Menuju konten utama

Pentingnya Perlindungan terhadap Korban Cyberbullying di Indonesia

Survei Penetrasi Internet dan Perilaku Pengguna Internet Indonesia 2018: 49% mengaku pernah di-bully; 47,2% tidak pernah dirundung.

Pentingnya Perlindungan terhadap Korban Cyberbullying di Indonesia
Ilustrasi Cyberbullying . FOTO/iStockphoto

tirto.id - Ospek daring (online) yang diselenggarakan oleh Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Surabaya (UNESA) sempat menjadi sorotan di media sosial. Viralnya ospek online disebabkan oleh pihak panitia yang dianggap melakukan kekerasan secara verbal kepada mahasiswa baru karena tidak mengenakan ikat pinggang. Video tersebut kemudian menjadi viral, pihak Unesa mendapat sorotan dari berbagai media. Media sosial Instagram Fakultas Ilmu Pendidikan Unesa pun dipenuhi komentar pedas netizen.

Tetapi ternyata ada dampak lain dari viralnya video ospek online tersebut. Yaitu dirundungnya dua panitia ospek online yang juga dikenal dengan sebutan Pengenalan Kehidupan Kampus Bagi Mahasiswa Baru (PKKMB) itu. Kedua panitia ospek online Unesa tersebut mengalami perundungan di media sosial. Seperti diwartakan oleh Detik, salah satu panitia PKKMB FIP Unesa akhirnya mendatangi rumah mahasiswa baru yang dianggap sebagai korban kekerasan verbal sewaktu menjalani ospek online. Pertemuan tersebut didampingi oleh pimpinan fakultas, dosen pembimbing kemahasiswaan, serta BEM FIP. Tujuannya selain untuk meminta maaf ialah untuk membangun silaturahmi dan saling memberikan dukungan moral antar kedua belah pihak.

Perundungan atau bullying dalam berbagai bentuk tentu tidak dibenarkan dan dapat berdampak negatif pada keadaan psikologis korban perundungan. Tidak terkecuali dengan kedua panitia PKKMB FIP Unesa. Perundungan atau bullying di media sosial atau internet bisa kita sebut dengan cyberbullying. Menurut Nancy E. Willard dalam bukunya Cyberbullying and Cyberthreats (2005) menjelaskan, cyberbullying merupakan kegiatan mengirim atau mengunggah materi yang berbahaya atau melakukan agresi sosial dengan menggunakan internet serta berbagai teknologi informasi lainnya.

Justin W. Patchin (profesor Peradilan Pidana di University of Wisconsin-Eau Claire) dan Sameer Hinduja (Profesor Kriminologi dan Peradilan Pidana di Florida Atlantic University) dalam studinya “Cyberbullying: Identification, Prevention, & Response” (2014, PDF) lebih lanjut menjelaskan bahwa cyberbullying terjadi saat melecehkan, menghina, atau mengejek orang lain menggunakan media internet melalui gawai atau perangkat elektronik lainnya berulang kali. Misalnya mengunggah gambar memalukan seseorang dan menyebarluaskan atau mendistribusikan gambar tersebut melalui media sosial dan mengirimkan ancaman melalui pesan singkat.

Di dalam cyberbullying, selain ada pelaku dan korban, juga ada pengamat (bystander). Profesor psikologi di Clemson University, Robin M. Kowalski dan Susan P. Limber menyebut dalam studinya “Electronic Bullying Among Middle School Student” (2007), ada dua jenis saksi (bystander) dalam cyberbullying. Yaitu harmful bystander (cenderung mendukung, mengamati, dan tidak membantu korban) dan helpful bystander (cenderung berusaha menghentikan tindak bullying, memberikan dukungan kepada korban atau memberitahu seseorang yang memiliki otoritas).

Trolling, Doxing

Cyberbullying biasanya juga mencakup praktik trolling di dalamnya. Trolling merupakan salah satu jenis cyberbullying yang diikuti praktik doxing dan tidak menutup kemungkinan untuk bisa berlanjut pada persekusi secara online. Doxing sendiri merupakan penyebaran informasi pribadi individu tanpa izin dari individu yang bersangkutan dan menyebabkan individu tersebut mengalami kerugian bahkan hingga terancam keselamatannya.

Online trolling yang bisa berujung pada tindakan doxing ini menurut Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto, dapat mengancam praktik demokrasi. Damar menjelaskan, praktik trolling sering terjadi ketika seorang individu memiliki pendapat yang berbeda dengan narasi utama mendapatkan ancaman, hingga dipersekusi melalui media sosial. Trolling, jika dibiarkan memiliki konsekuensi pada kelangsungan demokrasi di ranah cyber, sebab ada pemaksaan narasi tunggal di sana, yang memiliki pendapat atau suara berbeda akan ditekan atau diancam.

Doxing, menurut Damar, terjadi ketika penyebaran informasi tersebut memiliki tujuan, “doxing itu terjadi karena adanya tujuan (dari pelaku) yaitu, membuat orang takut dan menarik pendapatnya dari publik. Jadi bukan hanya sekadar penyebaran informasi saja.” Lebih lanjut, Damar mengatakan bahwa praktik doxing bisa menjadi pintu masuk kejahatan cyber lain.

Perundungan atau bullying yang terjadi di ranah online lebih mudah dilakukan daripada aksi perundungan secara langsung. Seseorang bisa menyembunyikan identitasnya, rasa takut pun semakin berkurang, dan pelaku semakin berani melakukan perundungan. Pelaku bisa melayangkan komentar negatif sesukanya, bisa menghina, mengejek, dan memaki semaunya. Akibatnya, korban juga semakin banyak berjatuhan. Menurut data Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), dalam kurun waktu 9 tahun (2011-2019), bullying baik di instansi pendidikan maupun sosial media, angkanya mencapai 2.473 laporan dan terus meningkat.

Survei Penetrasi Internet dan Perilaku Pengguna Internet di Indonesia 2018 yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) terhadap 5.900 pengguna internet dari seluruh Indonesia mencatat, 49% pengguna internet pernah dirundung atau di-bully. Perundungan terjadi dalam berbagai bentuk, mulai dari diejek hingga dilecehkan di media sosial. Lebih lanjut, APJII mencatat, sebanyak 47,2% pengguna internet tidak pernah dirundung.

Pengguna internet juga memiliki berbagai respon dalam menyikapi aksi perundungan. Sebesar 31,6% pihak yang dirundung membiarkan tindakan pelaku. Sementara, pengguna internet yang merespons dengan membalas sebesar 7,9%. Kemudian 5,2% pengguna memilih tindakan untuk menghapus ejekan. Namun, hanya sebanyak 3,6% pengguna Internet yang melaporkan tindakan tersebut kepada pihak berwajib.

Sesuai dengan namanya, cyberbullying terjadi secara online, hal itu bisa menarik perhatian yang tidak diinginkan, semua orang, termasuk orang yang tidak dikenal oleh korban, bisa dengan bebas menertawakan atau bahkan ikut merundung korban. Dampak yang dirasakan oleh korban perundungan bisa bertahan lama. Dalam kasus yang sangat ekstrim bisa sampai menghilangkan nyawa korban.

Infografik Korban Cyberbullying

Infografik Korban Cyberbullying Butuh Perlindungan. tirto.id/Fuadi

Dalam buku Kowalski, dkk, Cyberbullying: Bullying in the Digital Age (2012) disebutkan, efek dari cyberbullying tidak jauh berbeda dengan bullying secara langsung. Yaitu menurunnya kepercayaan diri secara drastis, depresi, marah, memengaruhi mood dan hubungan pertemanan, memengaruhi prestasi akademik, dan dalam kasus tertentu dapat menimbulkan keinginan untuk bunuh diri.

Kemudian artikel yang dirilis oleh UNICEF terkait pengertian hingga penanganan kasus cyberbullying berjudul “Cyberbullying: Apa itu dan bagaimana menghentikannya” (2020) menyebut bahwa kita semua perlu untuk mendengarkan teman yang mengalami cyberbullying. Kenapa dia tidak ingin melapor kepada pihak yang memiliki otoritas, menemani dan menanyakan bagaimana perasaannya, serta membantunya untuk mencari seseorang yang bisa membantu mengatasi situasi tersebut.

Damar Juniarto menyebut, dunia media sosial Indonesia saat ini sudah tidak sehat lagi (toxic) dan menjauhi nilai-nilai demokratis. Pelaku penindasan atau bullying juga sering memiliki justifikasi bahwa apa yang mereka lakukan hanya sebatas bahan candaan dan untuk bersenang-senang saja. Jika korban merasa terganggu oleh hal itu, tidak jarang korban akan semakin ditertawakan atau dibully karena dianggap terlalu sensitif. Untuk menghadapi hal itu, Damar mengatakan, “argumen bahwa apa yang disampaikan hanya sebatas candaan harus dibuktikan. Kita semua harusnya setuju kalau bercanda jangan kelewatan, jangan sampai membuat orang ketakutan, karena itu bukan cara bercanda yang sehat. Bercanda juga harus rasional”.

Cara yang bisa kita lakukan untuk menghadapi penindasan atau bullying di internet, Damar menyebutkan, kita bisa melapor kepada polisi, kemudian kita juga bisa melaporkannya ke platform atau sosial media yang digunakan, dan yang tidak kalah penting adalah memberikan edukasi kepada publik atau masyarakat. Damar menambahkan, bahwa penyelesaian kasus bullying di internet tidak harus selalu melalui ranah hukum. Bisa diselesaikan dengan cara yang lebih kekeluargaan, misalnya dengan cara mempertemukan korban dan pelaku.

Pengaduan korban cyberbullying, juga dapat dilakukan melalui laman Layanan Aspirasi dan Pengaduan Online Rakyat Kementerian Komunikasi dan Informatika (lapor.go.id). Selain itu, korban juga bisa memblokir akun media sosial pelaku dan seperti yang dikatakan Damar, melaporkan perbuatan mereka (pelaku perundungan) di platform atau media sosial itu sendiri. Sebab, media sosial memiliki kewajiban untuk menjaga keamanan semua penggunanya.

Menurut Damar, hukum yang mengatur soal penindasan atau cyberbullying pundi Indonesia sudah cukup memadai. Ada beberapa instrumen hukum soal tindak kejahatan di internet yang bisa dirujuk. Namun, permasalahannya adalah soal padanan istilah yang digunakan dan hal itu merupakan tugas akademisi untuk menyelesaikannya.

Baca juga artikel terkait DOXING atau tulisan lainnya dari Nuraini Dewi

tirto.id - Humaniora
Penulis: Nuraini Dewi
Editor: Windu Jusuf