tirto.id - Kepala Divisi Sekretaris Korporat PT MRT Jakarta, Muhamad Kamaluddin memberikan penjelasan soal dampak pemadaman listrik massal pada 4 Agustus lalu terhadap layanan perusahaannya.
Kamaluddin mengatakan sistem pasokan listrik untuk MRT Jakarta selama ini mengandalkan suplai dari PT PLN. Oleh karena itu, mati listrik massal di Jakarta pada Ahad lalu memicu dampak serius, yakni terputusnya 2 jalur pasokan listrik MRT yang bersumber dari 2 subsistem 150kV PLN.
Dua sumber itu ialah Subsistem Gandul-Muara Karang melalui Gardu Induk PLN Pondok Indah dan Subsistem Cawang-Bekasi lewat Gardu Induk PLN CSW.
"Dikarenakan belum tersedianya subsistem ketiga, maka saat kedua subsistem di atas mengalami failure, hal tersebut menyebabkan gangguan pasokan listrik untuk menggerakkan kereta Ratangga MRT Jakarta," kata dia Lewat rilis yang diterima wartawan Tirto pada Selasa (6/8/2019).
Menurut dia, MRT Jakarta saat ini menggunakan pasokan listrik dari PLN dengan kontrak Layanan Premium. Makanya, PT MRT menyesalkan insiden pada 4 Agustus lalu.
"Padahal, sebelumnya PLN telah berkomitmen mendukung keandalan pasokan listrik ke sistem MRT Jakarta dengan membangun Pembangkit Listrik Tenaga Mesin Gas tambahan di Jakarta sebagai subsistem ketiga tersebut," ujar Kamaluddin.
Dia berharap PLN meningkatkan keandalan pasokan listrik untuk MRT Jakarta dan secara serius mencegah kejadian serupa terjadi kembali.
Sesuai desain awal, kata dia, MRT Jakarta memang memiliki sistem pembangkit cadangan. Namun pembangkit cadangan itu hanya memberikan pasokan listrik untuk kebutuhan keselamatan dan evakuasi di fasilitas stasiun dan terowongan bawah tanah.
"Kapasitas back up power MRT Jakarta tersebut sudah cukup dan berfungsi dengan baik pada saat pasokan listrik terputus, oleh karenanya evakuasi dapat dilakukan dengan aman," ujar dia.
Desain pasokan listrik MRT itu, menurut Kamaluddin, sama dengan sistem kelistrikan transportasi serupa di berbagai negara lain.
Dia mencontohkan hal serupa terjadi di New York Subway pada bulan Juli lalu, ketika pemadaman listrik terjadi selama 5 jam. Insiden akibat gangguan pasokan listrik di kota New York itu bahkan sempat membikin penumpang tertahan di bawah tanah selama 75 menit.
Kamaluddin menjelaskan sistem operasi MRT Jakarta menggunakan persinyalan Communication Based Train Control (CBTC) yang menganut tingkat standar keamanan tinggi. Sistem ini dipakai pula di Delhi Metro dan Beijing Subway Line 15.
Sistem tersebut, lanjut dia, memiliki Automatic Train Operation (ATO) yang mengharuskan kereta melakukan pengereman darurat saat pasokan listrik terputus.
"Hal ini bertujuan untuk memitigasi potensi bencana yang kemungkinan terjadi di jalur depan kereta. Oleh karena itu, pengereman darurat dan evakuasi merupakan cara terbaik yang dilakukan untuk menghadapi kejadian ini," ujar Kamaluddin.
Dia menambahkan saat mati listrik massal terjadi pada 4 Agustus lalu, terdapat 7 rangkaian kereta MRT Jakarta yang sedang beroperasi.
Ada tiga rangkaian kereta yang saat itu sedang berada di jalur bawah tanah, yakni Ratangga 0511 (Stasiun Bundaran HI), serta Ratangga 0411 dan 0610 yang terhenti di jalur antara Stasiun Istora Mandiri dan Stasiun Bendungan Hilir.
"Penumpang di Ratangga 0411 berjarak 20 meter dari stasiun dan Ratangga 0610 berjarak 100 meter dari stasiun. [Penumpang] Dievakuasi ke stasiun terdekat, yaitu Stasiun Bendungan Hilir," ujar Kamaluddin.
Sedangkan 4 rangkaian kereta MRT lainnya, kata Kamaluddin, berada di jalur layang saat pasokan listrik terhenti.
Keempatnya ialah Ratangga 0709 dan Ratangga 0906 (berada di Stasiun Blok A) dan Ratangga 0807 serta Ratangga 1004 yang terhenti di antara Stasiun Fatmawati dan Stasiun Lebak Bulus Grab.
"Penumpang di Ratangga 0807, berjarak 850 meter lebih dari stasiun, dan Ratangga 1004 berjarak lebih dari 10 meter dari stasiun. Dievakuasi ke stasiun terdekat yaitu Stasiun Lebak Bulus Grab," kata dia.
"Jumlah penumpang yang dievakuasi dari seluruh 13 stasiun MRT berjumlah 3.410 orang dalam keadaan baik dan selamat," tambah Kamaluddin.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Addi M Idhom