tirto.id - Emrus Sihombing, Pengamat Politik dari Universitas Pelita Harapan (UPH) menyatakan, apabila konflik di internal Partai Hanura tidak mampu diatasi, maka hal itu bisa merugikan pasangan calon yang diusung di Pilkada 2018.
Pasalnya, konflik itu berpotensi memecah kerja mesin politik partai di daerah dan berdampak pada pencalonan Pileg dan Pilpres 2019.
Menurut Emrus, meskipun Hanura sudah menggelar Munaslub untuk menyelesaikan konflik internal, namun upaya itu belum tentu mampu menyelesaikan masalah.
Munaslub Hanura kubu Sarifuddin Sudding telah memutuskan Marsekal Madya (Purn) Daryatmo sebagai Ketua Umum untuk menggantikan Oesman Sapta Odang (OSO).
Namun menurut OSO, ia tetap sah sebagai Ketua Umum Hanura. Bahkan OSO menunjukkan surat keputusan Menteri Hukum dan HAM tentang restrukturisasi, reposisi, dan revitalisasi pengurus DPP Partai Hanura masa bakti 2015-2020 dengan nomor M.HH-01.AH.11.01 tahun 2018.
Emrus menyatakan, kasus itu menunjukkan bahwa Hanura mengikuti tiga partai "saudara" tuanya yang pernah mengalami perpecahan, seperti yang dialami oleh PDI ketika masa Orde Baru, kemudian terjadi pada Golkar dan PPP di era reformasi ini.
"Elit partai kita di Indonesia belum matang dan masih sangat rentan perpecahan, baik penyebabnya dari internal maupun dari eksternal," kata dia di Jakarta, Jumat (19/1/2018).
Emrus menyatakan, pada kasus-kasus seperti itulah masyarakat menjadi tidak percaya partai-partai di Indonesia mampu mewujudkan kesejahteraan rakyat. Sebab, tidak mampu mengurusi masalah di internal partai.
Untuk itu, ia menyarankan para elit politik partai yang didirikan Menkopolhukam Wiranto harus secepatnya bertemu untuk menemukan kompromi politik yang terbaik.
"Para elit politik Hanura harus secepatnya bertemu untuk melakukan komunikasi politik dan dialog untuk menemukan kompromi politik yang terbaik bagi Hanura sebagai partai politik dan bagi para kader, utamanya yang ikut bertarung pada Pilkada 2018 dan Pemilu 2019," ujar Emrus Sihombing.
Penulis: Alexander Haryanto
Editor: Alexander Haryanto