tirto.id - Sekitar 30-an orang demonstran menyerang kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta, Rabu (11/10) sore. Massa melempari kantor Kemendagri dengan berbagai benda hingga pot bunga dan kaca-kaca pecah, seperti yang terjadi pada kaca pintu Gedung F, kaca di atas pintu Gedung B Kemendagri.
Beberapa komputer rusak, bahkan kendaraan dinas pejabat nomor polisi B-1081-RFW dan kaca belakang mobil D-1704-ACZ juga tak luput dari serangan. Selain itu, sejumlah orang terluka, tercatat ada 10 orang petugas mengalami luka akibat penganiayaan.
Polda Metro Jaya telah menangkap 15 pelaku karena dianggap melanggar Pasal 170 KUHP terkait tindak pidana kekerasan. Sampai saat ini Polda masih melakukan pendalaman. "Diduga pelaku lainnya akan bertambah," kata Direktur Reserse Kriminal Umum Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Nico Afinta, Kamis (12/10/2017).
Pelaku penyerangan kantor Kemendagri ini diduga massa pendukung calon pasangan kepala daerah yang kalah dari Kabupaten Tolikara, Papua. Pelaku penyerangan ini diketahui sudah sering mengunjungi Kemendagri, setidaknya dalam dua bulan terakhir. Mereka menuntut Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo membatalkan keputusan hasil Pilkada pasca pemungutan suara ulang (PSU).
Baca juga:Politik Dinasti Warnai Pilkada Serentak di 11 Daerah
Sebelumnya pasangan John Tabo-Barnabas Weya menggugat hasil Pemilu ke Mahkamah Konstitusi (MK). Pasangan nomor urut 3 ini meminta MK mendiskualifikasi suara di 18 distrik. Dengan mendiskualifikasi 18 distrik ini, mereka bisa memenangkan kontestasi. Namun, persoalannya, MK menolak gugatan tersebut.
Kasus ini hanyalah satu dari sekian konflik yang sempat terjadi dalam periode Pilkada serentak tahun ini, yang melibatkan 7 provinsi, 18 kota dan 76 kabupaten, dengan total pemilih tidak kurang dari 41 juta orang. Sebagai gambaran, MK, misalnya, menerima 49 perkara sengketa, atau hampir setengah dari total Pilkada.
Salah satu contoh konflik terjadi ketika massa pendukung Burhanuddin Baharuddin-HM Natsir Ibrahim (Bur-Nojeng) dan Syamsari Kitta-Achmad Dg Se're (SK-HD) terlibat bentrokan pasca pencoblosan di Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan. Kedua belah pihak terlibat aksi lempar batu ketika sejumlah pendukung SK-HD melakukan konvoi kemenangan di Desa Sampulungan, Kecamatan Galesong Utara.
Burhanuddin Baharuddin-HM Natsir Ibrahim kemudian jadi pelapor pertama hasil Pilkada ke MK. Gugatan mereka sendiri akhirnya ditolak MK.
Baca juga:Kapolri: Jabar dan Papua Rawan Konflik Pilkada 2018
Tidak hanya korban luka, konflik Pilkada bahkan menewaskan empat orang di Kabupaten Puncak Jaya. Empat orang meninggal dunia dalam keributan antara pendukung kandidat di Mulia, 21 Agustus lalu. Dari empat warga yang meninggal, tiga di antaranya karena terkena panah, sedangkan seorang lainnya meninggal akibat sesak nafas saat terjadi aksi kejar-kejaran. Demikian seperti yang dilaporkan Antara.
Selain menyebabkan empat warga meninggal, pertikaian itu mengakibatkan 14 rumah atau honai dibakar, kata Kabid Humas Polda Papua, Kombes Ahmad Kamal.
Pilkada Kabupaten Puncak Jaya sendiri diikuti tiga pasangan calon, yaitu Yustus Wonda-Kirenius Telenggen, Hanock Ibo-Rinus Telenggen dan Yunus Wonda-Deinas Geley. Hanock Ibo-Rinus Telenggen keluar sebagai pemenang.
Baca juga:Presiden Minta Polri Petakan Potensi Gesekan Jelang Pemilu
Tahun depan, Pilkada serentak kembali akan diselenggarakan di 171 wilayah, lebih luas ketimbang tahun ini.
Tidak ingin apa yang terjadi di Pilkada lalu kembali terulang, Presiden Joko Widodo (Jokowi) meminta Kepolisian Republik Indonesia (Polri) mulai bersiap. Ia menginstruksikan polisi untuk memetakan potensi gesekan yang mungkin terjadi.
"Sumber-sumber yang diperkirakan akan memprovokasi harus dipetakan secara detail, siapa akan melakukan apa," kata Jokowi saat memberikan pengarahan kepada para kepala kepolisian daerah dan kepolisian resor di Semarang, Senin (9/10) kemarin.
Jokowi menuturkan, intelijen harus memiliki data komplet mengenai peta masalah tersebut dan beserta solusinya.
Polisi tidak memulai dari nol. Kapolri Jenderal Pol Tito Karnavian sudah punya data soal itu. Ia pernah menyebut bahwa Jawa Barat dan Papua sebagai daerah yang harus diwaspadai karena dinilai paling rawan terjadi konflik.
"Pilkada nanti, kami perkirakan yang agak rawan itu Jabar sebagai lumbung suara terbesar. Kemudian Papua di daerah Timur," kata Kapolri.
Selain dua daerah tersebut, Kalimantan Barat juga dinilai rawan konflik karena sensitif terhadap isu suku, agama, ra dan antar golongan (SARA).
Penulis: Rio Apinino
Editor: Suhendra