tirto.id - Sri Lanka menderita krisis ekonomi terburuk sejak kemerdekaannya dari penjajahan Inggris pada 1948. Pemadaman listrik selama berbulan-bulan, kekurangan makanan, bahan bakar, dan obat-obatan membuat marah publik. Kondisi tersebut membuat Sri Lanka akhirnya dinyatakan bangkrut.
Dari deretan masalah yang terjadi selama berbulan-bulan, pada Sabtu (9/7/2022) ribuan pengunjuk rasa Sri Lanka menerobos barikade polisi dan menduduki kediaman Presiden Sri Lanka, Gotabaya Rajapaksa.
Imbas dari kejadian tersebut, akhirnya Gotabaya Rajapaksa mengungkapkan keputusannya untuk mengundurkan diri dari jabatannya pada 13 Juli menyusul permintaan yang diajukan oleh para pemimpin partai politik, menurut ketua parlemen negara itu.
Penyebab Sri Lanka Bangkrut
Direktur Eksekutif Next Policy Fithra Faisal Hastiadi, mengungkap ada permasalahan tata kelola keuangan di balik bangkrutnya Sri Lanka. Pemerintah Sri Lanka banyak membuat megaproyek di sektor pariwisata. Pandemi membuat keuangan negara itu bertambah buruk dan membuat potensial income negara selama dua tahun terakhir hilang.
“Karena memang sektor unggulan mereka turism ini mati kan di 2020, belum lagi ada isu terorisme yang kemudian memukul pariwisata mereka dalam konteks inilah infrastruktur yang mereka kembangkan menjadi sangat costly karena tidak menghasilan return yang diharapkan. Nah dengan demikian ditambah dengan faktor faktor tadi ini membuat colaps ekonomi,” kata dia kepada Tirto, Senin (11/7/2022).
Fithra mengatakan, selain itu Sri Lanka juga banyak meminjam sejumlah pinjaman dengan tenor pendek. Hal tersebut membuat negara kewalahan membayar utang di tengah tertekannya pendapatan selama adanya pandemi.
Berdasarkan catatan Tirto, di distrik Hambantota, ada sebuah pelabuhan besar sudah menjadi beban keuangan sejak mulai beroperasi, dengan total kerugian kini mencapai 300 juta dolar AS atau setara Rp 4,4 triliun dalam enam tahun.
Masih di kawasan yang sama terdapat proyek mewah lain yang didukung China, yaitu pusat konferensi besar yang jarang dipakai sejak dibuka, dan bandara senilai 200 juta dolar AS atau setara Rp 3 triliun yang sempat kekurangan dana untuk membayar tagihan listriknya.
Proyek-proyek tersebut dibuat oleh keluarga Rajapaksa yang berkuasa, yang telah mendominasi politik Sri Lanka selama hampir 20 tahun terakhir.
Di sisi lain, Fithra menjelaskan meskipun ada sektor industri, Sri Lanka sangat mengandalkan komoditas. Sementara industrilisasi di Sri Lanka belum bertumbuh pesat. Bahkan Indonesia jauh lebih baik dibandingkan pertumbuhan industri di Sri Lanka.
“Makanya akhirnya mereka gagal bayar, personal incomenya tergerus karena tidak punya harapan untuk menggenjot ekspornya. Jadi ketika ekspornya ini digenjot mereka ini kurang kapasitas produksi. Industri mereka anjlok juga karena masalah pandemi. Masalah sebenarnya akan lebih ringan kalau tata kelola ekonominya prudent. Ternyata tidak kan, mereka sangat dibayangi oleh korupsi kolusi dan nepotisme, karena tingkat KKN di Sri Lanka juga parah ya,” jelas dia.
Indonesia sebenarnya sudah pernah mengalami permasalahan ini, tepatnya pada 1998 kondisi perekonomian Indonesia mengalami guncangan. Namun saat itu, kata Faisal, pemerintah langsung membentuk bank sentral independen kemudian membenahi tata kelola APBN.
“Dulu kita pernah kan, sekarang akhirnya setelah tata kelola defisitnya tidak bisa terlalu tidak bisa melebihi 3 persen kemudian gap to GDP Rasio juga tidak bisa melebihi 60 persen. Itu adalah hal yang menjadi patron pengelolaan ekonomi kita. Memang tidak sempurna tapi itu jauh lebih membuat kita kuat ya terhadap kondisi seperti pandemi ini,” tandas dia.
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Anggun P Situmorang