tirto.id - Indonesian Muslim Crisis Center (IMCC) menyimpulkan masih kentalnya pengaruh orang yang memiliki kuasa dan kelompok arus utama dalam isu penindakan organisasi non-kekerasan di Indonesia.
Kesimpulan itu disampaikan usai IMCC mengadakan riset sejak Agustus-Februari 2018. Mereka melibatkan mantan anggota NII Komandemen Wilayah 9 dan Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) dalam riset itu.
Direktur IMCC Robi Sugira berkata, kentalnya pengaruh kelompok arus utama terlihat dari kasus yang menimpa organisasi Gafatar. Kelompok itu telah bubar sejak 2015, namun sempat mendapat perhatian publik setelah ribuan anggotanya ketahuan tinggal bersama di wilayah Kalimantan.
"Kasus Gafatar menandakan sebuah kelompok pasti akan dinyatakan bermasalah meski pro Pancasila tetapi berseberangan dengan agama mainstream atau memiliki sejarah warisan yang kelam," ujar Robi di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, Kamis (22/3/2018).
Gafatar berkaitan dengan Ahmad Musadek. Ia merupakan Pemimpin Al Qidayah Al Islamiyah yang dianggap sebagai narasumber spiritual organisasi itu.
Organisasi itu dianggap sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI). Salah satu alasannya karena Gafatar menganut ajaran Millah Abraham yang mencampuradukkan agama Islam, Nasrani, dan Yahudi.
Menurut Robi, Gafatar sebenarnya organisasi yang menjunjung tinggi perdamaian dan pro Pancasila. Namun, Gafatar dianggap sesat dan beberapa anggotanya dipersekusi karena dianggap menyimpang dengan keyakinan arus utama.
Agar tindakan diskriminasi seperti yang dialami Gafatar tidak terulang, Robi menyarankan pemerintah tak menggunakan pendekatan politik dalam menghadapi kelompok minoritas seperti itu.
"Kedua, harus pakai pendekatan HAM,” ungkapnya.
“Yang ketiga, dia enggak mau repot pemerintah, kebijakan pemerintah yang sebelumnya meski banyak kritik digunakan, yang penting bisa mengademkan kelompok-kelompok mayoritas," ujar Robi.
Pemerintah juga diminta mengedepankan riset sebelum mengambil kebijakan, terutama yang berkaitan dengan nasib organisasi di Indonesia.
Robi mencontohkan, pemerintah sebenarnya bisa menemukan fakta berbeda dalam kasus Gafatar. Jika riset saat itu dilakukan, Robi yakin pemerintah akan melihat Gafatar bukan sebagai organisasi yang sesat.
"Ideologi Gafatar tidak membolehkan melakukan perlawanan. Ada transformasi, ini harus dilihat," ujar Robi.
Pemerintah Bias Melihat Sejarah Organisasi
Menurut Wakil Ketua Setara Institute Bonar Tigor Naipospos, pemerintah kerap membias dalam menangani keberadaan organisasi seperti Gafatar. Penyimpangan muncul karena pemerintah memiliki prasangka usai melihat fakta bahwa Gafatar memiliki narasumber spiritual Ahmad Musadek.
"Rekam jejak itu kemudian menjadi bias dan prasangka bahwa Gafatar ini adalah metamorfosis dari Al Qiyadah Al Islamiyah atau NII. Karena itu ketika melihat Gafatar itu mampu berada di 34 provinsi, bercita-cita bentuk negeri karunia alam semesta, bayangan mereka ini gerakan politik berkedok keagamaan," ujar Bonar.
Menurut Setara, Gafatar adalah gerakan spiritual sosial yang muncul karena realitas sosial. Bonar berkata, gerakan Gafatar dilandasi kepercayaan agama universal sehingga anggotanya berasal dari pemeluk agama beragam.
"Celakanya sekarang ini muncul kelompok-kelompok yang berkedok agama kemudian melakukan kekerasan dan sekarang ini dibiarkan. Mereka ini adalah benalu demokrasi seperti FPI contohnya," kata Bonar.
Menurut pengurus Majelis Ulama Indonesia (MUI) Ali M Abdillah, fatwa sesat yang diberikan untuk Gafatar pada 2016 silam sudah melalui kajian mendalam. Ali mengakui, Gafatar beraktivitas di bidang sosial. Namun, organisasi itu kerap mempraktikkan ajaran yang dianggap menyimpang dengan ajaran agama Islam.
"Menurut kesimpulan kami, Gafatar merupakan metamorfosis dari Al Qaedah Al Islamiyah, Milah Abraham," kata Ali.
Penulis: Lalu Rahadian
Editor: Alexander Haryanto