tahun menjadi satu tahun karena berbagai kebijakan dari pemerintahan.
“Beasiswa untuk seni waktu itu dipangkas, Supersemar pada akhirnya hanya membiayai tiket, dan British Council menanggung biaya lainnya,” kata Rusdy yang waktu itu juga beberapa kali pernah pentas kecil-kecilan di British Council Jakarta.
Jalan Rusdy untuk sampai ke London Contemporary Dance School tak mulus begitu saja. Untuk masuk ke sekolah itu Rusdy harus diaudisi di sekolah tersebut, dalam artian ia harus ke Inggris terlebih dahulu. Tapi beruntung waktu itu British Council Jakarta mendatangkan kelompok tari Janet Smith untuk pentas di Jakarta.
Kesempatan Rusdy untuk ke London Contemporary Dance School makin terbuka, ia bisa melakukan audisi di hadapan Janet Smith, karena Janet merupakan pengajar di sekolah tari tersebut.
Rusdy pun diaudisi, bukan dengan menunjukkan kebolehannya dalam tari kontemporer, melainkan tari tradisional Bali. Dan setelah melakukan audisi, Rusdy dinyatakan lolos untuk bersekolah di London Contemporary Dance School.
Tahun 1985 Rusdy berangkat ke Inggris untuk bersekolah. Di London Contemporary Dance School Rusdy mendapatkan teknik-teknik ballet dan berbagai teknik tari populer lain. Dari sekolah itu, Rusdy memandang ada dua hal berubah dan berkembang dari pola pikirnya sebagai seorang penari dan koreografer.
Sebagai seorang penari, ia menemukan kenyataan bahwa pada dasarnya pemahaman untuk menjadi penari, bakat saja tidak cukup melainkan harus ada kerja keras.
“Sebelumnya di Indonesia saya merasa sebagai seorang seniman, bakat menjadi hal utama. Tapi di London Contemporary Dance School saya merasa sebagai seorang olahragawan. Kami mulai latihan rutin pukul 9 pagi,” kata Rusdy.
Hal kedua yang berubah dari cara pikir Rusdy sebagai seorang koreografer, terkait dengan ilmu koreografi.
Di London Contemporary Dance School ia baru mengetahui bahwa koreografi ada ilmunya. Yaitu bahwa selain membuat komposisi, koreografi terkait dengan ilmu terkait ruang, bentuk, ritme yang merupakan dasar yang tidak matematis, dan ukurannya lebih pada estetika dan perasaan.
Penulis: Esha Tegar Putra
Editor: Lilin Rosa Santi