tirto.id - Nak, mari berdoa
Agar bapak selamat dari penembakan
Berita gencar di setiap lembaran koran
Tentang dibunuhnya para bromocorah
Sebagai penggemar berat, Amin memiliki banyak koleksi kaset Iwan Fals. Seiring waktu, kini koleksinya hanya bisa dihitung jari. Sebagian dijual, sebagian lagi raib karena dipinjam teman-temannya.
Ia tidak pernah tahu banyak soal latar belakang lagu-lagu yang sering diciptakan idolanya itu, hingga zaman berganti.
“Sekarang saya tahu karena semuanya bisa ditemukan di forum-forum internet dan YouTube,” ujarnya.
Lirik di atas disenandungkan oleh Riana Rusli yang sebelumnya tergabung dalam Kelompok Pengamen Getih Abang. Setelah itu, Riana mengisi vokal di Kelompok Penyanyi Jalanan (KPJ) yang dimotori Iwan Fals, Sawung Jabo, Anto Baret, dan lainnya.
Lagu berjudul “Senandung Istri Bromocorah” tersebut merupakan salah satu lagu yang terdapat dalam album KPJ yang beredar sekitar tahun 1985.
Amin menceritakan sekilas bahwa lagu tersebut diciptakan dengan latar belakang ramainya peristiwa Penembak Misterus (Petrus) yang terjadi di awal hingga pertengahan 1980-an.
Penggemar Iwan Fals lainnya, Dian, membenarkan bahwa latar belakang lagu itu yakin ditulis Iwan Fals antara tahun 1983-1985. Ia meyakini lagu tersebut berlatar hebohnya Petrus di masyarakat.
Dian menjelaskan bahwa lagu “Senandung Istri Bromocorah” berkisah mengenai seorang istri bromacorah yang gelisah akibat kondisi tak menentu mengenai perburuan oleh orang-orang misterius terhadap para preman, profesi yang dilakoni suaminya.
Sang istri berkeluh kesah dengan menenangkan anaknya, seraya berdoa agar kelak anaknya itu tak bernasib sama seperti suaminya.
“Pokoknya, dari lagu itu saya pernah mendengar cerita itu (Petrus),” ujar Dian melalui obrolan pesan teks.
Petrus merupakan istilah yang diciptakan oleh masyarakat dan media massa. Sementara dalam operasi resmi, ABRI, Kepolisian, dan Pemerintah Orde Baru menyebutnya sebagai “Operasi Cerulit” yang dikemas dengan nama Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK).
Ekonomi Anjlok, Kriminal Meningkat
Orde Baru masih dihinggapi bulan madu saat booming Minyak terjadi memasuki pertengahan dekade 1970-an, membuat ekonomi nasional tumbuh bergeliat. Sektor minyak dan gas menjadi sumber pendapatan negara yang menguntungkan karena naiknya harga minyak dunia yang menyentuh angka $11,6/barel.
Saat itu, pendapatan negara tercatat Rp246,2 miliar pada tahun 1969/1970, naik drastis 600 persen menjadi Rp1.770,6 miliar pada tahun 1974/1975.
Hal ini berulang pada tahun 1979 saat harga minyak dunia berada di kisaran $31,6/barel, menyebabkan kontribusi ekspornya berdampak pada APBN yang jumlahnya melebihi pajak dan investasi pemerintah, dari Rp118,2 miliar pada tahun 1969 menjadi Rp4.014,2 miliar pada tahun 1979.
Budaya patronasi kemudian tumbuh dalam lingkaran kroni dan keluarga Soeharto.
Memasuki awal tahun 1980-an, pemerintah mulai kelabakan karena pemasukan terbesarnya itu turun drastis dari yang semula harganya $30/barel menjadi $10/barel. Akibatnya, pinjaman-pinjaman komersial dari luar negeri segera masuk ke kas negara melalui beberapa perusahaan-perusahaan negara seperti Pertamina. Ini dilakukan untuk menopang cadangan devisa yang 80 persen pemasukannya diraup dari ekspor minyak.
Selain itu, devaluasi mata uang, pemakaian buruh murah, termasuk pemotongan subsidi BBM dan bahan pokok terpaksa dilakukan untuk menjaga kestabilan ekonomi.
Di sisi lain, masyakarat mulai kesulitan secara ekonomi karena harga-harga komoditas membubung tinggi. Bahkan di kota-kota besar seperti Jakarta, kondisi semakin semrawut karena arus urbanisasi yang tak terbendung. Dampaknya adalah kemiskinan dan pengangguran yang mulai merajalela.
Situasi keamanan di masyarakat pun tak menentu karena persaingan ekonomi tidak terkendali. Ditambah dengan eksistensi geng dan kelompok preman yang makin menunjukkan aksinya secara terang-terangan.
Para residivis dengan berbagai julukannya--gali, jeger, bromocorah, preman, dan sebagainya-- yang biasanya menguasai lahan parkir, toko, pasar, dan tempat hiburan malam kemudian melakukan beberapa tindak kejahatan, seperti merampok, mencuri, membegal, bahkan membunuh siapa saja untuk mendapatkan rampasan. Mereka menciptakan teror di tengah risaunya masyarakat.
Menyikapi hal ini, mahasiswa dan beberapa elemen masyarakat mulai melakukan demonstrasi sebagai bentuk protes kepada pemerintah yang dinilai tak becus menjalankan roda ekonomi dan keamanan.
Dari sinilah Seoharto dengan Orde Barunya mulai menjalankan demobilisasi politik.
Abdul Aziz dalam Ekonomi Politik Monopoli (2018) menyebut saat itu Soeharto mulai melakukan penghancuran gerakan mahasiswa, pemberedelan majalah, koran, dan mulai menggunakan “penembak misterius” untuk melancarkan tujuan-tujuan politiknya.
Dalam pidato kenegaraan 16 Agustus 1982, Soeharto memerintahkan Laksamana Soedomo dan jajaran ABRI untuk memberantas preman dan kelompok sejenisnya agar diberantas hingga akar-akarnya.
Operasi Celurit
Awal Agustus 1983, sebuah karung mengapung berbau busuk ditemukan di tepian Sungai Ciliwung sekitar kawasan Marunda, Jakarta Utara. Orang-orang mulai berkerumun sampai akhirnya saling mengumpat karena begitu karung dibuka isinya adalah bangkai babi.
Sebelumnya, mereka menduga-duga karung tersebut berisi mayat dari korban penembak misterius yang sering ditemukan di tempat-tempat umum.
Dalam catatan Tempo edisi 6 Agustus 1983, kejadian-kejadian seperti ini menyebar secara merata di beberapa daerah.
Bulan Juni sebelumnya, sebuah mayat tak dikenal ditemukan di pinggiran Sungai Cimedang, Kabupaten Ciamis. Tenggorokannya luka menganga, kepalanya pecah, darah keluar dari mulut, hidung, dan lubang lainnya.
Satu bulan kemudian, Edi Joni, seorang gali--akronim dari gabungan anak liar-- Pasar Johar, Karawang, ditemukan tewas mengenaskan di kandang kambing, tak jauh dari rumahnya. Kepalanya luka akibat bacokan, sedangkan pada lehernya terdapat bekas jeratan tali plastik. Sehari-harinya, ia dikenal suka memeras para sopir dan pedagang pasar.
Usai pidato Soeharto yang memerintahkan untuk menindas para preman di malam 17 Agustus itu, jajaran ABRI beserta kepolisian mulai membahas untuk menjaga keamanan dan ketertiban umum, termasuk langkah-langkah penanganannya.
Tanggal 19 Januari 1983, rapat koordinasi berlangsung di Markas Kodam Jaya dipimpin Laksamana Soedomo yang saat itu menjabat sebagai Pangkomkamtib. Rapat juga dihadiri Pangdam Jaya, Kapolri, Kapolda Metro Jaya, dan Wagub DKI Jakarta.
Dalam 69 Kasus Hukum Mengguncang Indonesia (2012 hal.12), Nur Muhammad Wahyu Kuncoro menulis bahwa rapat yang membahas keamanan ibu kota itu memutuskan untuk melaksanakan operasi menumpas kejahatan bersandi “Operasi Celurit” di Jakarta dan sekitarnya.
Operasi yang juga dikenal dengan Operasi Pemberantasan Kejahatan (OPK) kemudian diikuti oleh Polri maupun ABRI yang ada di kota-kota lain, seperti Yogjakarta, Surabaya, Bandung, Medan, Semarang, hingga Samarinda.
Yogyakarta dan wilayah Jawa Tengah disebut-sebut sebagai daerah pertama yang melakukan operasi terhadap para bandit dan gengnya sebelum Operasi Celurit diberlakukan bulan Februari 1983.
Sejak itu, mayat-mayat misterius mulai ditemukan masyarakat di sejumlah tempat seperti jalan raya, sungai, pasar, atau lahan permukiman. Ketika korban ditemukan, ciri-ciri umumnya dalam kondisi luka di kepala dan leher dengan tangan terikat.
Mereka juga biasanya memiliki tato di tubuh, yang umumnya ditempuh aparat saat melakukan razia resmi untuk menjaring pelaku kejahatan.
Tingginya laporan masyarakat mengenai orang hilang kemudian menimbulkan masalah lain. Mereka yang hilang diidentifikasi sebagai orang biasa, tidak pernah terlibat dalam kericuhan, orang yang sudah insaf dari dunia premanisme, atau keluarga dekat yang dianggap komplotan gali.
Kehebohan masyarakat soal temuan mayat misterius menggiring media massa dalam melabeli sosok yang mengeksekusi para preman dan gali. Dari sinilah muncul istilah Petrus alias penembak misterius.
Pro dan Kontra
Sejak diberlakukan awal tahun 1983, Petrus mulai dirasakan efeknya oleh masyarakat. Angka kriminal di beberapa daerah menurun drastis. Puluhan orang yang selama ini dianggap sebagai pengacau ketertiban di masyarakat ditembak dan dieksekusi, beberapa dari mereka menyerahkan diri ke polisi.
Begitu juga pendapatan pajak daerah yang sebelumnya dipangkas oleh para preman berhasil dikembalikan ke kas daerah. Contohnya catatan pajak Pemda Kodya Yogyakarta tahun 1983/1984 yang mendapatkan Rp500 juta, berbanding jauh dengan tahun sebelumnya yang hanya mendapatkan Rp120 juta/tahun.
Para pendukung Petrus kemudian muncul di tengah masyarakat. Mereka bersedia menjadi relawan sebagai eksekutor atau tugas lainnya untuk membasmi para preman.
Di kalangan pro ini, ada anggapan lebih baik mengorbankan yang sedikit daripada harus mengorbankan lebih banyak. Anggapan ini seperti menafsirkan apa yang disampaikan Soeharto ketika terang-terangan menanggapai banyaknya temuan mayat misterius.
“Lalu, ada yang mayatnya ditinggalkan begitu saja. Itu untuk shock therapy, terapi goncangan. Ini supaya orang banyak mengerti bahwa terhadap perbuatan jahat masih ada yang bisa bertindak dan mengatasinya,” ujar Soeharto sebagaimana ditulis dalam memoarnya Soeharto: Pikiran, Ucapan, dan Tindakan Saya (1989).
Para penentang Petrus muncul dari beberapa tokoh agama, seperti Ketua MUI, E.Z Muttaqien dan Uskup Agung Jakarta, Mgr. Dr. Leo Soekotjo. Keduanya menentang dengan tegas pembunuhan tanpa pengadilan tersebut. Mereka beranggapan bahwa penjahat sekalipun, harusnya diberi kesempatan untuk menyesali perbuatannya dan bertobat.
Hal serupa juga disampaikan mantan Wapres, Adam Malik yang menyebut bahwa pengadilan singkat harusnya bisa dilakukan pemerintah terhadap para preman.
“Bila perlu tangkap pagi, sidangkan siang hari, dan sore hari kita tembak. Ini berarti kematiannya karena putusan pengadilan. Dan berarti kita berjalan di atas landasan hukum,” tegasnya dalam rubrik Tempo bertajuk “Ada Dor, Ada Ya, Ada Tidak”edisi 6 Agustus 1983.
Spekulasi bermunculan mengenai kebijakan Petrus yang mulanya berdasarkan atas keamanan semata, mengerucut menjadi dinamika politik.
Isu retaknya hubungan Ali Moertopo dengan Seoharto lantas berembus. Mereka tak lagi harmonis setelah Peristiwa Malari 1974.
Para preman dan gali yang dibunuh ditengarai anak buahnya Ali Moertopo yang berada dalam jaringan Opsus pimpinannya. Dulu, mereka dikerahkan dalam upaya mendukung legitimasi Golkar dengan meneror para saingan politik di wilayahnya menjelang Pemilu.
Soeharto memiliki niat menghapus kaki tangan Ali dengan Petrusnya. Dugaan ini juga diperkuat ketika L.B Moerdani menjadi Pangkopkamtib tahun 1984. Tak lama berselang, ia langsung membubarkan Opsus yang bertahun-tahun menjadi kendaraan politik Ali Moertopo.
Sampai hari ini, pelaksana Petrus tidak pernah diadili dan pemerintah enggan bertanggung jawab terhadap para korban dan keluarganya.
Menurut catatan Tim Ad Hoc Penyelidikan Pelanggaran HAM, jumlah korban selama operasi Petrus diberlakukan mencapai 10 ribu orang.
Penulis: Ali Zaenal
Editor: Irfan Teguh Pribadi