tirto.id - Pengawasan terhadap Mahkamah Konstitusi (MK) bisa diperkuat melalui revisi Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK. Langkah itu dirasa perlu untuk meminimalisir terpilihnya figur yang tidak tepat sebagai hakim konstitusi.
Pengamat hukum dari Sekolah Tinggi Hukum Indonesia (STHI) Jentera Bivitri Susanti berkata, revisi UU MK perlu dilakukan meski ia pesimistis hal itu bisa diwujudkan tahun ini. Perbaikan yang diusulkan dalam UU MK mencakup pengawasan lembaga dan standarisasi proses pemilihan calon-calon hakim konstitusi.
"Pertama, adanya lembaga seperti KY (Komisi Yudisial) yang melakukan pengawasan rutin itu sebenarnya bagus. Mungkin tak banyak terekspos, tapi KY itu punya database perilaku hakim, kekayaan, segala macam," ujar Bivitri di Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, Selasa (30/1/2018).
Saat ini, pengawasan terhadap kinerja hakim konstitusi menjadi tanggung jawab dan wewenang Dewan Etik. Namun, lembaga itu hanya bisa bertindak jika ada aturan ihwal dugaan pelanggaran etik yang diterima dari masyarakat sipil.
Dewan Etik juga tak bisa langsung memberhentikan hakim konstitusi yang terbukti melakukan pelanggaran etik berat. Lembaga itu hanya bisa membentuk Majelis Kehormatan, yang nantinya bisa memutuskan apakah sanksi pemecatan diberikan atau tidak kepada hakim pelanggar etik berat.
MK sebelumnya dapat diawasi oleh KY, namun hal itu tak lagi dapat dilakukan setelah uji materi terhadap UU KY dikabulkan.
"(Pengawasan hakim konstitusi) harusnya tidak usah bertingkat seperti itu; pelanggaran berat dulu lalu membentuk majelis kehormatan. Diawasi sehari-hari saja dan kalau ada pengaduan baru dibentuk majelis kehormatan, rekomendasinya lebih konkrit," ujar Bivitri.
Desakan memperkuat pengawasan MK kembali muncul usai Ketua MK Arief Hidayat terbukti melakukan pelanggaran etik. Pelanggaran dilakukan saat ia menghadiri pertemuan dengan pimpinan Komisi III DPR di Hotel MidPlaza bermodalkan undangan melalui telepon, Desember 2017 lalu.
Seharusnya undangan yang ditujukan pada Arief atau MK harus bersifat resmi agar menghindari potensi pelanggaran kode etik.
Desakan telah berulang kali disampaikan kelompok masyarakat sipil agar Arief rela mundur dari jabatannya di MK. Namun, Arief tetap bungkam dan MK menyatakan tak akan memberhentikan ketuanya.
"Jadi tidak bisa diberhentikan, sepanjang tidak ada dugaan pelanggaran etik yang baru dan berat, karena yang kemarin sudah diputus," ujar Juru Bicara MK Fajar Laksono, Jumat (26/1/2018).
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto