tirto.id - Mati listrik massal (blackout) di Jabodetabek sejak Minggu (4/8/2019) kemarin bukanlah yang pertama kali terjadi di Indonesia. Sejarah mencatat, pada 18 Agustus 2005, aliran listrik di Jawa hingga Bali padam total dan menimbulkan dampak serta kerugian yang terbilang besar.
Sama seperti Presiden Joko Widodo (Jokowi) yang langsung mendatangi Kantor Pusat PLN pada Senin (5/8/2019) pagi, kasus serupa yang terjadi pada 2005 juga mendapat perhatian serius dari Presiden RI saat itu, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Blackout yang terjadi keesokan hari setelah peringatan Hari Kemerdekaan RI tanggal 17 Agustus 2005 dan mempengaruhi lebih dari 120 juta orang itu termasuk salah satu peristiwa terbesar yang pernah ada dalam sejarah padamnya listrik di Indonesia.
Bahkan, untuk level dunia, Power Technology menempatkan peristiwa itu di peringkat tiga terburuk setelah kejadian nyaris serupa di India pada Juli 2012 dan Januari 2001 yang masing-masing berdampak terhadap 700 juta orang dan 230 juta orang.
Penyebab Teknis Listrik Mati
Dikutip dari Analisis Daya Saing Provinsi dan Wilayah (2016) terbitan World Scientific Singapore yang disusun Khee Giap Tan, Nurina Merdikawati, dan Mulya Amri, pemadaman dengan efek luas di Jawa dan Bali pada 2005 itu terjadi akibat terganggunya pasokan listrik.
Kejadian ini bermula dari PLTU 1 Banten atau PLTU Suralaya di Cilegon yang terhenti karena kekurangan pasokan listrik sebesar 1.200 megawatt pada pukul 08.59 WIB. Untuk mengembalikan sistem ke kondisi normal, PLN kemudian mengaktifkan tiga pembangkit listrik di Jawa Barat.
Ketiga pembangkit listrik penunjang ini adalah PLTA Saguling, PLTA Cirata, serta PLTGU Muara Tawar, yang memang baru dioperasikan ketika pembangkit listrik lain mengalami beban puncak muatan.
Tiga pengoperasian pembangkit listrik secara bersamaan tersebut mengakibatkan aliran daya yang semakin besar di menara SUTET Saguling-Cibinong. Aliran tersebut terus membesar hingga mendekati batas aman.
Puncaknya terjadi pada pukul 10.23 WIB. Jaringan transmisi SUTET Jawa-Bali mengalami kerusakan, bahkan terpisah menjadi dua bagian. Gangguan ini mengakibatkan beberapa unit pembangkit besar lepas dari jaringan yang membuat arus listrik terputus.
Isu Keamanan Negara
Pada 22 Agustus 2005, Presiden SBY menggelar rapat dengan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Purnomo Yusgiantoro, Kapolri Jenderal Polisi Sutanto, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar, serta Direktur Utama PLN Eddie Widiono.
Sempat berhembus kabar bahwa matinya listrik secara massal tersebut diduga ada kaitannya dengan aksi terorisme atau sabotase yang mengancam keamanan negara. Dalam rapat tersebut, Presiden SBY meminta para pejabat terkait melaporkan kronologi padamnya listrik di Jawa hingga Bali dalam rapat itu.
Presiden SBY juga meminta tim dari Institut Teknologi Bandung (ITB) menyelidiki persoalan ini. Tak hanya penyebab teknis, presiden berpesan pula kepada tim untuk memeriksa dengan lebih cermat, siapa tahu ada masalah non-teknis di balik kejadian padamnya listrik.
“Presiden [SBY] minta diteliti penyebab pemadaman lebih jauh. Bukan hanya masalah teknis, tapi juga nonteknis, sehingga diperoleh hasil yang komprehensif,” sebut Menteri ESDM Purnomo Yusgiantoro usai rapat, dilansir Detik (22 Agustus 2005).
Setelah diselidiki, pemerintah menegaskan kejadian itu murni karena persoalan teknis. Direktur PLN Eddi Widiono membeberkan bahwa penyebab matinya listrik massal itu karena adanya malfungsi sistem proteksi Directional Earth Fault (DEF) di jaringan SUTET Cibinong.
Malfungsi, lanjut Eddi, adalah sistem proteksi yang bekerja atau tidak bekerja sebagaimana seharusnya. Malfungsi bisa diakibatkan oleh kerusakan komponen dan harmonisasi, seperti yang terjadi pada sistem Jawa-Bali tersebut.
Eddie juga menambahkan bahwa hal seperti ini sebenarnya sudah terjadi beberapa kali sehingga dugaan adanya faktor non-teknis bisa diabaikan. “Jadi tidak ada unsur sabotase," tandas Direktur Utama PLN kala itu.
Dampak Blackout 2005
Padamnya listrik di Jawa dan Bali berdampak cukup serius. Diwartakan Kompas edisi 19 Agustus 2005, sebanyak 42 perjalanan Kereta Rel Listrik (KRL) rute Jakarta-Bogor-Tangerang-Bekasi dibatalkan, 26 KRL yang sedang beroperasi tertahan di beberapa perlintasan.
Di Bandara Soekarno-Hatta, gangguan listrik berlangsung sekitar 4 jam dan menyebabkan puluhan penerbangan tertunda, baik domestik maupun internasional. Tidak hanya di jalur udara, mati listrik menyebabkan ruwetnya transportasi darat karena kemacetan yang terjadi, juga padamnya rambu-rambu lalu-lintas.
Beberapa rumah sakit besar terpaksa menunda operasi yang sudah direncanakan, sedangkan banyak rumah sakit kecil tidak bisa menerima pasien lantaran listrik tidak berfungsi. Sementara itu, Polda Metro Jaya mengerahkan 1.800 petugas untuk menangani masalah jangka pendek yang disebabkan oleh pemadaman listrik massal ini.
Durasi padamnya listrik memang “hanya” tiga atau empat jam. Namun, proses pemulihan hingga tuntas sepenuhnya di seluruh wilayah yang terdampak memakan waktu lebih dari 24 jam.
PLN memperkirakan ada sekitar 3,2 juta pelanggan yang terkena pemadaman total, terutama di Jakarta dan Banten. Potensi kerugian diperkirakan mencapai Rp200 juta. Sebagai bentuk pertanggungjawaban, PLN kala itu menyiapkan ganti rugi sebesar Rp879,5 juta kepada 293.710 pelanggan di Banten, Jakarta, dan Jawa Barat, yang mengalami pemadaman.
Atas kejadian luar biasa ini, SBY mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) tentang Penghematan Energi tertanggal 10 Juli 2005 setelah menggelar rapat dengan para pejabat tinggi negara dan pihak-pihak terkait.
“Inpres ini adalah salah satu solusi jangka pendek [untuk penghematan energi] dan mulai berlaku pada tanggal dikeluarkan, yaitu 10 Juli 2005,” kata Juru Bicara Kepresidenan kala itu, Andi Mallarangeng, dikutip dari Merdeka edisi 11 Juli 2005.
Penulis: Iswara N Raditya & Rachma Dania
Editor: Abdul Aziz