tirto.id - Klaim Britania Raya atas Swaziland yang sudah berlangsung sejak 1903 akhirnya berakhir pada 6 September 1968. Negara kecil di Afrika bagian selatan ini pun memperoleh kemerdekaannya. Namun, hidup di negara yang merdeka ternyata tidak selalu menyenangkan. Rakyat Swaziland sudah mengalaminya.
Lepas dari Inggris, mereka justru menjadi salah satu kaum paling merana di dunia. Nasib Swaziland pun tidak semulus negara-negara persemakmuran Inggris lainnya. Rakyat negara tetangga Afrika Selatan ini nyaris selalu akrab dengan kemiskinan, kesengsaraan, juga ketidakadilan, yang justru disebabkan pemimpin mereka sendiri.
Negara Berkepala Tiga
Raja Swaziland saat ini adalah Mswati III. Ia memimpin rezim kedua Swaziland sejak merdeka dari Inggris dan mulai menduduki takhta sejak 1986, menggantikan raja sebelumnya, Sobhuza II. Swaziland adalah negara kerajaan dengan pemerintahan monarki absolut. Artinya, ada pihak berwenang yang memiliki kekuasaan paling mutlak.
Namun, monarki absolut ala Swaziland punya ciri khas tersendiri yang sebenarnya cukup unik. Raja bukan satu-satunya pemimpin di negara itu. Bak ular berkepala tiga, masih ada dua orang lainnya yang turut memegang kendali pemerintahan di Swaziland, yakni ndlovukati dan perdana menteri.
Baca Juga:
Ndlovukati adalah penyebutan gelar untuk ibu kandung raja (senior queen) yang pengaruhnya nyaris setara dengan raja itu sendiri. Jika ndlovukati wafat, maka kekuasaannya akan dialihkan kepada salah seorang istri raja (William Roberts Clark, et.al., Principles of Comparative Politics, 2012:352).
Punya banyak istri bagi Raja Swaziland bukan hal yang aneh. Raja Mswati III sendiri memiliki 15 orang istri. Penguasa sebelumnya, Sobhuza II, lebih mencengangkan lagi. Clifford Becker (2013:63) dalam Conversations with a World Traveler mencatat raja pertama Swaziland pasca-merdeka ini punya 70 istri, 210 anak, dan cucu yang berjumlah tidak kurang dari 1000 orang.
Jika raja dan ndlovukati memiliki pengaruh yang nyaris sepadan karena faktor kedekatan serta garis darah, tidak demikian halnya dengan perdana menteri. Jabatan ini ditunjuk oleh raja dengan persetujuan ndlovukati. Perdana menteri bertugas menjalankan roda pemerintahan di Swaziland meskipun keputusan akhir tetap menjadi wewenang raja dan ibunya.
Kerajaan Swaziland juga punya dua lembaga negara lainnya, yaitu Senat dan Dewan Perwakilan atau House of Assembly. Kendati begitu, kedua institusi itu sepertinya hanya menjadi formalitas demokrasi di negara kerajaan itu semata karena nyaris tidak memiliki daya untuk mempengaruhi kebijakan maupun sebagai penyalur aspirasi masyarakat. Lagi-lagi, raja, bersama ndlovukati, yang paling berhak memutuskan.
Kemewahan Keluarga Raja
Forbes menyebut Raja Mswati III adalah pemimpin negara di Afrika terkaya ke-4 dan ke-17 di dunia. Nilai bersih kekayaan pribadinya tidak kurang dari 50 juta dolar AS, itu belum termasuk aset dari beberapa perusahaan miliknya yang mencapai angka 140 juta dolar AS (Forbes, 3 Juni 2014). Laporan versi lain bahkan meyakini sang raja punya kekayaan lebih dari 200 juta dolar AS.
Kehidupan serba mewah sangat lekat dengan keluarga istana, terutama gaya hidup Raja Mswati III beserta para istri dan anak-anaknya. Untuk menghidupi satu istrinya saja, yakni Inkhosikati LaMbikiza yang memang dikenal dengan gaya hidupnya yang gemerlap, Mswati III telah menghabiskan puluhan juta dolar AS.
Setahun sekali, Raja Mswati III mengirim istri-istrinya ke Amerika Serikat untuk berbelanja sepuasnya. Pada 2008, seperti dilaporkan BBC, para istri tersebut menyewa pesawat demi berkunjung ke sejumlah negara di Eropa dan Timur Tengah, juga untuk menghamburkan uang (BBC, 22 Agustus 2008).
Baca Juga:
Mereka yang mengulik kehidupan mewah sang raja akan segera ditindak, seperti yang dialami Thulani Maseko dan Bheki Makhubu pada 2014. Maseko, pengacara/aktivis Hak Asasi Manusia (HAM), dan Makhubu, pemimpin redaksi The Nation, dihadapkan ke pengadilan karena mengkritik gaya hidup raja dan dianggap berpotensi meresahkan masyarakat (FIDH, 3 Juli 2015).
Derita Rakyat Swaziland
Apa yang dinikmati keluarga istana berbanding terbalik dengan kondisi rakyatnya. Dilihat dari pendapatan rata-rata penduduknya yang sempat menyentuh angka kurang dari 1,25 dolar AS per hari –ditambah sekitar 34 persen jumlah pengangguran– Swaziland termasuk negara termiskin di dunia. Komite Kebijakan Moneter Swaziland pada 2013 bahkan menyebut cadangan dana negara itu tinggal sekitar 800 juta dolar AS (BBC, 28 Mei 2014).
Maret 2016, Organisasi Pertanian dan Pangan PBB (FAO) memasukkan Swaziland sebagai salah satu dari 34 negara di dunia yang sangat membutuhkan bantuan pangan. FAO juga menyebut, satu dari tiga orang di negara berpenduduk 1,2 juta jiwa ini mengalami kekurangan gizi.
Di sektor kesehatan, Swaziland juga termasuk yang terburuk, terutama untuk penyebaran virus HIV/AIDS. Swaziland adalah negara dengan kecepatan infeksi HIV/AIDS tertinggi di dunia, dengan sekitar 39 persen orang dewasa di negara ini telah terjangkit virus mematikan tersebut. Tak hanya itu, wabah tuberkulosis juga menjadi ancaman serius (Swaziland Health HIV/AIDS and TB Project, The World Bank, 16 Agustus 2014).
Kondisi kesehatan rakyatnya yang buruk itu membuat Swaziland menjadi salah satu negara yang penduduknya memiliki perkiraan harapan hidup terendah di dunia, yaitu 51,6 tahun. Data CIA tahun 2016 menyebutkan, Swaziland menempati posisi ke-221 dari 224 negara dengan perkiraan harapan hidup paling rendah (The World Factbook, CIA, 2016).
Semestinya, setelah menjadi negara merdeka, terlebih bekas jajahan Inggris, Swaziland bisa berbenah secara bertahap untuk meningkatkan kesejahteraan penduduknya. Namun yang terjadi justru sebaliknya. Tirani dan kehidupan mewah sang raja beserta keluarga istana secara perlahan-lahan justru akan “membunuh” rakyatnya sendiri.
Penulis: Iswara N Raditya
Editor: Zen RS