tirto.id - Indonesia Corruption Watch (ICW) melaporkan Ketua KPK Firli Bahuri dan Deputi Penindakan KPK Karyoto atas dugaan pelanggaran kode etik dan pedoman perilaku ke Dewan Pengawas KPK pada 26 Oktober 2020.
Pelaporan itu terkait operasi tangkap tangan (OTT) pihak Universitas Negeri Jakarta di lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan pada 20 Mei 2020. Saat itu, KPK bekerja sama dengan Inspektorat Jenderal Kemendikbud.
Peneliti ICW Kurnia Ramadhana menilai Firli terlalu ambisius mengambil alih penanganan kasus dari Itjen Kemendikbud. Padahal Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK Aprizal sudah menerangkan tidak ada unsur penyelenggara negara. Keputusan Firli, menabrak Pasal 11 ayat (1) huruf a UU KPK 19/2019.
“Sehingga menjadi janggal jika Firli langsung begitu saja menyimpulkan adanya tindak pidana korupsi dan dapat ditangani oleh KPK,” ujar Kurnia dalam keterangan tertulis yang dikutip Tirto, Selasa (27/10/2020).
Kurnia menduga pengambilalihan perkara dilakukan Firli atas inisiatif pribadi kesepakatan bersama antara pimpinan KPK lainnya. Hal tersebut tak sesuai dengan Pasal 21 UU KPK.
Dugaan Pelanggaran Etik Firli & Karyoto
Firli dan juga Karyoto diduga melimpahkan perkara ke Polri tanpa mekanisme gelar perkara di internal KPK tanpa melibatkan pemangku kepentingan di kedeputian penindakan dan para pimpinan KPK lainnya.
Keduanya telah melanggar Pasal 4 ayat (1) huruf b, Pasal 5 ayat (1) huruf c, Pasal 5 ayat (2) huruf a, Pasal 6 ayat (1) huruf e, Pasal 7 ayat (1) huruf a, Pasal 7 ayat (1) huruf b, Pasal 7 ayat (1) huruf c Peraturan Dewan Pengawas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sehingga ICW mendesak agar Dewas segera menyidangkan Firli dan Karyoto, serta memanggil para saksi yang relevan dengan pelaporan ini.
“[Pelaporan] Berdasarkan petikan putusan Apz selaku Plt Direktur Pengaduan Masyarakat KPK, diduga terdapat beberapa pelanggaran serius yang dilakukan oleh keduanya,” tandas Kurnia.
Anggota Dewan Pengawas Komisi Pemberantasan Korupsi (Dewas KPK) Syamsuddin Haris belum bisa mengomentari laporan ICW, sebab ia baru saja mengetahui laporan tersebut.
“Saya baru baca [pelaporan ICW] di media,” ujarnya kepada Tirto, Selasa.
Sementara Wakil Ketua KPK Nawawi Pomolango enggan berkomentar perihal laporan terhadap sejawatnya kepada Tirto, “lebih pas confirm langsung ke Pak Firli,” katanya. Sampai naskah ini ditulis, Firli dan Karyoto belum merespons pertanyaan Tirto seputar kasus ini.
Kasus Berawal dari Laporan Itjen Kemendikbud
OTT KPK di lingkungan Kemendikbud berawal dari laporan Itjen Kemendikbud yang sedang melakukan pengawasan internal pada 15 Mei 2020. Pihak Itjen meminta pendampingan Aprizal, tetapi tiba-tiba ada instruksi penangkapan dari KPK.
Karyoto mengamankan Kabag Kepegawaian UNJ Dwi Achmad Noor beserta barang bukti Rp 27 juta dan 1.200 dolar AS pada 20 Mei 2020, rencananya akan diserahkan kepada Direktur Sumber Daya Ditjen Dikti Kemendikbud dan para staf SDM.
Dwi Achmad Noor digelandang ke KPK untuk dimintai keterangan bersama beberapa orang dari UNJ: Rektor Komarudin, Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan Sofia Hartati; dari Kemendikbud: Analis Kepegawaian Biro SDM Tatik Supartiah, staf SDM Dinar Suliya dan Parjono. Usai diperiksa, KPK menyerahkan penanganan perkara ke Polri pada keesokan harinya.
“Setelah dilakukan permintaan keterangan belum ditemukan unsur pelaku penyelenggara negara,” ujar Karyoto pada 21 Mei 2020.
Setelah dilakukan penyelidikan dan gelar perkara oleh Direktorat Reserse Kriminal Khusus Polda Metro Jaya dinyatakan bahwa, kasus dihentikan karena tidak ada unsur pidana.
“Penyelidik Subdit Tipikor Ditreskrimsus Polda Metro Jaya tidak menemukan adanya tindak pidana atau tindak pidana korupsi sebagaimana konstruksi hukum pada pasal persangkaan yang tertuang di dalam laporan hasil penyelidikan KPK,” ujar Kabid Humas PMJ Kombes Yusri Yunus pada 9 Juli 2020.
Selanjutnya, menurut Yusri, PMJ melimpahkan perkara kepada Itjen Kemendikbud “untuk dilakukan pendalaman.”
Perintah OTT UNJ dari Firli Perlu Didalami Dewas KPK
Imbasnya, Aprizal disidang Dewas KPK karena diduga melanggar etik pada September 2020. Ketika itu Febri Diansyah yang menjadi pendampingnya mengatakan, Aprizal hanya menjalankan tugas Dumas: mengumpulkan informasi dan berkoordinasi dengan Irjen Kemendikbud; dan bukan melaksanakan OTT.
“Persoalan kami pandang baru terjadi ketika ada perintah membawa orang-orang dari Kemendikbud atau UNJ. Menurut hemat kami, inilah yang seharusnya juga didalami,” ujar Febri dalam keterangan tertulis 3 September 2020.
Pernyataan Febri terkonfirmasi dalam sidang putusan Aprizal; Syamsuddin Haris mengungkapkan bahwa, Aprizal sudah mengatakan kepada Firli bahwa tidak ada unsur penyelenggara negara dalam dugaan gratifikasi tersebut.
“Terperiksa [Aprizal] menjawab, ‘Pak tidak ada PN-nya’; direspons ketua ‘Enggak, itu sudah ada pidananya, harus KPK yang menangani, saudara silakan hubungi deputi penindakan,” ujar Syamsuddin pada 12 Oktober 2020.
Meski demikian, Dewas KPK tetap menyatakan Aprizal tidak berkoordinasi saat melakukan OTT UNJ di Kemendikbud. Aprizal diberikan sanksi teguran lisan karena tak menyadari pelanggaran yang dilakukannya.
“Melakukan perbuatan yang menimbulkan suasana kerja yang tidak kondusif dan harmonis, yang diatur dalam Pasal 5 ayat 2 huruf a Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK," ujar Ketua Dewas KPK Tumpak Hatorangan Panggabean dalam sidang putusan etik pada 12 Oktober 2020.
Penulis: Alfian Putra Abdi
Editor: Maya Saputri