Menuju konten utama

Nasib Minoritas Muslim di Swaziland

Umat Muslim sering mendapat label negatif dan sering dianggap "tidak ada".

Nasib Minoritas Muslim di Swaziland
Masjid Baitul Hadi di Hlatikulu, Swaziland. FOTO/Wikipedia.

tirto.id - Nama Swaziland mungkin masih terasa asing. Maklum saja, negara kecil yang berada di sebelah selatan dari Benua Afrika itu tak begitu popular di Indonesia dibandingkan tetangganya Afrika Selatan yang berada di sebelah barat atau Mozambik yang berada di sisi timur.

Meski tak begitu populer, Swaziland adalah salah satu dari sedikit negara monarki absolut yang tersisa di dunia. Kerajaan Swaziland sudah berdiri sejak 400 tahun lalu dan dinasti Swaziland merupakan salah satu dari sedikit dinasti-dinasti di Afrika yang masih ada hingga saat ini.

Swaziland adalah negara yang kekuasaannya didominasi oleh Raja dan keluarga kerajaan. Selain itu, berdasarkan keputusan Raja Sobhuza II pada tahun 1973, semua organisasi sosial dan politik dilarang melakukan kegiatan di negara tersebut. Jalannya pemerintahan dikendalikan oleh seorang Perdana Menteri yang diangkat Raja. Semua itu dijalankan sesuai dengan sistem yang disebut Tinkhundla.

Negara tersebut terdiri atas empat distrik, yakni Hhohho, Lubombo, Manzini, dan Shishelweni. Mayoritas dari penduduk negara tersebut adalah suku Swazi. Selain itu, ada juga yang berasal dari suku Zulu, bangsa Eropa, dan pengungsi dari Mozambik.

Berdasarkan laporan BBC, jumlah penduduk di Swaziland hanya sebesar 1,2 juta jiwa atau hanya sekitar 10 persen dari jumlah penduduk Jakarta. Dalam komunikasi sehari-hari, penduduk setempat menggunakan bahasa Swati dan Inggris. Dua bahasa tersebut menjadi bahasa resmi di negara itu.

Di negara kecil tersebut, Kristen merupakan agama mayoritas dan menjadi agama utama. Meski demikian menurut Pew Research tahun 2010, masih ada beberapa agama lain di negara tersebut misalnya Islam. Jumlahnya tak lebih dari 10 ribu penduduk atau hanya 0,2 persen dari penduduk Swaziland.

Agama lain misalnya Hindu 0,1 persen, Budha dan Yahudi di bawah 0,1 persen, ada juga yang masih menganut kepercayan lokal 1 persen. Selain itu, ada juga penduduk yang memilih untuk tidak mengikuti salah satu agama yang jumlahnya lebih dari 10 persen dan agama lainnya 0,4 persen.

Sedangkan menurut The World Factbook CIA tahun 2015, jumlah penduduk Islam di wilayah tersebut sebanyak sudah mencapai 2 persen dan Kristen tetap menjadi mayoritas dengan persentase mencapai 90 persen dari total penduduk Swaziland. Agama lain mencapai 8 persen yang merupakan gabungan antara Baha'i, Budha, hingga Yahudi.

Infografik Muslim Swaziland

Sebagai salah satu kaum minoritas di negara tersebut, umat Muslim tak lepas dari yang namanya diskriminasi. Di awal tahun 2017, saat sekolah-sekolah membuka tahun ajaran baru, pemerintah setempat mengeluarkan kebijakan terkait silabus tingkat sekolah dasar dan menengah agar hanya menyebutkan agama Kristen. Buku teks yang sebelumnya digunakan sebagai panduan belajar pun diganti dengan yang baru.

“(Pendidikan) Agama lain tidak akan ditawarkan di tingkat sekolah dasar dan menengah,” kata Pat Muir salah seorang pejabat dari kementerian pendidikan.

Sahid Matsebula, seorang Muslim yang bekerja di sebuah masjid di dekat kota Mbabane mengungkapkan bahwa kebijakan pemerintah dapat memperburuk ketegangan antara agama di wilayah tersebut. Ditambah lagi bahwa konstitusi negara tersebut sesungguhnya menjamin kebebasan beragama.

Sistem pendidikan ini mulai muncul saat publik mengeluhkan adanya migrasi penduduk Asia dan Muslim ke negara. Parlemen merespons dengan membuat berbagai kebijakan yang dapat dikatakan untuk menekan perkembangan agama lain seperti Islam di wilayah tersebut.

“Kristen adalah dasar agama di mana negara ini dibangun,” kata Stephen Masilela, ketua Konferensi Gereja-Gereja Swaziland.

Media juga berperan dalam diskriminasi. Richard Rooney dalam sebuah jurnal berjudul Swazi Journalism and the Muslim Threat mengungkapkan media massa setempat mencitrakan Islam sebagai musuh.

Misalnya dengan membuat opini bahwa masuknya Islam ke Swaziland dapat mengubah negara tersebut dari negara Kristen menjadi negara Islam. Pemberitaan yang bias tentu dapat memicu ketegangan dan merusak kerukunan antarumat beragama.

Muslim di Swaziland memang bebas beribadah dan tak ada larangan dalam melakukan acara keagamaan. Namun, rendahnya pengetahuan tentang penganut agama lain terkadang memicu adanya tudingan dan kesalahpahaman terhadap penduduk Muslim.

Hal lainnya yang juga menjadi kesalahpahaman adalah soal sertifikasi halal. Ketika perusahaan asal Amerika Serikat yakni KFC mengumumkan bahwa ayam crispy yang dijual adalah Halal pada 2010. Umat non-Muslim lainnya kemudian merasa resah bahkan ada yang menuding hal itu sebagai cara guna “mengikat” orang-orang untuk meyakini ajaran Islam.

“Akibatnya, beberapa pelanggan yang beragama lain merasa gelisah karena ketidaktahuan tentang arti sebenarnya dari Halal,” kata Moshe Terdiman, Direktur Research of Islam and Muslims in Africa (RIMA).

Tokoh Islam Swaziland mencoba meluruskan kesalahpahaman itu bahwa ketika sesuatu dihalalkan, menurut agama Islam, makanan itu bersih dan boleh dikonsumsi. Hal itu sesuai dengan hukum Syariah yang melarang umat Muslim mengonsumsi makanan yang tidak halal.

Terdiman selanjutnya meminta agar segala kesalahpahaman tentang Islam di Swaziland bisa segera diselesaikan agar tidak berpotensi memicu konflik.

Baca juga artikel terkait DISKRIMINASI atau tulisan lainnya dari Yantina Debora

tirto.id - Sosial budaya
Reporter: Yantina Debora
Penulis: Yantina Debora
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti