tirto.id - Sebuah video di kanal YouTube berdurasi 1 menit 39 detik menampilkan tutorial memasak daging. Video itu memang masih minim penonton. Namun, yang menarik bahan makanan yang dimasak adalah daging burung olahan dalam kemasan burung puyuh impor asal Perancis.
Daging kemasan burung puyuh terbilang baru di pasaran daging olahan dalam kemasan, produk ini awalnya merupakan sajian unggulan di restoran Cupuwatu Resto yang terletak di Sleman, Yogyakarta. Menu ini sering disebut "Manuk Londo" karena bahan bakunya dari impor.
Rista Lara Rosanti, Direktur Operasional PT Cupuwatu Kaya Rasa menjelaskan, riset untuk menjadikan daging burung beku dengan merek dagang "Zuuper Quail" ini sebagai makanan olahan dalam kemasan sudah dimulai sejak 2015. Namun, Cupuwatu belum bisa memasarkan produk sebelum lolos perizinan peredaran makanan.
“Kami dinyatakan lolos BPOM dan mendapat sertifikasi MUI baru pada Maret 2018. Jadi butuh dua tahun sejak riset selesai dilakukan untuk segalanya bisa dipasarkan dengan lancar,” kata Rista kepada Tirto.
Burung puyuh impor asal Perancis punya keunggulan perawakan yang lebih besar dibanding burung puyuh Asia dan juga Australia. Menurut Rista, cita rasanya juga khas, dagingnya empuk, kenyal dan gurih. Rasanya berbeda dibanding burung puyuh lokal maupun burung dara.
"Kami meyakini produk ini bisa masuk ke segmen pasar menengah atas dan bisa bersaing sejajar dengan daging ayam beku olahan dalam kemasan seperti varian nugget dan sebagainya,” ungkap Rista.
Citra daging burung memang masih dianggap sebagai makanan pinggir jalan. Untuk menjadikannya kudapan populer seperti nugget yang telah akrab di pasar memang tidak mudah. Belum lagi soal harga jual yang ditawarkan di atas produk makanan beku lainnya di pasaran. Daging olahan burung puyuh impor dijual Rp35 ribu untuk satu kemasan 330 gram yang berisi dua ekor burung puyuh. Dengan harga setinggi ini, maka segmen yang cocok adalah menengah atas.
“Akan susah masuk ke segmen menengah bawah, kecuali kalau di kota-kota besar. Karena secara harga, kalau untuk mentahnya saja sudah lebih dari Rp11.000 per ekor,” jelas Rista.
Zuuper Quail baru terjual 1.000 ekor daging puyuh beku olahan setiap bulan. Penjualannya memang naik 20-30 persen sejak produk mendapat izin BPOM dan juga MUI. Jika menghitung konsumsi di Cupuwatu Resto, maka jumlah konsumsi mencapai 5.000 ekor per bulan.
Namun, jumlah itu masih terbilang kecil lantaran baru setengah dari total kapasitas produksi yang mencapai 10.000 ekor daging puyuh setiap bulan. Mereka menggandeng jaringan distributor besar untuk dapat menjual produk di supermarket dan hypermarket besar di Jakarta seperti Carrefour dan sebagainya, mulai tahun depan untuk terus melakukan penetrasi pasar, bersaing dengan produk makanan beku lainnya.
“Pemasaran produk untuk menembus distributor besar memang tidak mudah. Karena produk Zuuper Quail adalah produk baru, kami juga harus melakukan edukasi dan itu merupakan tantangan utama kami,” jelas Rista.
Kehadiran makanan olahan beku seperti daging burung puyuh impor di pasar memang sebagai alternatif bagi konsumen. Namun, secara bisnis, untuk menantang dominasi makanan beku dari unggas khususnya ayam, bukan suatu yang mudah.
“Protein paling murah adalah ayam, sehingga edukasi dan sosialisasi diperlukan untuk memperkenalkan dan memasarkan produk ini,” kata Ishana Mahisa, Ketua Umum National Meat Processor Association (NAMPA) atau Asosiasi Industri Pengolahan Daging Indonesia.
Tantangan produk burung puyuh kemasan memang adalah pada harga. Catatan NAMPA, sebesar 65-70 persen pangsa pasar industri pengolahan daging di Indonesia merupakan konsumen kelas ekonomi menengah bawah. Strategi menyisir ragam segmen ditempuh oleh para pemain lama.
Charoen Pokphand misalnya melakukan diversifikasi produk untuk menyasar beragam segmen pasar. Produsen daging olahan terbesar di Indonesia itu memiliki empat merek dagang yang masing-masing ditujukan segmen pasar. Untuk masyarakat kelas ekonomi bawah misalnya, tersedia produk dengan merek Okey. Masyarakat kelas ekonomi menengah bisa menikmati merek Champ dan juga Fiesta. Sedangkan untuk masyarakat kelas ekonomi menengah atas, bisa mengonsumsi produk premium Charoen Pokphand dengan merek Golden Fiesta.
“Pangsa pasar untuk masyarakat kelas ekonomi menengah atas hanya sebesar 10-15 persen. Sedangkan sisanya adalah food service atau untuk kebutuhan hotel, restoran dan kafe (horeka). Jadi jika ingin penetrasi lebih cepat, bisa melakukan diversifikasi produk berdasarkan harga jual,” kata Ishana.
Harga burung puyuh kemasan Rp35 ribu untuk dua ekor burung puyuh dalam satu kemasan seberat 330 gram jadi persoalan untuk penetrasi pasar. Sebab, pasar industri daging olahan yang selama 6 tahun ini menjadi pasar yang menggiurkandan diminati produsen adalah daging olahan dalam kemasan dengan harga rata-rata maksimal Rp30 ribu per kilogram.
Namun, ceruk pasar di industri daging olahan masih besar di Indonesia. Ini bisa dilihat dari besarnya persentase daging olahan terhadap produksi daging nasional. Di negara maju, persentase daging olahan bisa mencapai 12-16 persen dari produksi daging keseluruhan. Sedangkan di Indonesia, persentase industri daging olahan baru 3-4 persen terhadap produksi daging secara keseluruhan.
Produk yang masih memposisikan sebagai pendatang baru seperti burung puyuh kemasan di pasar makanan olahan beku, butuh strategi yang tak ringan. Persoalan lainnya adalah sumber bahan baku yang masih impor, karena rentan fluktuasi kurs mata uang dan aspek ketahanan pangan, yang semestinya bahan baku bersumber dari dalam negeri dengan budidaya.
“Industri pengolahan daging jika ingin tumbuh menjadi besar, harus kuat di bahan baku. Siapa yang menguasai bahan baku, dialah yang akan menguasai pasar,” kata Ishana.
Editor: Suhendra