tirto.id - Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel, Rabu (6/12) kemarin waktu AS. Kebijakan turunannya, ia memerintahkan Kedutaan Besar AS yang kini ada di Tel Aviv dipindah ke sana. Implikasi kebijakan ini bisa sangat serius, salah satunya berpotensi memicu kebangkitan gerakan ekstremis.
Hal ini diungkapkan Zuhairi Misrawi, Peneliti Timur Tengah dari The Middle East Institute. Kepada Tirto, ia menyebut kebijakan tersebut ibarat "menanam ranjau ekstremis di dunia."
"Kelompok-kelompok teroris dan ekstrem selalu menggunakan isu penindasan Israel terhadap Palestina atau AS terhadap Palestina sebagai isu sentral. Maka dari itu [kebijakan Trump] akan membangunkan kelompok ekstremis yang kita tahu belakangan sudah tiarap," katanya, Kamis (7/12) kemarin.
Baca juga:
- Trump Nekat Mengakui Yerusalem sebagai Ibukota Israel
- Soal Yerusalem, Pemerintah Didesak Mengirim Nota Protes
Kebijakan ini akan membuat Trump termakan ucapannya sendiri. Dalam pidato luar negeri pertamanya ketika jadi presiden, Trump sempat menyerukan kepada pemimpin dunia Arab dan Islam bersatu mengalahkan ekstremis. Ketika itu, ia tidak menyebut kelompok ekstremis sebagai "teroris", sebagaimana ia ucapkan berulang kali ketika masih berstatus calon presiden.
"Masa depan yang lebih baik hanya mungkin ada jika negara Anda mengusir para teroris dan mengusir ekstremis-ekstremis. Usir mereka dari tempat ibadah Anda semua. Usir mereka dari masyarakat Anda semua. Usir mereka dari tanah suci Anda dan usir mereka dari muka bumi ini," kata Trump.
Malah pada akhir Mei lalu Trump sempat mendatangi Yerusalem dalam misi khusus untuk mengupayakan perdamaian Israel-Palestina. Ketika itu dia bilang bahwa upaya perdamaian sebetulnya mudah dilakukan dibanding perkiraan banyak orang.
Baca juga:
- NU dan MUI Tolak Kebijakan AS Soal Yerusalem sebagai Ibukota Israel
- Soal Yerusalem, Jokowi: Amerika Banyak Melanggar Resolusi PBB
Zuhairi juga mengatakan bahwa kebijakan Trump ini bakal mengakhiri proses perdamaian yang sedang diusahakan, bukan hanya oleh AS, tapi juga negara-negara Eropa seperti Jerman dan Perancis. Kanselir Jerman Angela Merkel dan Presiden Perancis Emmanuel Macron telah menyatakan sikap menentang kebijakan ini.
"Jadi, [kebijakan] Trump begitu kontradiktif," kata Zuhairi.
Hal serupa diutarakan Ketua Umum Pimpinan Pusat Pemuda Muhammadiyah Dahnil Anzar Simanjuntak. Menurutnya kebijakan Trump bisa mendorong konflik yang lebih besar di Timur Tengah.
"Apa yang dilakukan oleh AS adalah provokasi untuk melahirkan konflik, terorisme, dan radikalisme yang lebih besar di Timur Tengah. Tindakan Trump menunjukkan bahwa AS sama sekali miskin komitmen untuk menjaga perdamaian dunia," demikian Dahnil dalam siaran persnya.
Sementara Yon Machmudi, Ketua Kajian Timur Tengah dari Universitas Indonesia (UI), mengatakan bahwa kebijakan pemindahan ibukota adalah upaya simbolik untuk menunjukkan eksistensi dan kuasa Israel atas Yerusalem. "Pemindahan ibu kota itu sebagai upaya mendapatkan legalitas terhadap pembangunan pemukiman di wilayah Palestina," kata Yon kepada Tirto.
Baca juga:
- Pernyataan Kontradiktif Kedubes AS Soal Yerusalem Ibu Kota Israel
- Hamas Serukan Intifadah Terhadap Israel dan Donald Trump
Respons negara Timur Tengah yang lamban, menurut Yon, disebabkan faktor kepentingan nasional masing-masing negara. Kesamaan rumpun dan agama tidak lantas membuat suatu negara cepat membantu. Singkatnya, tidak ada kepentingan yang mendesak bagi negara di Timur Tengah untuk mendukung Palestina.
"Secara ekonomi karena Palestina tidak kaya sumber daya alam dibanding negara lain. Siapa yang mau berhadapan dengan AS tanpa ada kepentingan-kepentingan lain?" katanya.
Atas alasan itu pula, Yon menilai Indonesia punya peran strategis mendukung Palestina. Indonesia, katanya, bahkan bisa jadi inspirasi bagi negara lain.
"Indonesia merupakan satu-satunya negara yang tidak punya kepentingan khusus dengan Israel, sehingga punya posisi yang independen untuk menunjukkan dukungannya kepada Palestina," ujar Yon.
Penulis: Rio Apinino
Editor: Maulida Sri Handayani