tirto.id - Belakangan, klaim-klaim kontroversial mengenai virus corona SARS-CoV-2 penyebab COVID-19 banyak tersebar di media sosial. Salah satunya datang dari mantan Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari dalam video wawancaranya dengan Deddy Corbuzier.
Dalam video berdurasi 25:46 menit tersebut (arsip), Menteri Kesehatan pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ini menyampaikan informasi-informasi terkait keputusannya tidak melanjutkan kerja sama pembuatan vaksin H5N1 dengan WHO. Ia juga menyampaikan bahwa dirinya tidak bersalah dalam kasus yang memenjarakannya pada 2017.
Dalam video berjudul “SITI FADILAH, SEBUAH KONSPIRASI - SAYA DIKORBANKAN (EXCLUSIVE)”, ia juga mengungkapkan adanya kemungkinan bahwa virus Corona sengaja diciptakan dan penolakannya terhadap vaksin dari Bill Gates. Ia beralasan, Bill Gates merupakan seorang pengusaha, bukan ahli kedokteran. Siti juga menaruh kecurigaan pada Bill Gates karena Gates telah memprediksi adanya pandemi dan seluruh dunia akan membutuhkan vaksin.
Sebagai catatan, sejak dipublikasikan pada 21 Mei, video tersebut telah disaksikan oleh 4,5 juta orang dan mendulang 265 ribu Likes. Deddy Corbuzier sendiri pernah melakukan wawancara terkait COVID-19 dengan sejumlah figur, salah satunya Young Lex dan Indira Khalista. Keduanya pernah mengeluarkan klaim menyesatkan terkait dengan isu COVID-19.
Melanggar Aturan
Perlu diketahui, wawancara Deddy Corbuzier dengan Siti Fadilah Supari yang masih menjadi warga binaan melanggar aturan. Kepala Bagian Humas dan Protokol Ditjenpas Rika Aprianti menyatakan bahwa kegiatan liputan dan wawancara tersebut tidak memenuhi persyaratan yang tercantum dalam Peraturan Menteri Hukum dan HAM (Permenkumham).
Hal ini diatur dalam Permenkumham Nomor M.HH-01.IN.04.03, 5 Oktober Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Pelayanan Informasi dan Dokumentasi pada Direktorat Jenderal Pemasyarakatan, Kantor Wilayah Kemenkumham dan UPT Pemasyarakatan.
Dalam aturan tersebut, tepatnya pasal 28 ayat 1, peliputan untuk kepentingan penyediaan informasi dan dokumentasi harus mendapat izin secara tertulis dari Ditjenpas. Kemudian, pada pasal 30 ayat 4 dinyatakan bahwa pelaksanaan peliputan harus didampingi oleh pegawai pemasyarakatan dan sesuai dengan prosedur yang ditetapkan. Selanjutnya, pasal 32 ayat 2 menyatakan bahwa wawancara terhadap narapidana hanya dapat dilakukan jika berkaitan dengan pembinaan narapidana.
Wawancara tersebut diduga dilakukan antara 20-22 Mei 2020 ketika Siti Fadilah dirujuk untuk mendapatkan pemeriksaan lebih lanjut di RSPAD Gatot Soebroto karena mengalami gejala asma. Siti dirujuk pada 20 Mei oleh Plt. Kepala Rutan Pondok Bambu.
Berdasarkan keterangan dari pihak Rutan Pondok Bambu, wawancara diperkirakan terjadi pada Rabu malam, 20 Mei 2020. Wawancara diduga dilakukan di Ruang Paviliun Kartika kamar 206, RSPAD Gatot Subroto antara pukul 21.30 WIB–23.30 WIB. Hal ini didasarkan pada pukul 21.30 WIB, ada empat orang yakni dua laki-laki dan dua perempuan masuk ke ruang rawat Siti Fadilah.
Klaim-Klaim Kontroversial
Pada menit-menit awal video, Siti menyampaikan klaim soal kasus yang menimpanya. “Enam miliar itu adalah kerugian negara yang dilakukan oleh Eselon Dua saya. Eselon dua saya sudah membayar, dan dia tidak dihukum. Dan saya dituduh membantu dia. Dan itu tak ada bukti, tak ada saksi.”
Perlu diketahui, Siti menjadi tersangka kasus dugaan korupsi pada bulan April 2012 atas proyek pengadaan alat kesehatan untuk kejadian luar biasa tahun 2005 senilai Rp15 miliar dengan perkiraan kerugian negara sebesar Rp6 miliar.
Ia kemudian divonis empat tahun penjara dan denda Rp200 juta subsider dua bulan kurungan pada 2017. Fakta persidangan menunjukkan, Siti dianggap terbukti menyalahgunakan kewenangan selaku Menteri Kesehatan dan pengguna anggaran (PA) dalam kegiatan pengadaan alat kesehatan guna mengantisipasi kejadian luar biasa (KLB) tahun 2005 pada pusat penanggulangan masalah kesehatan (PPMK) Kemenkes.
Penyalahgunaan wewenang oleh Siti mengakibatkan kerugian negara Rp6,14 miliar. Duduk perkara kasus korupsi Siti Fadilah beserta barang bukti selama persidangan dapat dibaca pada Putusan Mahkamah Agung RI Nomor 30/PID.Sus/Tpk/2017/PN.JKT.PST.
Lebih lanjut, pada menit keenam video, Siti mengatakan, "Saya membuktikan bahwa virus flu burung tidak menular. Waktu itu, WHO sudah berkoar-koar mengatakan bahwa flu burung menular, human to human transmition."
Menurut penelusuran Tirto, infeksi H5N1 pada manusia umumnya memang disebabkan oleh penularan virus dari binatang ke manusia. Namun, ada beberapa kasus khusus yang terjadi. Hingga 24 Mei 2006, Dr. Julie L. Gerberding, direktur Centers for Disease Control and Prevention (CDC) di Atlanta, memperkirakan setidaknya ada tiga kasus penularan antar-manusia.
Kemudian, pada 30 Mei, Maria Cheng, juru bicara WHO kala itu, mengatakan ada sekitar setengah lusin kasus penularan antar-manusia. Kasus-kasus penularan antarmanusia salah satunya terjadi antar-anggota keluarga di Sumatera pada Juni 2006 (arsip).
Seperti yang ditulis Bloomberg, pada waktu itu, UN tidak dapat menemukan hewan yang dicurigai sebagai penyebab penyebaran virus H5N1. Maka, UN menyampaikan kemungkinan transmisi virus terjadi antar-manusia.
Seiring berkembangnya penelitian terhadap H5N1, WHO menuliskan pada 2012 bahwa hampir semua kasus infeksi H5N1 pada manusia dikaitkan dengan kontak dengan unggas, baik hidup maupun mati, yang terinfeksi, atau lingkungan yang terkontaminasi H5N1.
Menurut WHO, virus tidak begitu saja menginfeksi manusia. Kemudian, penyebarannya antar-manusia dianggap sebagai kasus yang tidak biasa. Sejauh ini, tidak ada bukti bahwa H5N1 dapat menyebar melalui makanan, khususnya daging, yang telah dimasak.
Siti Fadilah juga beberapa kali menyebut "pandemi flu burung". Padahal, berdasarkan penelusuran Tirto, pada 2004 hingga 2007, flu burung H5N1 tidak pernah menjadi pandemi. Meski, lembaga kesehatan dan peneliti kerap mengingatkan kesiapan kita semua menghadapi ancaman pandemi H5N1.
Dalam buku berjudul The Threat of Pandemic Influenza (2005), Stacey L. Knobler dan kawan-kawan mengidentifikasi tiga prasyarat penting dimulainya pandemi: penularan subtipe virus baru ke manusia, replikasi baru virus yang menyebabkan penyakit pada manusia, dan penularan virus yang terjadi terus-menerus dalam waktu singkat ke manusia.
Pada H5N1, dua prasyarat pertama telah terpenuhi sejak 1997. Saat itu, Stacey menuliskan bahwa H5N1 mendekati tingkat endemi pada unggas di banyak wilayah Asia. Menurutnya, dunia berdiri di ambang ancaman pandemi H5N1 dan akan berada di masa itu selama bertahun-tahun ke depan.
Langkah Siti Fadilah dilihat oleh peneliti Shahar Hameiri dalam artikelnya berjudul "Avian influenza, ‘viral sovereignty’, and the politics of health security in Indonesia" sebagai upaya melindungi kedaulatan nasional. Namun, perseteruan antara pemerintah Indonesia dan WHO bisa dilihat sebagai adanya maksud tertentu dari aktor politik untuk mencapai tujuan politik tertentu.
Pada 2009, WHO mengenalkan enam fase persiapan terhadap pandemi. Fase 1-3 terkait kesiapan, respons, dan rencana penanganan pandemi. Kemudian, fase 4-6 merupakan fase diperlukannya respons cepat dan mitigasi terhadap pandemi. Untuk H5N1, sejak 2009, WHO menyampaikan bahwa dunia berada pada fase 3 (dimana banyak ditemukan transmisi antar hewan dan beberapa transmisi antar manusia).
Siti Fadilah juga mengklaim bahwa orang Indonesia memiliki antibodi yang kuat ketika virus H5N1 melanda Indonesia. "Pada waktu flu burung, antibodi orang Indonesia itu sangat luar biasa," sebutnya pada menit ke-11:34. Namun, perlu diperhatikan bahwa dari 2005 hingga 2019, ada total 200 kasus H5N1 yang menyebabkan 168 kematian. Dengan demikian, fatality rate flu burung di Indonesia sebesar 84%.
Sementara itu, pada menit ke 6:58 Siti menyatakan, “Saya nyetop flu burung tidak dengan vaksin, tapi dengan politik.” Hal itu terkait keputusannya untuk berhenti mengirimkan spesimen virus flu burung ke laboratorium WHO pada November 2006 karena takut pengembangan vaksin yang lalu dijual ke negara-negara berkembang, dengan Amerika Serikat mendapat keuntungan dan Indonesia tidak mendapat apa-apa.
Namun, pada 28 Maret 2007, Indonesia mengumumkan telah mencapai kesepakatan dengan WHO untuk memulai pengiriman virus dengan cara baru untuk memberikan akses vaksin terhadap negara berkembang. Siti Fadilah mengonfirmasi pada 15 Mei 2007 bahwa Indonesia kembali mengirimkan sampel H5N1 ke laboratorium WHO.
Pada 2007 ia menulis buku berjudul Saatnya Dunia Berubah! Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung yang berisi tentang konspirasi Amerika Serikat dan organisasi WHO dalam mengembangkan senjata biologis dengan menggunakan virus flu burung. Buku ini menuai protes dan ditarik dari pasar.
Kesimpulan
Berdasarkan pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa klaim Siti Fadilah dalam video wawancaranya dengan Deddy Corbuzier bersifat sebagian salah dan menyesatkan (partlyfalse & misleading).
Editor: Ign. L. Adhi Bhaskara