tirto.id - Tirto.id—Michael, seorang direktur strategi di sebuah perusahaan asuransi di Amerika Serikat, biasa bekerja dari pukul 8 pagi hingga 6 petang. Seusai bekerja, pikirannya tidak sepenuhnya lepas dari urusan pekerjaan. Perkembangan teknologi punya andil untuk pengalaman Michael ini: tugas-tugas kantor dapat dikirim via surel dan di mana pun seorang pekerja berada dan kapan pun itu, ia diharapkan mampu mengaksesnya. Karena itu, Michael merasa kesulitan mematikan tombol ‘mode kerja’ dalam dirinya. Saat ia melakukan pemeriksaan kesehatan rutin, Michael didiagnosis memiliki kadar LDL kolesterol tinggi dan berpotensi mengidap penyakit jantung dan diabetes.
Kisah Michael ini dituliskan Lieke ten Brummelhuis, asisten profesor Manajemen dari Beedie School of Business, Simon Fraser University, dalam artikel bertajuk “How Being a Workaholic Differs from Working Long Hours—and Why That Matters for Your Health” di Harvard Business Review. Berdasarkan studi Brummelhuis dan koleganya di Belanda, ada kecenderungan munculnya penyakit-penyakit fisik dalam diri orang-orang yang seperti Michael yang digolongkan sebagai workaholic, alias pecandu kerja.
Dari studi-studi terdahulu, ada macam-macam definisi mengenai workaholism. Ada yang mengartikan workaholic sebagai orang dengan kebutuhan berlebihan untuk bekerja sampai menimbulkan gangguan fisik, mental, dan fungsi sosial. Barbara Killinger, penulis buku Workaholic: The Respectable Addict (1991), menyatakan bahwa workaholic tak ubahnya dengan orang yang cacat secara emosional. Orang-orang macam ini diibaratkan hidup dalam roda putar hamster ketika bekerja. Menurut Killinger, kecanduan kerja ini bersumber dari dorongan besar untuk memiliki kuasa dan kontrol, serta pengakuan dan persetujuan dari publik atas kesuksesannya.
Workaholic juga diasosiasikan dengan orang yang bekerja dengan jam kerja panjang. Namun, Brummelhuis melihat bahwa orang yang memiliki jam kerja panjang tidak serta merta merupakan seorang workaholic.
Ia mengambil contoh kasus lain di kala pekerja biasa menghabiskan waktu di kantor dari pukul 9 pagi hingga 5 sore dan masih melanjutkan kerja di rumah setelah anak-anaknya tidur. Berbeda dengan kasus Michael, pekerja yang kedua ini masih bisa melepaskan pikiran dari urusan pekerjaan jika ia mau dan tidak punya masalah kesehatan fisik.
Lebih lanjut, dalam sebuah studi yang dimuat di Japan Labor Review (2014), dipaparkan empat jenis pekerja berdasarkan tingkat aktivitas dan tingkat kesenangan yang dirasakannya. Seorang workaholic lazimnya menjalani lebih banyak aktivitas kerja, tetapi tidak merasakan kesenangan sebagaimana seorang pekerja dengan beban kerja besar alias pekerja keras.
Mengapa kedua hal ini dibedakan? Menurut Malissa Clark, asisten profesor Psikologi Industri/Organisasi dari University of Georgia, dalam diri seorang pecandu kerja, ada perasaan bersalah bila ia tidak terus bekerja. Di lain sisi, orang yang memiliki work engagement tinggi bekerja karena merasa senang dengan hal yang dilakukannya, bukan karena didorong rasa cemas seperti pecandu.
Para pekerja keras masih bisa mempunyai waktu untuk dirinya sendiri, keluarga, dan pekerjaan sehingga keseimbangan dunia kerja dan personal masih mungkin dicapainya. Sementara seorang pecandu cenderung berkutat dengan obsesinya akan kerja dan tidak pernah hadir secara emosional saat berinteraksi dengan orang di luar urusan kantornya.
Workaholism dan work engagement sering disamakan karena adanya budaya yang mendorong para pekerja untuk terus produktif. Mereka yang berkomitmen terhadap perusahaan tidak jarang dinilai dari lamanya menghabiskan waktu untuk pekerjaan dan besarnya pengorbanan mereka untuk urusan karier.
Tanpa disadari, sebagian pekerja perlahan-lahan kecanduan dan merasa ada yang kurang bila tidak mengurusi pekerjaan, bahkan saat bersama keluarga atau teman-teman. Perasaan candu inilah yang menjadi gejala gangguan mental karena bisa berelasi dengan obsessive compulsive disorder (OCD), kecemasan, dan depresi.
Dari aspek sosial, perilaku seorang workaholic bisa berimbas terhadap relasinya dengan keluarga ataupun rekan kerja. Forbes menulis, berdasarkan sebuah penelitian yang dimuat di American Journal of Family Therapy (2001), bekerja berlebihan bisa menimbulkan dampak buruk terhadap situasi rumah tangga si pekerja.
Tidak hanya relasi dengan pasangan yang terimbas. Anak-anaknya pun bisa mengecap efek buruknya secara psikologis. Studi terhadap mahasiswa di AS yang orangtuanya merupakan pecandu kerja, menunjukkan bahwa mereka mengalami depresi serupa dengan mahasiswa dengan orang tua pecandu alkohol.
Lebih lanjut, studi tersebut juga menemukan parentification pada mahasiswa-mahasiswa tersebut. Parentification diartikan sebagai kondisi ketika anak-anak menjalankan peran sebagai orangtua untuk orangtuanya sendiri: memberi dukungan moral dan mengorbankan kebutuhannya sendiri akan perhatian demi mengakomodasi kebutuhan si orangtua.
Sementara dari studi Gayle Porter (2001), ditemukan kecenderungan sifat perfeksionis dalam diri workaholic yang berefek terhadap hubungannya dengan kolega. Dalam dunia kerja, ada karyawan yang motivasi kerjanya hanya untuk sekadar mencari nafkah, atas dasar desakan orang terdekat untuk memiliki profesi tertentu, atau memang benar-benar suka dengan pekerjaannya. Motivasi inilah yang mengarahkan mereka untuk mencapai jenjang tertentu dalam karier dan berpengaruh terhadap performa kerja masing-masing.
Pecandu kerja yang perfeksionis biasanya menetapkan standar tinggi untuk setiap pekerjaan yang melibatkan kerja tim, terlepas dari apa pun motivasi kerja setiap koleganya. Saat si pecandu ini melihat ada rekan yang tak mencapai standar yang tinggi, bisa muncul sikap tidak menghargai. Ini bisa berdampak stres bagi koleganya.
Pengerahan segala daya dan upaya secara optimal untuk kemajuan karier adalah hal baik yang diamini oleh masyarakat secara umum. Kendati demikian, rem mode kerja tetap perlu ditekan saat upaya ini telah mendatangkan efek buruk bagi kesehatan jiwa-raga.
Penulis: Patresia Kirnandita
Editor: Nuran Wibisono