tirto.id - Dalam mata pelajaran sosiologi, culture shock dan culture lag sering disebutkan sebagai permasalahan manusia sebagai makhluk sosial. Keduanya memiliki pengertian berbeda meski sama-sama menyangkut peristiwa ketertinggalan budaya.
Culture shock sering disebut sebagai proses gegar budaya seseorang ketika berada di sebuah lingkungan baru, baik itu pindah rumah, sekolah, kampus, atau bahkan negara baru.
Biasanya, mereka yang mengalami culture shock akan merasa cemas, bingung, dan gelisah di tempat penuh budaya baru serta belum dikenalnya. Lantas, apa perbedaannya dengan culture lag?
Perbedaan Culture Shock dan Culture Lag
Dikutip Simon Fraser University dalam tajuk “Stages And Symptoms of Culture Shock”, culture shock merupakan hal normal yang terjadi pada setiap orang ketika bertemu lingkungan yang tidak biasa.
Di antara mereka yang mengalami hal ini, yang bisa beradaptasi akan bisa bertahan di lingkungan barunya. Mereka akan gembira dan memberikan kesan positif terhadap perisitwa perbedaan ini.
Sedangkan, mereka yang tidak bisa akan mengalami kesulitan luar biasa. Bahkan, kasus ini dapat memunculkan perasaan emosi berupa kefrustasian, depresi, dan ketakutan terhadap sesuatu yang baru.
Gejala yang dapat mendeskripsikan seseorang mengalami keadaan culture shock bisa terlihat ketika ia menjalankan kehidupan sehari-hari. Mereka akan mudah bosan, menarik diri dari lingkungan, merasa tidak memiliki kendali, mudah lelah, banyak memberikan komentar terhadap kebudayaan baru, selalu ingin pulang, dan parahnya menyebabkan depresi.
Contoh yang bisa menggambarkan kejadian culture shock bisa dilihat ketika siswa SMA baru lulus dan masuk dunia perkuliahan. Kampus yang identik dengan budaya dari berbagai kalangan masyarakat di seluruh Indonesia akan menyebabkan perbenturan budaya yang begitu banyak.
Seseorang yang mengalami culture shock terlihat menarik diri dari interkasi sosial di kampus. Mereka cenderung lebih suka menyendiri dan mudah bosan berada di lingkungan barunya.
Berbeda dengan gegar budaya, culture lag atau kemacetan budaya diartikan sebagai fakta mengenai budaya yang membutuhkan waktu lama agar bisa menyesuaikan diri dengan teknologi. Hal ini ternyata bisa meyebabkan permasalahan sosial.
Berdasarkan catatan Social Science, untuk mengidentifikasi masalah ini, terdapat dua jenis objek yang saling berlawanan. Pertama, budaya material terkait teknologi semakin canggih dan berkembang cepat. kedua, budaya non material dari pemikiran, kepercayaan, adat, dan hal lain yang serupa menolak kemajuan tersebut dalam jangka waktu lama.
Pertentangan ini timbul sebagai permasalahan sosial karena menolak kemajuan teknologi sebagai budaya material. Culture lag didefinisikan sebagai budaya butuh waktu lama agar bisa mengejar ketertinggalan teknologi karena lag (lamban).
Budaya material teknologi berjalan cepat, sedangkan budaya non material dari pemikiran berusaha menyesuaikan dengan keterlambatannya. Terjadi ketidakseimbangan perkembangan di antara keduanya.
Contoh yang paling terlihat di Indonesia adalah penduduk asli Baduy yang masih mempertahankan kebudayaan, adat, dan pemikirannya. Mereka menolak untuk menggunakan teknologi sebagai budaya material baru yang berasal dari luar.
Masalah sudah mulai tumbuh ketika ada pihak mereka yang berniat ingin menggunakan teknologi baru saat berdagang ke daerah perkotaan.
Penulis: Yuda Prinada
Editor: Yulaika Ramadhani