Menuju konten utama

Pengawasan BPOM yang Lemah Picu Penggerebekan Toko Obat

YLKI menilai, penggerebekan toko obat oleh FPI disebabkan pengawasan yang dilakukan BPOM selama ini belum optimal.

Pengawasan BPOM yang Lemah Picu Penggerebekan Toko Obat
Ilustrasi. Petugas Balai Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) mendata obat yang dijual di salah satu retail modern di Kota Gorontalo, Gorontalo (Selasa) 26/9). ANTARA FOTO/Adiwinata Solihin.

tirto.id - Penggerebekan sebuah toko obat ilegal, di Kelurahan Jatibening, Bekasi, pada Rabu (27/12/2017) oleh puluhan anggota Front Pembela Islam (FPI) menguak fakta lemahnya pengawasan obat-obatan oleh Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Kehadiran toko obat tersebut sebenarnya sudah sejak lama meresahkan masyarakat. Selain karena tidak memiliki izin menjual obat, kios itu dituding kerap menjual obat yang sudah kedaluwarsa. Kapolresta Bekasi, Kombes Pol Indarto, mengatakan, sebelum penggerebekan oleh FPI, masyarakat sudah menyampaikan pengaduannya kepada pihak kepolisian. Namun, sebelum mendapat pendampingan polisi, ternyata anggota FPI keburu datang dan menggeruduk kios obat tersebut.

Indarto mengatakan, sekitar 20 orang FPI melakukan penggrebekan ke tempat kejadian untuk melakukan pengrusakan terhadap obat-obat di sana. Namun, kata Indarto, tidak ada pengrusakan properti yang dilakukan oleh FPI, selain barang produksi.

“Obatnya diisi air dan mereka memaksa tanda tangan pernyataan terhadap pemilik toko agar tidak mengulangi lagi,” kata Indarto kepada Tirto, Selasa (2/1/2018).

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengatakan, pengawasan dari BPOM seharusnya lebih diperkuat terkait obat-obat yang beredar di pasaran. BPOM, kata Tulus, bukan hanya mengawasi obat, tetapi juga toko yang mengedarkan obat tersebut. Hal ini dilakukan karena tidak semua toko diperbolehkan menjual obat tertentu secara bebas.

Sejauh ini, YLKI menilai tugas pengawasan yang dilakukan BPOM belum maksimal. Menurut Tulus, seharusnya BPOM bisa menggandeng pihak-pihak tertentu yang juga bisa mengawasi peredaran obat-obatan dan melakukan tindakan pencegahan.

“BPOM harus juga menggandeng Dinas Kesehatan sampai dengan lapis paling bawah dan juga mengaudit masing-masing apotek, toko obat, atau toko lain, sehingga dia tidak memasarkan obat kadaluwarsa atau yang palsu dan kalau bisa, dan harus bisa, dari sisi hulu, pusat-pusat perdagangannya di mana,” kata Tulus, Selasa (2/1/2018).

Tulus berkata, pengawasan obat-obatan ini sangat penting karena selain bisa merugikan, juga dapat membahayakan jika tidak diawasi secara optimal. “Karena obat, kan, menyangkut masalah keamanan, sehingga perlu ditangani dengan tegas,” kata Tulus.

Apabila BPOM tidak bisa diharapkan, Tulus mengimbau masyarakat agar lebih kritis terhadap masalah obat-obatan ini. Tulus berkata, sepatutnya masyarakat sadar jenis obat yang dijual dan beredar di pasaran. Jika obat yang dijual tidak baik, maka masyarakat bisa meminta ganti rugi, namun tidak dengan menggeruduk toko tersebut.

“Aturannya sudah ada, tinggal implementasinya saja. Aturannya memang seperti itu [toko tidak boleh menjual obat sembarangan]” kata Tulus menambahkan.

Sementara itu, Direktur Pengawasan Produksi Produk Terapetik dan PKRT BPOM, Rita Endang mengatakan, pengawasan produk obat-obatan yang beredar memang merupakan tanggung jawab dari BPOM, akan tetapi tidak seluruhnya bisa diawasi.

Rita menuturkan, berdasarkan Instruksi Presiden Nomor 3 tentang Peningkatan Efektivitas Pengawasan Obat dan Makanan, maka ada 10 kementerian dan lembaga yang seharusnya bisa memantau peredaran obat secara ilegal ini.

“Orang suka bilang itu toko obat, padahal dia enggak ada izinnya. Itu bukan toko obat, itu kios. Tentu karena tanggung jawab ini obatnya, kita juga mengawasi di seluruh sarana termasuk di dalamnya kios-kios seperti ini yang harusnya tidak ada,” kata Rita kepada Tirto.

Dari 10 kementerian dan lembaga itu, kata Rita, pemerintah daerah juga harusnya bertanggung jawab dalam melakukan pengawasan ini. Menurut Rita, tidak mungkin BPOM mengawasi seluruh toko kelontong atau kios yang tersebar di seluruh Indonesia. Karena itu, harus ada bantuan dari pemda setempat.

Rita menambahkan, BPOM juga tidak mungkin melarang toko tersebut ataupun toko ritel, seperti Indomaret atau Alfamart menjual obat karena bisa berpotensi menimbulkan kesulitan masyarakat mendapatkan obat-obatan.

Karena itu, kata Rita, BPOM sebenarnya sudah mewacanakan tentang kewajiban toko ritel memiliki asisten apoteker yang bertugas untuk bertanggung jawab tentang penjualan obat-obatan. Hal ini perlu, karena obat-obatan tidak bisa dijual sembarangan dan memiliki kondisi tertentu untuk penjualannya.

“Di seluruh balai juga sudah disampaikan agar toko ritel memiliki penanggung jawab asisten apoteker. Ini sedang berproses, jadi tentu perlu pemahaman bersama bahwa yang dijual itu obat dan obat itu ada khasiat dan cara mainnya. Jangan sampai malah merusak mutunya,” kata Rita.

Apabila kewajiban ini diterapkan, tentu toko kelontong atau kios-kios tidak boleh lagi menjual obat secara bebas. Rita menegaskan, toko atau warung kelontong memang harus bisa kembali lagi pada fungsinya menjual barang-barang sehari-hari, selain obat-obatan.

“Kita kembalikan lagi ke perizinan. Toko kelontong, kan, jelas hanya menjual produk-produk kelontong, bukan obat. Nanti kita kembalikan saja seperti itu. Ini agar masyarakat memahami bahwa obat tidak bisa dijual sembarangan,” kata dia.

Penggerebekan FPI Berujung Pidana

Dalam kasus penggerebekan toko obat ilegal di wilayah Bekasi tersebut, polisi telah menetapkan tiga orang sebagai tersangka, yaitu BG, H, dan L.

BG menjadi tersangka setelah mendatangi sebuah toko obat ilegal di Jalan Jatibening II, Kelurahan Jatibening pada Rabu, 27 Desember 2017 bersama dengan puluhan anggota FPI. BG menjadi tersangka kasus perusakan dan perbuatan melawan hukum. Adapun, H sendiri menjadi tersangka karena menjual obat-obatan terlarang, dan kedaluwarsa. Sementara L adalah penjaga toko.

Kombes Pol Indarto mengatakan, polisi tidak mempermasalahkan ormas dan masyarakat yang menuding toko menjual obat ilegal dan kadaluarsa. Akan tetapi, tindakan pemaksaan dan ancaman yang dilakukan tersebut bisa dijerat pidana. Indarto berkata, tindakan FPI itu merupakan bentuk arogansi dan pelanggaran aturan.

“Perbuatan memaksa seseorang dia maksa ini, atau maksa ambil barang, maksa duduk di lantai, dan maksa tanda tangan,” kata dia.

Tindakan tersebut kemudian dianggap melanggar Pasal 170 KUHP dan Pasal 335 KUHP.

Toko atau kios yang digeruduk oleh FPI sudah berdiri sejak setahun lalu atau sekitar tahun 2016. Pemilik kios tersebut pun tidak lolos dari jeratan hukum. Dari keterangan Indarto, L sama H ikut dijerat karena melanggar UU Kesehatan Nomor 36 tahun 2009. "Saya persalahkan karena menjual obat karena izin," terangnya.

Menurut Indarto, semenjak toko berdiri, izin untuk menjual obat tersebut memang tidak ada.

Baca juga artikel terkait atau tulisan lainnya dari Felix Nathaniel

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Felix Nathaniel
Penulis: Felix Nathaniel
Editor: Abdul Aziz