Menuju konten utama

Penjelasan Psikolog Soal Penyebab Orang yang Tak Mau Gunakan Masker

Masih banyak orang yang melanggar protokol kesehatan termasuk tak menggunakan masker saat beraktivitas di luar rumah.

Penjelasan Psikolog Soal Penyebab Orang yang Tak Mau Gunakan Masker
Ilustrasi Tanpa Masker. foto/istockphoto

tirto.id - Hingga saat ini jumlah orang yang terinfeksi COVID-19 terus bertambah, hingga 14 September ada 3.141 kasus baru sehingga total menjadi 221.523 orang yang terinfeksi virus Corona.

Sayangnya meski jumlah pasien terus bertambah, masih banyak orang yang melanggar protokol kesehatan termasuk tak menggunakan masker saat beraktivitas di luar rumah.

Soal masih banyaknya warga yang melanggar protokol kesehatan ketika beraktivitas di luar rumah menurut Dosen psikologi UGM Diana Setiyawati itu sebagai bentuk keputusasaan terhadap kondisi karena dampak yang ditimbulkan pandemi ini begitu besar bagi kehidupan mereka.

“Bisa juga karena putus asa dengan kondisi, memang yang harus kita perhatikan adalah memastikan agar semua orang terpenuhi kebutuhan dasarnya,” paparnya.

Akibatnya muncul berbagai sanksi sosial yang diberikan kepada mereka yang melanggar protokol kesehatan.

Beragam bentuk sanksi sosial tersebut mulai dari disuruh berdoa di makam khusus kasus COVID-19, dimasukkan ke dalam peti jenazah hingga dimasukkan ke dalam ambulance yang berisi keranda mayat.

Munculnya beragam sanksi sosial untuk penegakan protokol kesehatan ini menurut Diana, menunjukkan bahwa mengubah perilaku masyarakat sangatlah tidak mudah.

Menurutnya setiap orang akan mengubah perilakunya jika sesuai dengan persepsi yang diyakininya.

”Segala stressor (penyebab stres) itu kebanyakan netral, yang membuat kita tertekan atau tidak itu adalah persepsi kita sendiri. Jadi tinggal di rumah bagi orang tertentu bisa menekan, bagi org lain bisa netral,” katanya dalam keterangan tertulis yang diterima redaksi Tirto.

Ia mencontohkan soal persepsi bahwa seseorang yang merasa dirinya rentan dan beresiko tertular namun ada yang merasa bahwa penyakit ini ringan dan tidak begitu serius bila terkena.

“Ini tergantung persepsi akan keseriusan penyakit ini. Misal ada yang menganggap covid ini dianggap tidak serius, tidak parah kalau terkena. Jika ada yang menganggap serius maka mereka akan menimbang protokol kesehatan,” katanya.

Menurutnya edukasi sangat diperlukan untuk mengubah persepsi warga masyarakat untuk bisa mematuhi protokol kesehatan.

Meyakinkan bahwa menggunakan masker dan selalu cuci tangan untuk melindungi mereka dari paparan dan berisiko tertular sangatlah penting.

“Kita harus meyakinkan diri kita bahwa apa iya pake masker dan cuci tangan bisa membuat saya terlindungi? kalau sudah takdir bagaimana?Lalu soal persepsi beratnya mematuhi protokol kesehatan, misal pake masker pengap, cuci tangan bikin kulit kering,” katanya.

Soal munculnya beragam sanksi sosial tidur di peti mati atau membangun peti mati di area publik menurutnya itu sebagai salah satu bentuk edukasi ekstrim karena sulitnya mengubah perilaku untuk mengajak warga mengikuti protokol kesehatan.

Namun, menurutnya sanksi harus memiliki efek jera tetapi juga harus diimbangi dengan fasilitas yang mendukung.

“Yang namanya sanksi memang seharusnya memiliki efek jera, namun sanksi memang harus diimbangi dengan fasilitas,” katanya.

Sebagai peneliti kesehatan mental masyarakat, Diana mengusulkan agar pemerintah harus membuat kebijakan yang bijaksana dan kompak untuk memikirkan segala aspek kehidupan warga selama masa pandemi berlangsung.

Baca juga artikel terkait MASKER atau tulisan lainnya dari Nur Hidayah Perwitasari

tirto.id - Sosial budaya
Penulis: Nur Hidayah Perwitasari
Editor: Agung DH