tirto.id - Agustus tahun ini terasa beda. Menjelang peringatan hari ulang tahun republik, sepasang karya Pramoedya Ananta Toer, Bumi Manusia dan Perburuan, diangkat ke layar lebar. Semuanya diproduksi oleh Falcon Pictures serta diputar secara serentak di waktu yang sama: 15 Agustus.
Film yang diadaptasi dari karya seorang sastrawan besar tak pelak memancing letupan antusiasme. Euforia tersebut bahkan sudah terlihat sejak proses perencanaan, sebelum akhirnya meledak saat trailer film bersangkutan dilepas ke publik.
Meski berlumur kegairahan, tak semua respons yang keluar bernada positif. Sebagian pihak, yang terdiri dari calon penonton hingga pembaca loyal dan militan Pram, tidak ragu untuk melayangkan kritiknya. Salah satu kritik keras yang muncul, misalnya, ialah ketika Iqbaal Ramadhan dianggap tak pantas memerankan karakter Minke dalam Bumi Manusia.
Tapi, toh, kritik tersebut tak lantas membuat film-film yang diadaptasi dari karya Pram urung ditayangkan. Para pihak yang terlibat di dalamnya terus memacu pedal dan berkejaran dengan waktu demi ambisi besar yang mungkin sudah tertimbun sejak lama. Termasuk Perburuan.
Diburu Lubang yang Menganga
Mulanya, Richard Oh, selaku sutradara, hendak mengadaptasi novel Gadis Pantai untuk dibikin film. Akan tetapi, keinginan Richard gagal terlaksana karena Falcon berpendapat bahwa novel tersebut terlalu memuat tekanan maupun kritik sosial yang kompleks. Pilihan pun lantas jatuh ke Perburuan.
Dari segi cerita, Perburuan versi film tak banyak berubah ketimbang versi novel, yang memenangkan sayembara Balai Pustaka pada 1949 dan diterbitkan setahun setelahnya. Hardo (diperankan Adipati Dolken) merupakan mantan shodanco (pimpinan kompi) Pembela Tanah Air (PETA) yang melakukan pemberontakan terhadap pasukan Jepang, dan gagal. Ia dan kawan-kawannya yang berhasil lolos dari penangkapan Jepang lalu hidup menjadi gelandangan untuk menyembunyikan identitas.
Namun, selama Jepang masing berkuasa di Indonesia, Hardo selalu diburu. Hidup dari lubang jarum ke lubang jarum yang lain. Maut selalu mengintai. Jika ia tertangkap Jepang, maka pedang Kempetai—polisi militer Jepang yang terkenal kejam—akan menebas tengkuknya.
Dunia Hardo tak pelak ambyar. Selain nyawanya berada dalam ancaman Nippon, ia juga mesti terpisah dengan tunangannya, Ningsih (Ayushita), dan dikhianati kawan satu pletonnya, Karmin (Khiva Ishak). Belum lagi hubungan dengan kedua orangtuanya yang berakhir tak baik.
Walaupun begitu, Hardo berupaya menjaga harapannya. Di tengah kekalutan yang melanda, ia masih berkeyakinan bahwa situasi bakal membaik: hidupnya dapat kembali normal dan, terpenting, Indonesia mampu memerdekakan diri dari bangsa penjajah yang dulunya mendaku “Saudara Tua.”
Narasi Perburuan mengangkat tentang bagaimana manusia bertahan dalam ketidakpastian—dan juga berbagai kehilangan. Ada banyak pergelutan dalam sosok Hardo. Mulai dari relasi dengan kedua orangtuanya yang rumit, kebenciannya terhadap Jepang, hingga mimpinya akan Indonesia yang merdeka.
Akan tetapi, narasi yang kompleks tersebut tak terdengar resonansinya ketika Perburuan diangkat ke dalam versi film. Di tangan Richard, Perburuan seperti kehilangan daya ledak dan mlempem karena satu, dua … dan banyak lagi eksekusi yang buruk.
Pertama-tama, departemen riset film ini perlu diinterogasi terlebih dahulu. Mana ada tentara Jepang gondrong dan pakai boot tinggi ala serdadu Eropa? Kok bisa Supriyadi digambarkan memelihara brewok tipis sementara seluruh serdadu PETA diwajibkan klimis?
Kita tahu dari bacaan-bacaan sejarah bahwa Jepang melarang apapun yang berbau Belanda; tapi bagaimana bisa ibu guru Ningsih mengajarkan apa itu "Emancipatie" di hadapan anak-anak sekolah?
Yang paling mengganggu, terutama bagi saya, adalah musik latar (scoring) yang muncul di saat tak tepat. Sepanjang film, Perburuan hampir selalu memasukkan musik latar, sekalipun sebetulnya itu tak perlu. Keberadaan musik latar ini mungkin dimaksudkan untuk menghidupkan suasana Revolusi atau agar penonton mampu menangkap gejolak emosi Hardo.
Sayangnya, dua tujuan tersebut tak tercapai. Alih-alih menghidupkan suasana getir, musik latar yang melodrama ini malah membuat penonton, tak jarang, kehilangan fokus dalam menyerap dialog-dialog pemain.
Akan tetapi, untuk menyerap—atau menikmati—dialog-dialognya pun juga bikin kepala pening. Dialog-dialog dalam Perburuan versi film terdengar begitu kaku dan terjebak heroisme—seolah-olah tak ada ruang untuk percakapan yang sifatnya personal atau keseharian. Padahal, masing-masing karakter punya isu pribadi yang sebetulnya bisa diangkat secara proporsional, di luar urusan kemerdekaan maupun betapa brengseknya tentara Jepang.
Dalam novel Perburuan, tindakan karakter-karakternya lebih tergerak oleh motivasi pribadi. Hardo nekat menggelandang ke Blora (tempat yang rawan diendus tentara Nippon) karena Nigsih tinggal di sana. Sedangkan Karmin berkhianat karena gagal kawin. Hal-hal personal inilah yang gagal diterjemahkan filmnya. Seolah-olah semua konflik di dalamnya adalah urusan nasionalisme.
Kalau kolonialisme tak pernah dirasakan sebagai perkara personal jutaan orang di bawah penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang, lalu bagaimana keterlibatan massa dalam revolusi bisa dijelaskan? Memangnya mereka nasionalis karena dapat wangsit?
Bukan hanya Perburuan yang punya masalah itu. Hampir semua film Indonesia yang berlatar 1945 menampilkan karakter-karakter yang tak punya kehidupan personal, yang dialog-dialognya serba berslogan. Seolah-olah mereka dilahirkan dan dibesarkan orangtuanya untuk jadi poster boy revolusi.
Bagi Pram, Jepang adalah musuh yang harus disingkirkan. Ingatan kolektif yang kelam akan pendudukan Jepang selama 3,5 tahun membikin Pram muak. Dalam karyanya, Pram sama sekali tak menjadikan karakter orang-orang Jepang menjadi lebih manusiawi, sekalipun kondisi mereka telah terjepit kekalahan dari pasukan Sekutu.
Pandangan Pram sudah jelas: tentara Jepang suka bertindak kasar dan kejam. Di novel Perburuan, kekejaman tersebut diperlihatkan dengan kebiasaan tentara Jepang yang gemar mengancam dan berlaku sadis kepada orang-orang Indonesia.
Di dalam film, kebengisan itu gagal dihidupkan oleh Richard. Tentara-tentara Jepang, ambil contoh Shidokan (Michael Kho), hanya bisa berteriak, seolah fasis-fasis Nippon cuma bisa main gertak. Kebengisan Jepang sama sekali tak terlihat, bahkan di adegan yang seharusnya bisa klimaks seperti ketika Shidokan memberondong warga dengan timah panas di akhir film.
Mengadaptasi novel yang lahir dari sastrawan besar macam Pram tentu akan mendatangkan beban tak sedikit bagi para sutradara. Namun, beban tersebut akan melonjak berkali-kali lipat ketika filmnya gagal memenuhi ekspektasi. Dan saya pikir Richard Oh harus bersiap untuk menghadapi itu.
Editor: Nuran Wibisono