Menuju konten utama

Penolakan GP Ansor Terhadap Felix Siauw Terburu-buru

MUI mengkritik tindakan GP Ansor Bangil dan sejumlah organisasi sayap NU lain yang menolak kedatangan Felix Siauw di Masjid Manarul Gempeng, Bangil.

Penolakan GP Ansor Terhadap Felix Siauw Terburu-buru
(Ilustrasi) Sejumlah anggota Gerakan Pemuda Ansor mengikuti upacara bendera memperingati HUT ke-72 Republik Indonesia di Lapangan Bukit Seroja, Maron, Garung, Wonosobo, Jawa Tengah, Kamis (17/8). ANTARA FOTO/Anis Efizudin

tirto.id - Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) Amirsyah Tambunan mengkritik tindakan Gerakan Pemuda (GP) Ansor Bangil dan sejumlah organisasi sayap Nahdlatul Ulama (NU) lain yang menolak kedatangan Felix Siauw di Masjid Manarul Gempeng, Bangil, Pasuruan, Jawa Timur, Sabtu (4/11) kemarin. Felix Siauw rencananya akan menjadi pemateri dalam sebuah forum diskusi.

Penolakan ini, menurut Amirsyah, terlalu terburu-buru. Penolakan tidak bisa dilakukan hanya berdasarkan prasangka bahwa Felix Siauw akan mempromosikan gagasan khilafah sebagaimana yang kerap dilakukannya ketika Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) masih ada (baca: berbadan hukum).

"Kalau dia belum terbukti apakah akan menyampaikan ceramah sebagaimana HTI, sebaiknya pihak-pihak ini menahan diri dulu," kata Amirsyah saat dihubungi Tirto, Minggu (5/11/2017).

Kendati demikian, ia mafhum bahwa apa yang dilakukan cabang GP Ansor tersebut merupakan upaya preventif untuk mencegah tumbuhnya radikalisme di komunitas muslim Indonesia. Terlebih, secara hukum HTI telah dianggap ilegal dan dilarang di Indonesia. Namun, jika tidak berhati-hati, tindakan pembubaran semacam itu akan memicu tindakan persekusi di berbagai daerah di Indonesia.

"Kalau itu bersifat anjuran khilafah, tidak perlu. Apalagi sampai kepada upaya mengubah [pancasila]. Apalagi HTI juga kan sudah dibubarkan," ujarnya.

Baca juga: Ketua GP Ansor Menilai Pancasila Sudah Final

Pendapat hampir serupa juga diungkapkan oleh Galesh, aktivis dari kelompok yang memperjuangkan kebebasan berekspresi dan mengeluarkan pendapat, Gema Demokrasi (Gedor). Kepada Tirto, ia mengungkapkan bahwa pembubaran yang dilakukan oleh GP Ansor berlebihan dan telah merenggut hak-hak dasar warga untuk dapat berkumpul, berserikat dan mengungkapkan pendapat.

Seharusnya, tidak perlu ada pembubaran selama tidak ada ujaran kebencian serta hasutan untuk melakukan tindak kekerasan dalam forum tersebut. Jika pun ada, hal itu menjadi tanggung jawab kepolisian selaku penjaga keamanan dan ketertiban nasional.

"Kalau cuma diskusi, itu bagian dari hak mereka," kata Galesh.

Masalahnya, kata dia, polisi sebagai penegak hukum kerap lalai dalam menangani laporan yang ada di masyarakat. Ia mencontohkan, misalnya, tidak adanya tindakan tegas kepolisian terhadap para pelaku utama pembubaran dan penyerangan diskusi dan acara di LBH Jakarta beberapa waktu lalu. "Padahal sudah vulgar sekali pengaduan dan kekerasannya," katanya.

Ketika dikonfirmasi, Sekretaris Jenderal GP Ansor Adung Abdul Rachman menampik adanya upaya pelarangan yang dilakukan GP Ansor Bangil terhadap acara Felix Siauw. Menurutnya, pihak Ansor sudah melakukan dialog beberapa hari sebelum acara tersebut dihelat. Memang ada pelarangan, tapi itu dilakukan oleh kepolisian.

"Yang melarang polisi. Itu kewenangan mereka," ujarnya.

Baca juga: Bedah Buku Salju di Aleppo karya Dina Y Sulaeman Dibubarkan

Namun, ia membenarkan bahwa memang ada upaya sadar dan terencana untuk membatasi segala aktivitas yang dapat merongrong pancasila. Menurutnya, GP Ansor berkomitmen untuk menjaga Pancasila dan NKRI dari paham-paham dan bentuk negara lain, tidak hanya khalifah, tapi juga komunisme. Itu sebab mengapa penolakan ini telah terjadi beberapa kali. Selain Bangil, penolakan GP Ansor terhadap Felix Siauw juga sempat muncul di Sragen dan Semarang.

Dalam kronologi yang diterima Tirto, disebutkan bahwa atas instruksi Pengurus Cabang NU Kabupaten Pasuruan, GP Ansor Bangil langsung meminta ke polisi untuk berdiskusi dengan Felix Siauw begitu tahu bahwa pentolan HTI ini akan mengisi diskusi. Karena tidak ada tanggapan, PCNU akhirnya menyatakan keberatan kepada polisi.

Kamis (2/11) malam, GP Ansor dan Barisan Ansor Serbaguna (Banser) sepakat untuk memperbolehkan Felix Siauw hadir, tapi dengan syarat bersedia menandatangani surat pernyataan yang isinya mengakui pancasila, 4 pilar negara, dan tidak bicara soal khilafah. GP Ansor dan Banser pun akan menjaga keamanan dan duduk bersama mendengar kajian Felix Siauw.

Namun, Felix Siauw menolak membubuhkan tanda tangannya.

"Akhirnya kepolisian mempersilakan Felix keluar dari Masjid Manarul Gempeng dengan pengawalan kepolisian menuju ke rumah temannya di daerah Sidogiri," tulis kronologi itu. "GP Ansor Bangil tidak melarang kajian ilmiah asalkan si penceramah mengakui Pancasila sebagai dasar negara Indonesia serta tidak koar-koar khilafah," demikian kalimat terakhir kronologi itu.

Baca juga: PBNU dan Ansor Dukung Penuh Pembubaran HTI

Dalam akun Instagramnya, Felix Siauw mengatakan bahwa ia sudah tahu bahwa kedatangannya ke Bangil ditolak sejumlah Ormas. Sehari sebelum acara (3/11), ia mendapat kabar lanjutan bahwa semua persoalan sudah selesai. Pertemuan tokoh agama, bupati, dan pejabat terkait memastikan bahwa acaranya tetap diselenggarakan dengan jadwal yang juga tidak berubah.

Tapi ketika sudah sampai di lokasi, sudah ada ormas yang berdemonstrasi. Sempat terjadi ketegangan. Pihak polisi kemudian memilih memenangkan tuntutan demonstran: membatalkan acara.

Kapolres Pasuruan kemudian meminta Felix, yang sudah ada di lokasi pukul 8 pagi, untuk keluar dengan alasan bahwa ia tidak mau menandatangani surat pernyataan bermaterai. Menurut Felix, ia tidak tahu menahu soal surat tersebut sebelum diperlihatkan, baik isinya, maupun siapa yang membuatnya.

"Bagi saya ini jelas-jelas sebuah jebakan, dan juga penghinaan. Sebab jika saya menandatangani, sama saja saya mengaku bahwa semua yang dituduhkan pada saya benar adanya," katanya.

Baca juga artikel terkait PEMBUBARAN HTI atau tulisan lainnya dari Rio Apinino

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Hendra Friana
Penulis: Rio Apinino
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti