tirto.id - Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengaku kecewa terkait suap yang terjadi di Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT). Praktik suap untuk mendapatkan predikat “kinclong” BPK ini dinilai dapat menjatuhkan kredibilitas kementerian dan lembaga negara yang selama ini diukur, salah satunya dari hasil audit BPK tersebut.
Sri Mulyani pun mengindikasikan bahwa penangkapan yang dilakukan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terhadap pejabat kementerian dan BPK dapat mencoreng hubungan profesional yang selama ini telah terjalin antara pemerintah pusat dengan BPK.
“Kami dari LKPP (Laporan Keuangan Pemerintah Pusat), kita menanganinya secara serius dan kita melakukan pembahasan dengan BPK secara profesional. Jadi kita memandang apa yang disampaikan BPK adalah hal-hal baik dalam memenuhi standar akuntansi,” kata Sri Mulyani, di Gedung DPR, Jakarta, pada Senin (29/5/2017).
Meskipun kecewa, akan tetapi Sri Mulyani mengaku akan terus mendukung kinerja aparat hukum dan KPK dalam melaksanakan tugasnya. Termasuk untuk mengusut apabila ada indikasi adanya dugaan suap di kementerian atau lembaga negara lain, seperti operasi tangkap tangan (OTT) yang terjadi di Kemendes PDTT, pada Jumat pekan lalu.
Menurut Sri Mulyani, opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) yang diberikan BPK kepada kementerian dan lembaga negara akan berpengaruh pada kredibilitas institusi tersebut. Maka tak heran, jika setiap lembaga berlomba-lomba untuk memperoleh predikat “kinclong” BPK.
“Status dari WTP sendiri tentu kita semua memiliki kepentingan agar kredibilitas dari status itu dapat ditegakkan secara konsisten. Apapun mekanismenya, saya serahkan kepada BPK,” ujar Sri Mulyani lagi.
Hal yang sama juga diungkapkan anggota Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun. Politisi Partai Golkar ini menegaskan bahwa opini WTP yang diperoleh kementerian atau lembaga negara itu penting karena menjadi tolak ukur dalam hasil sebuah audit.
“Karena di situ kan kinerja keuangan, kinerja operasional, compliance kita, terkait dengan opini tersebut. Kalau kita mempunyai kualifikasi WTP, itu jadi bagian kepercayaan masyarakat bahwa di sana tata kelola pemerintahannya berjalan, prosedurnya bagus, pertanggungjawaban dan akuntabilitasnya bagus,” ujarnya saat ditemui usai rapat kerja dengan Menkeu, di Gedung DPR, Senin kemarin.
Akan tetapi, Misbakhun menyatakan tidak sependapat apabila suap yang dilakukan Irjen Kemendes PDTT dan pejabat eselon III Kemendes dikatakan semata-mata untuk memperoleh opini WTP.
“Saya yakin terhadap kredibilitas kelembagaan BPK. Mereka [BPK] adalah mitra kerja kami, kita berdiskusi di ruangan ini, bahwa bagaimana BPK meningkatkan kualitas para auditornya,” kata Misbakhun.
Menurut Misbakhun, para auditor BPK telah menerima pelatihan yang memadahi sehingga peluang untuk melakukan tindakan-tindakan yang melanggar etika tidak seharusnya terjadi. Salah satunya adalah lewat pelatihan yang diberikan secara intensif selama 40 jam dalam setahun.
“Seluruh auditor harus mendapat itu untuk tetap berada dalam kualifikasinya. Kemudian bagaimana sistem teknologi informatika dibangun, kemudian ada standar moral dan etik yang dilakukan. Ini pun ada upaya-upaya yang konkret,” ia menambahkan.
Seperti diberitakan, dalam operasi tangkap tangan yang dilakukan KPK, pada Jumat (26/5/2017) ditemukan adanya uang senilai Rp40 juta dari Kemendes untuk auditor dan pejabat BPK. Uang tersebut dinilai bagian dari komitmen “fee” sebesar Rp240 juta.
“Di ruangan ALS (Ali Sadli, Auditor BPK) ditemukan uang Rp40 juta yang diduga merupakan bagian dari total komitmen [sebesar] Rp240 juta. Sebelumnya, di awal Mei tahun 2017, telah diserahkan uang Rp200 juta,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, pada Sabtu (27/5) lalu.
Pejabat Eselon I BPK Rochmadi Saptogiri dengan rompi tahanan berada di mobil tahanan usai menjalani pemeriksaan di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (27/5). ANTARA FOTO/Sigid Kurniawan
Perlukan Kemendes Diaudit Ulang?
Menanggapi temuan tersebut, Misbakhun meragukan apabila uang sejumlah Rp240 juta itu diklaim sebagai suap untuk mendapatkan predikat WTP. Ia menilai, jumlah uang tersebut dinilai terlalu kecil untuk memperoleh opini WTP.
“Saya yakin ini bukan masalah yang berkaitan dengan opini. Karena terlalu murah Rp240 juta itu untuk WTP, dan itu tidak dalam level kelembagaannya BPK,” ujar Misbakhun.
Misbakhun menambahkan “Saya mendapat informasi mendalam, bahwa perolehan opini WTP itu sangat sulit. Ada audit program, ada kertas kerja pemeriksaan. Tidak mungkin kemudian rekomendasi-rekomendasi yang keluar dari hasil audit itu tidak diikuti, kemudian lembaga mendapatkan WTP.”
Sementara itu, anggota BPK I, Agung Firman Sampurna menyatakan suatu lembaga harus melalui proses panjang untuk bisa mendapatkan opini WTP. Adapun urutan tahapannya mulai dari perencanaan, pengumpulan bukti, pengujian, klarifikasi, diskusi, hingga proses penyusunan LHP dan actionplan.
Terkait kasus dugaan suap di Kemendes PDTT pun, Agung menegaskan pihaknya tidak akan melakukan audit ulang. Alasannya, karena audit yang dilakukan BKP tersebut berdasarkan sistem, bukan perseorangan.
“Karena audit di BPK itu sistem. Jadi tidak bergantung kepada seorang auditor utama, seorang auditorat, atau pun seorang pimpinan BPK,” ucap Agung di Jakarta, Senin (29/5/2017).
Pernyataan Agung tersebut bertolak belakang dengan yang disampaikan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Eko Putro Sandjojo. Ia menginginkan agar BPK melakukan audit ulang laporan keuangan di kementeriannya menyusul adanya suap yang dilakukan oleh Irjen Kemendes PDTT.
“Kalau bisa di-reaudit, saya sarankan untuk di-reaudit lagi, supaya masyarakat lebih confident bahwa WTP atau enggak. Kalau enggak, jangan ditulis WTP. Saya juga enggak apa-apa," ungkapnya di Gedung Kemendes PDTT, Kalibata, Jakarta Selatan, Senin (29/5).
Saat ditemui Tirto, Direktur Indonesia Budget Center (IBC), Roy Salam meyakini bahwa dugaan suap yang melibatkan BPK kemungkinan besar terkait dengan kewenangan audit. Karena, menurut dia, BPK tidak mungkin mengurus proyek.
“Karena enggak mungkin rasa-rasanya BPK menagih proyek, jadi pasti hubungannya dengan kewenangan audit. Baik itu audit laporan keuangan, audit kinerja, maupun audit untuk tujuan tertentu,” kata Roy di Jakarta, Senin (29/5/2017) sore.
Roy pun menegaskan terbongkarnya dugaan praktik suap ini tidak hanya dikenakan kepada oknum tertentu di BPK, namun juga kepada kelembagaan.
“Bagaimana pun, suap ini menggambarkan apa yang dikerjakan oleh BPK. Kalau dari penelusuran IBC, Rohmadi Saptogiri [tersangka] itu memiliki 19 entitas audit di 12 kementerian lembaga yang diaudit untuk tahun anggaran 2016. Dia punya wewenang,” ungkap Roy.
Untuk itu, Roy pun mengharapkan agar KPK tidak berhenti melakukan penelusurannya setelah mengungkap kasus dugaan suap ini. Roy meyakini terbongkarnya dugaan suap ke BPK dari Kemendes PDTT ini dapat mengarah ke sejumlah temuan dugaan korupsi lainnya.
“KPK enggak cuma mengungkap ini ada brankas, tapi yang harus diungkap juga dari mana brankasnya, dan ke mana alirannya. Karena ini yang menyuap Irjen, lembaga yang harusnya memberikan supervisi kepada internalnya mengenai bagaimana membuat laporan keuangan, kok malah dia melakukan praktik suap ke auditor,” jelas Roy.
Penulis: Damianus Andreas
Editor: Abdul Aziz