tirto.id - I saw the best minds of my generation destroyed by madness...
Saat mendengar berita kematian Gabriel Garcia Marquez, ingatan yang mula-mula menghampiri saya bukanlah potongan-potongan kisah hidupnya yang ia tuturkan secara memikat dalam Living to Tell the Tale dan bukan pula kilasan novel, cerita pendek, atau laporan jurnalistiknya yang serba mengesankan, melainkan baris di atas, pembukaan sajak panjang Allen Ginsberg yang berjudul Howl.
Banyak orang menganggap Howl bukan “sekadar” puisi, melainkan nubuat gaya baru yang tak kalah sakral dibandingkan sabda para rasul di masa silam. Tapi, saya kira, bukan itu alasan pikiran bawah sadar saya memilihnya dari sekian banyak teks yang bergentayangan di dunia fana untuk mengiringi berita duka tersebut,
Beberapa saat kemudian saya paham: jika kesedihan yang merundung saya waktu itu ibarat tanggul bocor, lubangnya yang terbesar sesungguhnya bukan kabar kematian Gabo—panggilan akrab Marquez—melainkan pengetahuan saya tentang akhir hidupnya yang sengsara.
Sejak 2012, atau sekitar 2 tahun sebelum meninggal dunia, Gabo terkena penyakit Alzheimer. Penyakit itu, seperti kesintingan dalam pembukaan Howl, telah menghancurkan benaknya, salah satu benak paling cemerlang yang pernah dipunyai manusia.
Gabo tentu bukan korban pertama atau terakhir. Sebelumnya, Winston Churcill dan Ralph Waldo Emerson dan Irish Murdoch, para penulis yang juga memiliki pikiran-pikiran hebat, digembosi oleh penyakit yang sama. Menurut World Health Organization (WHO), pada 2015 terdapat sekitar 48 juta orang pengidap penyakit Alzheimer di seluruh dunia.
“Salah satu tanda awal penyakit Alzheimer yang umum adalah ketidakmampuan menyimpan ingatan-ingatan baru atau mengingat detail-detail pengalaman yang belum begitu lampau. Konsekuensinya ialah gangguan berat atas ingatan episodik,” tulis Andrew Lees di The Guardian pada September 2012. Penulis buku Alzheimer's: The Silent Plague itu kemudian melanjutkan: “Penyakit Alzheimer bukan hanya dapat menghapus ingatan, tetapi juga menjadikannya kocar-kacir atau malah mengada-ada.”
Lees membicarakan demensia, rangkaian simtom yang lazimnya meliputi kehilangan ingatan serta kesukaran menggunakan nalar, baik untuk berbahasa maupun menyelesaikan persoalan. Demensia terjadi bila otak manusia dirusak oleh penyakit-penyakit tertentu seperti Alzheimer atau stroke. Menurut catatan British Medical Journal, penyebab demensia yang paling lazim, 60 hingga 70 persen dari keseluruhan, ialah penyakit Alzheimer.
Sukar membayangkan keadaan yang lebih buruk bagi para penulis dan pekerja intelektual lainnya ketimbang demensia. Situasi itu merampas segala yang mereka miliki dan andalkan. Penulis yang kehilangan kemampuan menalar dan mengolah bahasa, dan ingatannya kacau-balau, tentu tak ubahnya pelari maraton yang kedudukan dengkul dan mata kakinya tertukar atau pemain gitar yang seluruh jari tangannya ditelan oleh mesin parut.
Maka, kemurungan saya lalu berubah jadi kemarahan. Bukan terhadap yang Di Atas Sana atau Di Bawah Sini atau semacamnya, tentu, tetapi terhadap penyakit mengerikan yang ditemukan Alois Alzheimer, seorang psikiater dan ahli patologi asal Jerman, pada awal abad ke-20.
Sekalipun telah mengenalnya selama 110 tahun, pengetahuan manusia tentang penyakit Alzheimer masih amat terbatas. Para ilmuwan mengerti bahwa penyakit itu berkaitan erat dengan kegagalan sel otak progresif, namun penjelasan mengapa kegagalan sel-sel itu terjadi belumlah lengkap. Menurut lembaga Alzheimer's Association yang bertungkus-lumus meneliti penyakit itu, sebagaimana umumnya keadaan-keadaan kronis, penyakit Alzheimer hadir sebagai akibat yang rumit dari sejumlah faktor.
Sejumlah penelitian menunjukkan bahwa orang-orang yang mempunyai orangtua, saudara kandung, atau anak yang mengidap penyakit Alzheimer cenderung lebih mudah terkena penyakit itu. Dengan demikian, dapat diperkirakan bahwa baik faktor-faktor keturunan (genetik) maupun lingkungan berperan dalam hal ini.
Dari segi keturunan, ada dua jenis gen yang mempengaruhi kesempatan orang terkena penyakit tertentu, yaitu gen risiko (risk genes) dan gen penentu (deterministic genes).
Gen risiko penyakit Alzheimer pertama yang dikenali adalah APOE-e4. Sekitar 20 hingga 25 persen kasus Alzheimer dipengaruhi oleh keberadaannya. Para ilmuwan menemukan bahwa orang-orang dengan satu gen APOE-e4 lebih rentan terkena penyakit Alzheimer ketimbang yang tidak mempunyai gen tersebut, dan orang-orang yang mempunyai dua gen APOE-e4 lebih rentan lagi. Selain itu, APOE-e4 juga mungkin menyebabkan simtom penyakit Alzheimer muncul lebih dini daripada biasanya.
Sementara itu, gen-gen deterministik menyebabkan sebuah penyakit secara langsung, menjamin bahwa orang yang memilikinya pasti terkena penyakit itu. Gen-gen deterministik penyebab penyakit Alzheimer ini relatif langka, ia ditemukan hanya pada ratusan keluarga besar di seluruh dunia.
Sejauh ini keluarga pembawa gen itu yang paling besar ditemukan di Yarumal, Antioquia, Kolombia, dengan anggotanya yang mengidap penyakit Alzheimer sejumlah 5 ribu orang. Menurut riset Ken Kosik dari University of California, para pengidap penyakit Alzheimer di Yarumal mengalami mutasi E280A pada salah satu gen di kromosom 14 mereka.
Ironisnya, Gabo, yang juga berasal dari Kolombia, pernah menulis situasi serupa dalam One Hundred Years of Solitude, mahakaryanya. Anda ingat orang-orang yang terkena wabah senewen setelah memakan gula-gula bikinan Úrsula Iguarán? Mulanya mereka hanya sulit tidur, lalu mulai melupakan nama dan kegunaan benda-benda.
"Wabah" itu adalah demensia, situasi yang kelak menghancurkan Gabo, dan Gabo pernah menggambarkannya dengan sangat indah. Salah satu yang paling saya ingat dari bagian itu adalah seekor sapi berkalung papan pemberitahuan: “inilah sapi yang setiap pagi mesti diperah supaya dia menghasilkan susu dan susu nantinya harus direbus supaya dapat dicampurkan ke dalam kopi.”
Kasus Alzheimer yang dipengaruhi oleh gen deterministik berjumlah kurang dari 5 persen dari keseluruhan. Namun, meski langka, penemuannya telah membuat pemahaman manusia tentang penyakit Alzheimer semakin baik. Gen deterministik itu diketahui menghasilkan protein beta-amyloid, yang kini dianggap sebagai tersangka utama pelaku pembusukan sel-sel otak. Sejumlah obat yang menyasar protein itu sedang dikembangkan sebagai salah satu strategi untuk menghentikan penyakit Alzheimer atau memperlambat perkembangannya secara signifikan.
Baru-baru ini, sebuah penelitian biofisika yang dipublikasikan Scientific Reports menyumbangkan masukan penting tentang kemungkinan sebab non-genetik penyakit Alzheimer. Diketahui bahwa pembentukan inti plak beta-amyloid (amyloid-β plaque cores, APC) berhubungan dengan biometal, terutama Fe (besi), Cu (tembaga), dan Zn (seng).
Penelitian itu menunjukkan bahwa besi, misalnya, bercokol di otak para pengidap penyakit Alzheimer dalam bentuk partikel-partikel magnetit besi oksida (Fe3O4) berukuran nano. Pertanyaannya, dari manakah partikel-partikel magnetit itu datang?
Barbara Maher dan David Allsop, dalam sebuah tulisan yang diterbitkan The Conversation, menyatakan: “Magnetite nanospeheres itu berlimpah-ruah di udara kota yang tercemar polusi. Mereka terbentuk dalam suhu tinggi dan membeku jadi butiran kaya besi begitu mendingin. Ukuran partikel-partikel itu berkisar antara kurang dari 5 nanometer hingga lebih dari 100 nanometer (sebagai perbandingan, ukuran HIV adalah 120 nanometer) dan kerap ditemukan bersama partikel-partikel polusi lainnya.”
Menurut Maher dan Allsop, sumber utama partikel-partikel magnetit itu adalah kendaraan bermotor. Partikel-partikel itu tercipta dalam pembakaran bahan bakar, terutama oleh mesin diesel, dan pemanasan akibat gesekan bantalan rem.
Partikel magnetit berukuran besar (dengan diameter sekitar 10 mikrometer) bisa datang dari pabrik dan pembangkit listrik, namun dalam konteks ini ia justru tidak mengancam. Sebab, hanya partikel-partikel berukuran lebih kecil dari 200 nanometer yang dapat memasuki otak secara langsung lewat pernapasan.
Sebuah percobaan telah dilakukan terhadap sampel otak 37 mayat (berusia 3 hingga 92 tahun pada waktu kematian) yang para pemiliknya, semasa hidup, pernah tinggal di Mexico City, Meksiko, atau Manchester, Inggris. Temuannya: ada kandungan partikel magnetit yang besar pada sampel dari Mexico City, yang tingkat polusi udaranya tinggi, dan para pengidap Alzheimer berusia lanjut (kematian pada umur 65 tahun ke atas) dari Manchester.
Diameter partikel-partikel magnetit yang ditemukan itu berkisar antara 5 hingga 150 nanometer, dan mereka ditemukan bersamaan dengan nanopartikel lain yang mengandung logam-logam seperti platina, nikel, dan kobal, yang mustahil tercipta secara alamiah di dalam otak. Ketika dibandingkan dengan partikel-partikel nano dalam udara berpolusi, hasilnya cocok.
Mengingat bahwa penyakit Alzheimer yang diwarisi secara langsung berjumlah tak lebih dari 5 persen saja, kemungkinan besar lingkungan lah yang berperan paling besar dalam “persebaran” penyakit tersebut.
“Mereka berukuran sangat kecil, beracun bagi otak, dan lazim dijumpai dalam keseharian. Nanopartikel magnetit dalam polusi kendaraan bermotor perlu diperiksa lebih jauh sebagai kemungkinan penyebab penyakit-penyakit otak, termasuk Alzheimer,” tulis Maher dan Allsop. “Andai hubungannya dengan kesehatan manusia bisa dipastikan, hal ini bisa jadi implikasi besar untuk hukum-hukum yang melarang polusi udara jenis ini.”
Di Jakarta, sampai hukum semacam itu berlaku, saya akan menghindari bus-bus Kopaja dan kendaraan penghasil polusi berat lainnya. Saya takut tak bisa mengendalikan diri dan mencekik para sopirnya buat melampiaskan kebencian terhadap penyakit Alzheimer, si brengsek yang telah menghancurkan pikiran-pikiran terbaik yang saya muliakan.
Penulis: Dea Anugrah
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti