tirto.id - Pengamat politik Universitas Andalas (Unand), Padang, Sumatera Barat (Sumbar), Edi Indrizal menilai langkah yang diambil Partai Demokrat untuk mempersiapkan Ani Yudhoyono (Ani) sebagai calon presiden 2019 sebagai upaya membangun dinasti.
"Akan tetapi tidak semua politik dinasti tersebut dapat terwujud apalagi pada tingkat nasional," kata dia di Padang, Rabu (16/3/2016).
Menurutnya, faktor ketokohan sangat penting dalam pemilu presiden, sehingga sulit bagi Ani untuk menyaingi tokoh seperti Joko Widodo (Jokowi) dan Prabowo Subianto.
Ia melanjutkan, tak cukup jika Ani hanya mengandalkan nama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), sebagai pejabat, politisi atau pimpinan organisasi sosial, hal itu tergolong minim untuk menjadi modal politik Ani Yudhoyono sebagai calon presiden.
Menurutnya, jika melihat secara gender, susah bagi perempuan untuk bisa menang dalam pemilu presiden, mengingat kecenderungan masyarakat Indonesia yang masih tradisional dalam menentukan pilihan.
Jika ada yang membandingkan antara Ani dan Hillary Clinton yang juga mencalonkan diri sebagai presiden, ia melihat adanya perbedaan konteks.
Istri dari mantan presiden Amerika Serikat Bill Clinton itu, kata Edi, tidak hanya menggunakan nama suaminya, tetapi pernah menjabat sebagai Menteri Luar Negeri yang jauh lebih bergengsi dibandingkan dengan wakil presiden.
Tidak hanya itu, menurutnya, selain keberhasilan Hillary menunjukkan kesuksesannya saat menjadi Menteri Luar Negeri, keterbukaan masyarakat Amerika yang telah menganut kesetaraan gender juga memungkinkan Hillary untuk tampil, ditambah pula dengan latar belakangnya sebagai politisi dab pengacara.
Sebelumnya politisi Partai Demokrat Ruhut Sitompul mengatakan banyak rakyat Indonesia yang masih ingin dipimpin oleh Susilo Bambang Yudhoyono, hal ini terlihat ketika partainya mengadakan temu rakyat di beberapa kota (Tour de Java), oleh karena itu, partainya berencana mengusung Ani Yudhoyono sebagai calon presiden pada pemilu 2019.