tirto.id - “Sekarang kita harus benar-benar mengadakan pembagian pekerjaan. Kau bersama anak-anak harus tinggal di rumah saja. Kau cukup terdidik di dalam pergerakan nasional, sehingga kau pasti mengerti konsekuensi dari Proklamasi hari ini. Kalau sampai aku tidak pulang, kau tahu apa yang harus kau kerjakan. Semoga kita semua selamat.”
Demikianlah pesan Sudiro, sekretaris pribadi Achmad Subardjo, kepada istrinya menjelang proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia seperti dicatat dalam Seputar Proklamasi Kemerdekaan: Kesaksian, Penyiaran dan Keterlibatan Jepang (2015: 73).
Pesan itu tentu tidak bermaksud mengerdilkan peran perempuan dalam persiapan proklamasi. Tak pula bertujuan mendomestikasi perempuan hanya karena memintanya untuk tetap tinggal di rumah bersama anak-anak. Mengingat sang istri berpengalaman dalam kancah pergerakan nasional, sudah semestinya ia tahu bahwa keadaan yang tidak menentu karena kekosongan kekuasaan setelah Jepang menyerah bisa menimbulkan bahaya tersendiri. Dalam situasi macam itu, berbagi tugas antara suami dan istri adalah solusi terbaik.
Pada tanggal itu, 17 Agustus 1945, tepat hari ini 75 tahun lalu, tiap orang menjalankan peran masing-masing tanpa melihat apakah ia laki-laki atau perempuan. Waktu menuju proklamasi amat singkat dan dilakukan secara tergesa-gesa. Tak ada lagi waktu untuk memikirkan kedudukan atau pembagian peran berdasarkan gender.
Tapi, bagaimanapun juga, Proklamasi bukan cuma milik kaum lelaki. Di balik peristiwa yang berlangsung dengan tergopoh-gopoh itu, para perempuan juga berperan penting baik dari belakang layar maupun di atas panggung. Beberapa di antara mereka juga hadir langsung dalam pembacaan Proklamasi Kemerdekaan. Pada hari itu semua orang berdebar-debar menantikan lahirnya sebuah bangsa.
Keharuan Etty Abdurrachman
Tidak ada yang menduga Indonesia akan memproklamasikan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945. Semuanya terjadi begitu cepat. Desakan dari golongan pemuda untuk segera merdeka membuat golongan tua menyerah. Apa boleh buat, proklamasi harus segera dikumandangkan.
Dua hari sebelumnya, Etty Abdurrachman, anggota Pemuda Putri Indonesia, beserta kawannya yang lain berkumpul di kediaman Sutan Sjahrir. Mereka mendengarkan penjelasan sang tuan rumah mengenai pengumuman penyerahan Jepang kepada Sekutu dan perlunya menyelenggarakan proklamasi dengan segera.
Sebagaimana dicatat Aboe Bakar Loebis dalam Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku dan Saksi (1992: 98), pada kesempatan itu Sjahrir juga menegaskan bahwa jika proklamasi kemerdekaan telah terlaksana dan Sekutu datang untuk mengambil alih kekuasaan, maka para pemuda akan berdemonstrasi untuk menentangnya.
Sebagai mahasiswi, Etty tak hanya menyaksikan deretan peristiwa pada hari-hari sebelum proklamasi. Ia bersama kawan-kawan pemuda lainnya turut hadir di pelataran rumah Soekarno di Jl. Pegangsaan Timur No. 56 tepat pada 17 Agustus 1945. Etty memaparkan kesaksiannya dalam Aku Ingat: Rasa dan Tindak Siswa Sekolah Kolonial di Awal Merdeka Bangsa (1996: 1):
“Aku berdiri di bawah pohon bungur yang berbunga ungu di pekarangan rumah Bung Karno, di Jalan Pegangsaan 56 Jakarta. Pagi cerah, Jumat 17 Agustus 1945, suasana tenang tidak ada yang bicara keras. Orang di pekarangan tidak banyak. Yang datang adalah orang-orang yang mendengar kabar bahwa hari itu akan ada acara istimewa dan tidak diumumkan [...] Orang-orang yang mendengar Proklamasi Kemerdekaan ini bertepuk tangan, tidak ribut, tidak meriah, sopan dan tenang [...] Aku terharu. Ingin menangis tetapi tidak ada air mata yang ke luar [...] Aku pulang dengan berbagai perasaan. Gembira, berat hati, lelah, perasaan tak tentu.”
Satsuki Mishima: Memasak Makanan Sahur
Massa yang berkumpul di halaman rumah Sukarno sebelumnya meramaikan lapangan Ikatan Atletik Indonesia (IKADA). Menjelang dini hari tersiar kabar bahwa pengumuman kemerdekaan akan diselenggarakan di tempat tersebut pada pukul 10 pagi setelah Chairul Saleh datang ke asrama Prapatan 10 dengan membawa naskah proklamasi.
Naskah proklamasi itu sebelumnya masih berupa konsep (klad) tulisan tangan yang terdapat banyak coretan dan masih perlu dikoreksi berdasarkan draf dan perubahan yang telah disetujui. Sayuti Melik kemudian diminta untuk mengetik naskah. Namun sayangnya, tak ada mesin tik yang bisa digunakan.
Satsuki Mishima, pembantu rumah tangga di kediaman Laksamana Tadashi Maeda, diperintahkan untuk meminjam mesin tik ke kantor Militer Jepang. Berkat Mishima, seperti dicatat dalam Seputar Proklamasi Kemerdekaan (hlm. 124), Sayuti kemudian dapat mengetik naskah Proklamasi dengan bantuan seorang pemudi yang tak disebut namanya.
Bukan hanya sampai di situ, Mishima juga memasak makanan untuk para pendiri bangsa yang berkumpul di rumah Maeda. Peristiwa proklamasi bertepatan dengan bulan Ramadan. Karena hampir seluruh orang yang hadir di situ sedang melaksanakan ibadah puasa, maka, seperti dijelaskan St. Sularto dan D. Rini Yunart dalam Konflik di Balik Proklamasi: BPUPKI, PPKI, dan Kemerdekaan (2010: 106), Mishima kemudian membuatkan nasi goreng untuk makan sahur Bung Karno, Bung Hatta, dan Achmad Subardjo.
Dapur Umum Fatmawati
Pada detik-detik menuju Proklamasi 17 Agustus 1945, tercatat kehadiran tokoh-tokoh perempuan seperti Fatmawati, S.K. Trimurti, serta beberapa mahasiswi Sekolah Perobatan (Yaku Gaku) dan Sekolah Tinggi Kedokteran (Ika Daigaku) yang dipimpin Zulaika Jasin.
Peran Fatmawati saat itu bukan hanya menjahit bendera Merah Putih atau mendampingi Sukarno, tapi juga membuka dapur umum untuk menyuplai makanan bagi massa rakyat yang datang ke rumahnya.
“Fatmawati mengadakan dapur umum untuk memberi makan ratusan orang dari gelombang pertama yang membentuk benteng manusia sekeliling Pegangsaan Timur 56,” ujar Bung Karno dalam autobiografi Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia (1982: 344).
Mereka yang berkumpul di rumah Sukarno merupakan sukarelawan yang berniat menjaga bendera Merah Putih serta mendaftarkan diri sebagai kelompok Barisan Berani Mati.
Salah satu perempuan yang hadir dalam upacara kemerdekaan dan mendaftarkan diri dalam Kelompok Barisan Berani Mati hingga saat ini tidak diketahui namanya.
“Yang daftar banyak sekali, dan saya ingat di antaranya seorang wanita dari Karanganyar atau Kebumen. Juga wanita ini tidak pernah saya lihat lagi. Namanya pun saya lupa. Masih hidupkah dia? Entahlah,” ucap Bung Karno seperti dikutip dalam Seputar Proklamasi Kemerdekaan (hlm. 78).
S.K. Trimurti (Bukan) Tokoh Figuran
Surastri Karma Trimurti menuturkan kesaksiannya di sekitar pembacaan Proklamasi Kemerdekaan RI dalam sebuah bunga rampai bertajuk Wartawan Wanita Berkisah (1974). "Ceritera sekitar proklamasi," katanya, "sudah banyak ditulis [...]. Tapi yang penting kupaparkan di sini, ialah perananku dalam usaha proklamasi itu. Sebab ada orang-orang yang menilai diriku berlebih dari nyatanya, aku bukanlah tokoh proklamasi kelas berat. Akan tetapi hanyalah tokoh figuran" (hlm. 32).
Istri Sayuti Melik itu tentu saja sedang merendah. Ia, bagaimanapun juga, tak bisa disebut "tokoh figuran". Sejak muda Trimurti sudah menjadi aktivis pergerakan nasional yang menempuh jalan hidup penuh bahaya karena kerap diawasi intel-intel pemerintah kolonial. Ia bahkan sering keluar-masuk penjara karena kegigihannya melawan pendudukan Jepang.
Ketika Proklamasi dibacakan, Trimurti menjadi salah satu anggota pengibar bendera. Ia adalah orang yang membawa baki bendera Merah Putih. Trimurti sempat ditawari untuk menjadi pengerek bendera, namun ia menolaknya dan menyodorkan baki kepada Latief Hendraningrat. Ketika Merah Putih dinaikkan, Trimurti berdiri persis di sebelah Fatmawati.
“Beberapa wanita juga nampak hadir [dalam pembacaan Proklamasi], hanya tiga atau empat orang saja, di antaranya Ibu Trimurti,” ujar Sudiro seperti dikutip dalam Seputar Proklamasi Kemerdekaan (hlm. 74).
Trimurti merasa tak banyak mengambil peran dalam proklamasi karena Kenpeitai selalu mengawasi gerak-geriknya. Ia tak banyak berpartisipasi dalam perumusan proklamasi untuk menjaga keselamatan teman-temannya yang masih leluasa berjuang.
“Aku hanya sebagai 'abdi' yang menyerahkan jiwa raga kepada tujuan untuk memerdekakan Indonesia. Tetapi aku bukan termasuk arsiteknya, bukan designernya,” ujar wartawan tiga zaman itu penuh kerendahan hati.
==========
Ridha Budiana adalah mahasiswa semester akhir di Program Studi Ilmu Sejarah FIB Universitas Padjadjaran. Saat ini sedang menulis skripsi tentang para pembantu rumah tangga pribumi di kediaman orang Belanda pada masa kolonial.
Editor: Ivan Aulia Ahsan