tirto.id - Perang dagang tak cuma terjadi antara Amerika Serikat dan Cina, melainkan juga Korea Selatan dan Jepang. Senin (12/8) kemarin, seperti diberitakan CNN, Korsel resmi mengeluarkan Jepang dari daftar mitra dagang terpercayanya.
Menteri Perdagangan Korsel, Sung Yun-mo, mengatakan bahwa peringkat Jepang, yang sebelumnya berstatus “paling terpercaya”, akan diturunkan ke dalam kategori baru. Alasannya, Tokyo dianggap melanggar “prinsip-prinsip dasar kontrol ekspor internasional.”
Turunnya peringkat Jepang membikin perusahaan di Korsel, kelak, harus mengurus lebih banyak dokumen serta izin bila ingin mengekspor barang.
Data Massachusetts Institute of Technology (MIT) menyebut Korsel merupakan mitra dagang terbesar ketiga Jepang dengan total nilai transaksi sebesar 54 miliar dolar. Angka itu disumbang dari beberapa sektor seperti mesin industri, bahan kimia, serta mobil.
Berkelindan Dengan Sejarah?
Drama ekonomi antara Jepang-Korsel bermula pada awal Juli silam. Laporan Council on Foreign Relations menyebut waktu itu, Jepang menerapkan batasan ekspor terhadap bahan kimia yang dibutuhkan pelaku industri teknologi Korsel, macam Samsung, LG, maupun SK Hynix, untuk menghasilkan semikonduktor serta layar di ponsel pintar.
Bahan-bahan itu antara lain fluorinated polyimides, photoresists, dan hydrogen fluoride. Di tataran global, Jepang merupakan produsen utama ketiga bahan tersebut. Para pejabat di Tokyo berpendapat bahwa bahan-bahan tersebut dikirim secara ilegal ke Korea Utara untuk nantinya digunakan sebagai modal bikin senjata—klaim yang kemudian ditolak mentah-mentah oleh Korsel.
Dalam aturan terbarunya, pihak eksportir dari Jepang harus mendapatkan izin dari otoritas terkait sebelum mengirim barangnya ke Korsel, sebuah proses yang biasanya memakan waktu sekitar 90 hari.
Gertakan Jepang tak berhenti sampai situ saja. Pemerintahan Shinzo Abe mengumumkan bakal menghapus Korsel dari daftar mitra dagang terpercaya. Keputusan ini mempersulit perusahaan Jepang untuk menjual produk-produk mereka ke pasar Korsel.
Pemerintah Korsel mulanya masih membuka ruang dialog dengan Jepang. Namun, ketika menyaksikan Jepang makin agresif menekan, Korsel tak ingin tinggal diam.
“Sebagai korban imperialisme Jepang di masa lalu, kami tidak dapat tidak melakukan tindakan serius terhadap pembalasan ekonomi berkelanjutan dari Jepang,” tegas Presiden Korsel, Moon Jae-in.
“Kita tidak akan pernah kalah lagi dari Jepang,” jelas Moon dilansir Vox. “Seperti yang telah kita peringatkan, jika Jepang sengaja menyerang ekonomi kita, Jepang sendiri yang harus menanggung kerusakan yang signifikan.”
Seruan Moon, tulis South China Morning Post, lantas disusul dengan serangkaian aksi boikot terhadap produk Jepang, mulai dari Uniqlo, Asahi, hingga Kirin. Penerbangan ke Osaka maupun Tokyo juga banyak yang dibatalkan oleh wisatawan Korsel. Sementara di dunia maya, tagar #BoycottJapan jadi trending.
Bagi Moon, kebijakan Jepang merupakan respons atas keputusan Mahkamah Agung Korsel pada 2017 yang memutus Jepang harus memberikan kompensasi kepada para korban kerja paksa selama masa penjajahan (1910-1945).
Keputusan MA Korsel ditolak Jepang. Tokyo menilai bahwa mereka sudah membayar restitusi melalui perjanjian 1965 sebesar 500 juta dolar. Akan tetapi, bagi Korsel, perjanjian 1965 merupakan perjanjian antar-pemerintah dan tidak membebaskan perusahaan-perusahaan di Jepang dari tanggung jawab terhadap para korban kerja paksa.
Infografik Perang Dagang Korsel vs Jepang. tirto.id/Nadya Peran AS dan Ancaman Kerugian Global
Bukan kali ini saja Jepang-Korsel berseteru. Perseteruan lain, misalnya, merujuk pada laporan Council on Foreign Relations, muncul dalam urusan Korut. Jepang meminta sanksi untuk Korut diperketat. Sedangkan Korsel mendorong adanya pelonggaran sanksi.
Kemudian, pada akhir Juli lalu, ketika pesawat tempur Rusia melintas di wilayah udara Korsel, militer Korsel menanggapinya dengan tembakan peringatan. Jepang menyebut tindakan Korsel “benar-benar tidak dapat diterima.”
Untuk perang dagang ini, konsekuensinya bisa lebih kompleks. Pembatasan ekspor bahan semikonduktor dari Jepang ke Korsel berpotensi menganggu pasokan di tingkat global mengingat perusahaan-perusahaan di Korsel adalah pemain utama. Mereka memegang produksi lebih dari 50 persen semikonduktor dan layar ponsel pintar di dunia.
Kekurangan pasokan bisa memengaruhi segalanya, dari produk Apple sampai Dell serta berpotensi memperlambat ekonomi global yang sudah kadung mendingin.
Perang dagang Korsel-Jepang juga berpotensi mengubah tatanan geopolitik di kawasan Pasifik yang selama ini dijalankan bersama Abang Sam. Dalam “The U.S. Must Limit Damage from the Japan–South Korea Trade Dispute,” Bruce Klinger dan Riley Walters menyatakan pemerintah AS punya posisi krusial untuk membuat hubungan Tokyo-Seoul kembali hangat.
AS punya kepentingan dengan dua negara tersebut mengingat baik Jepang maupun Korsel adalah sekutu politik-ekonomi penting.
“[...] Idealnya, mereka akan mendorong kedua pemerintah untuk berdialog guna menemukan solusi yang masuk akan dalam perselisihan ini,” ucap analis dari Korea Economic Institute of America, Troy Stangarone, kepada CNBC.
Namun, menurut David Kang, Direktur Institut Studi Korea di University of Southern California, pemerintahan Trump telah gagal membangun rasa persekutuan di wilayah tersebut. Penyebabnya: fokus AS terbagi dengan krisis yang lain atau memang pemerintahan Trump tak cukup peduli dengan konflik Jepang-Korsel.
Perseteruan Jepang-Korsel, di saat bersamaan, memperlihatkan pula dua hal. Pertama, kebijakan Abe makin populis. Menggertak Korsel, dengan cara membatasi produk impor mereka, membuktikan bahwa Abe ingin Jepang superior, seperti halnya yang dilakukan Trump di AS. Kedua, perang dagang semakin jadi taktik yang digemari negara untuk mencapai kepentingan politik mereka.
Editor: Nuran Wibisono