tirto.id - Sebagai raja Kasunanan Surakarta Hadiningrat, Susuhunan Pakubuwono VI terikat kontrak politik dengan Belanda, seperti halnya kerajaan-kerajaan lainnya di Nusantara. Namun, di sisi lain, nuraninya bergolak. Ingin rasanya ia membantu kerabat jauhnya dari Yogyakarta, Pangeran Diponegoro, yang sedang terlibat polemik dengan Belanda dalam rangkaian Perang Jawa yang mulai berkobar sejak 1825 itu.
Pakubuwono VI akhirnya memilih jalan tengah kendati risikonya sangat besar jika sampai ketahuan. Ia menjalani peran ganda. Di satu sisi, Kraton Surakarta tetap menaati kesepakatan politik dengan Belanda. Tapi di sisi lain, sang raja secara diam-diam memberi sokongan terhadap perlawanan Pangeran Diponegoro.
Raja Muda di Persimpangan Jalan
Tanggal 5 September 1823, Pakubuwono V mangkat setelah hanya tiga tahun bertahta di singgasana Kasunanan Surakarta Hadiningrat. Setelah masa berkabung selama 10 hari, Solo punya raja baru. Sang putra mahkota naik tahta dengan gelar Susuhunan Pakubuwono VI, tepat pada 15 September 1823. Saat itu, usianya baru menginjak 16 tahun.
Putra mahkota Surakarta itu bernama Raden Mas Sapardan, anak lelaki ke-11 Pakubuwono V dari permaisuri Raden Ayu Sosrokusumo (Suratmin, Sri Susuhunan Paku Buwono VI, 1982:5). Raden Mas Sapardan dilahirkan pada 26 April 1807 dan masih keturunan Ki Juru Martani, patih pertama dalam sejarah Kesultanan Mataram Islam, dari garis darah ibundanya.
Baru 2 tahun bertahta sebagai Raja Surakarta ke-6, Pakubuwono VI langsung dihadapkan pada situasi yang dilematis. Pangeran Diponegoro, putra sulung Sultan Hamengkubuwono III (1810-1811 dan 1812-1814) yang tidak lain adalah raja ke-3 Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat, terlibat sengketa serius dengan Belanda.
Diponegoro yang menolak menjadi raja Yogyakarta—karena merasa bukan putra mahkota sebab terlahir dari istri selir—memilih keluar dari keraton (Soenjono Dardjowidjojo, Sentence Patterns of Indonesian, 1978:291). Dan pada perkembangannya, ia harus berurusan dengan kaum penjajah yang kemudian memantik salah satu peperangan terbesar melawan Belanda di tanah Jawa sejak pertengahan tahun 1825.
Di titik inilah batin Pakubuwono VI bergejolak dan akhirnya ia memutuskan untuk membantu perjuangan Pangeran Diponegoro meskipun secara diam-diam berkolaborasi dengan Belanda agar hubungan “diplomatik” terjaga, demi keamanan istana dan rakyat Kasunanan Surakarta Hadiningrat.
Kecerdikan Sang Susuhunan
Beberapa kali telah terjadi pertemuan antara Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro. Perjumpaan dua tokoh penting Wangsa Mataram ini benar-benar dirahasiakan. Yang jelas, Pakubuwono VI menyatakan kesanggupannya untuk membantu Diponegoro yang tidak lain adalah pamannya itu (Daniel Agus Maryanto, Pangeran Diponegoro: Pahlawan dari Gua Selarong, 2003:7).
Pakubuwono VI sering dikabarkan pergi bertapa ke Gunung Merbabu atau ke pedalaman hutan rimba, yang kemudian memunculkan julukan “Sinuhun Bangun Tapa” bagi sang raja. Namun, sebenarnya ia menemui Diponegoro untuk membicarakan situasi terkini sekaligus membahas strategi perlawanan terhadap Belanda.
Pangeran Diponegoro sendiri pernah menyusup ke Keraton Surakarta untuk menemui Pakubuwono VI. Ketika Belanda curiga dan mengirimkan pasukan penggeledah ke istana, keduanya pura-pura berkelahi (Syahban Yasasusastra, Ranggawarsita Menjawab Takdir, 2008:288). “Sandiwara” itu diakhiri dengan akting Diponegoro yang melarikan diri dari istana.
Peran ganda Pakubuwono VI terus berlanjut. Beberapa kali pasukan dikirimkan dengan dalih membantu Belanda. Namun, yang terjadi di lapangan tidak seperti itu. Taktik gerilya memberikan peluang bagi pasukan itu untuk bergabung dengan kubu Diponegoro secara diam-diam (Djatikusumo, Angkatan Bersenjata Republik Indonesia, Hari Ini dan Hari Esok, 1983:54).
Korban Tipu-Daya Belanda
Perang Jawa akhirnya usai pada 1830 setelah Diponegoro ditangkap dengan cara dijebak. Perang ini merupakan salah satu perang yang paling melelahkan bagi Belanda yang kehilangan sekitar 8.000 serdadu Eropa dan 7.000 prajurit lokal. Sementara korban jiwa dari rakyat mencapai 200.000 orang (M.C. Ricklefs, Mengislamkan Jawa, 2013:42).
Setelah berhasil menyingkirkan Pangeran Diponegoro yang diasingkan ke Manado sebelum dipindahkan ke Makassar hingga wafatnya, Belanda mulai membidik Pakubuwono VI. Kesalahan raja Surakarta itu dicari-cari karena belum didapatkan bukti keterlibatan Pakubuwono VI dalam Perang Jawa kendati Belanda sudah curiga.
Belanda kemudian menangkap orang kepercayaan Pakubuwono VI sekaligus juru tulis keraton bernama Mas Pajangswara, ayahanda pujangga kenamaan Ranggawarsita (Purwadi, Babad Tanah Jawi: Menelusuri Jejak Konflik, 2001: 85). Ayah dan anak ini adalah abdi setia Pakubuwono VI yang turut membantu perjuangan Pangeran Diponegoro.
Meskipun dipaksa untuk membocorkan rahasia yang pernah terjalin antara Pakubuwono VI dan Pangeran Diponegoro, Pajangswara tetap bungkam hingga akhirnya tewas karena disiksa. Oleh Belanda, mayatnya dibuang ke tengah laut.
Mati Misterius di Pengasingan
Belanda yang sudah putus akal kemudian bermuslihat. Kepada Pakubuwono VI, mereka mengatakan bahwa Pajangswara telah membongkar rahasia tersebut. Atas dasar tipu-daya itulah, Belanda kemudian menangkap Pakubuwono VI dan mengirimkannya ke Ambon, Maluku, sebagai orang buangan, pada 8 Juni 1830.
Tahta Surakarta lantas dialihkan kepada orang pilihan Belanda, yaitu Raden Mas Malikis Solikin yang tidak lain adalah adik Pakubuwono V alias paman Pakubuwono VI, yang kemudian bergelar Pakubuwono VII.
Pakubuwono VI cukup lama menjalani kehidupan di tanah pengasingan hingga akhirnya wafat pada 2 Juni 1849. Menurut laporan resmi Belanda, Pakubuwono VI tewas dalam kecelakaan di laut. Penjelasan versi Belanda ini diterima selama bertahun-tahun dan jasad Pakubuwono VI dimakamkan di Ambon.
Kejanggalan atas penyebab kematian Pakubuwono VI baru terungkap ketika kuburannya dibongkar untuk dipindahkan ke makam raja-raja Mataram di Imogiri, Yogyakarta, pada 1957. Ditemukan, ada lubang di dahi tengkorak Pakubuwono VI, seukuran peluru senapan.
Temuan mengejutkan itu tak pelak mengarah kepada dugaan kuat bahwa Pakubuwono VI meninggal dunia bukan karena kecelakaan, tapi lantaran luka tembak (P. Swantoro, Dari Buku ke Buku, Sambung Menyambung Menjadi Satu, 2002:94).
Beberapa tahun berselang setelah pemindahan makam dari Ambon ke Imogiri, Sukarno selaku Presiden Republik Indonesia menetapkan Susuhunan Pakubuwono VI sebagai pahlawan nasional melalui surat keputusan tertanggal 17 November 1964.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Maulida Sri Handayani