tirto.id - Ancaman hukuman menanti orang-orang yang menolak vaksinasi COVID-19. Hal itu tertuang dalam Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2021 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan COVID-19 yang diteken pada 9 Februari 2021.
Pasal 13A mengatakan, Kementerian Kesehatan melakukan pendataan dan menetapkan sasaran penerima vaksin COVID-19. Mereka yang telah ditetapkan sebagai penerima wajib mengikuti program. Ayat 4 pasal tersebut mengatakan, mereka yang mangkir dari kewajiban tersebut akan dijatuhi hukuman administratif. Antara lain penundaan atau penghentian pemberian jaminan sosial atau bantuan sosial; penghentian atau penundaan pemberian layanan administrasi pemerintahan; dan/atau denda.
"Pengenaan sanksi administratif sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dilakukan oleh kementerian, lembaga, pemerintah daerah, atau badan sesuai dengan kewenangannya," tertulis dalam ayat 5.
Pasal 13B menambahkan, orang yang menolak vaksinasi bisa diberikan sanksi sesuai Undang-Undang Penanganan Wabah karena dianggap menghalangi penanggulangan penyebaran COVID-19. Dalam pasal 14 undang-undang tersebut dikatakan, orang yang menghalangi upaya penanggulangan wabah diancam dengan hukuman satu tahun penjara dan denda Rp1 juta.
Ketentuan hukuman itu dikecualikan bagi sasaran penerima vaksin COVID-19 yang tidak memenuhi kriteria penerima sesuai dengan indikasi vaksin yang tersedia.
Kepala Bidang Pengembangan Profesi Perhimpunan Ahli Epidemiolog Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menilai regulasi tersebut merupakan "pendekatan yang benar" mengingat situasi saat ini "dalam kondisi wabah." Kepada reporter Tirto, Senin (15/2/2021), ia mengatakan orang yang menolak vaksin tidak hanya membahayakan diri sendiri, tetapi juga kesehatan masyarakat karena berpotensi menggagalkan terbentuknya kekebalan kelompok (herd immunity).
Dari aspek hukum, pakar hukum tata negara dari Universitas Andalas (Unand) Feri Ansyari menjelaskan bahwa memperoleh layanan kesehatan, salah satunya vaksinasi, adalah hak warga negara yang diatur dalam Pasal 28H ayat (1) UUD 1945. Karena merupakan hak, maka warga berhak memutuskan hendak menggunakannya atau tidak. "Begitu juga soal vaksin. Apakah layanan kesehatan berupa pemberian vaksin itu akan digunakan oleh warga negara atau tidak, itu harus diserahkan kepada warga negara," kata Feri kepada reporter Tirto, Senin.
Namun, Feri mengingatkan, jika berpotensi menyebabkan krisis kesehatan masyarakat, maka negara memiliki hak untuk menerapkan upaya paksa agar hak atas kesehatan orang lain tidak terlanggar.
Masalahnya, upaya paksa itu hanya bisa dilakukan dengan dasar undang-undang. Peraturan presiden (perpres) yang secara hierarki lebih rendah tidak bisa mengatur pemaksaan itu. Karena itu ia menilai perpres itu tidak konstitusional dan isinya tidak memiliki kekuatan.
"Dalam ilmu perundang-undangan harus diperhatikan: pertama, benar jenis peraturan dan badan yang membuatnya juga harus benar; kedua, materi muatannya. Materi muatannya benar sekalipun tapi jenis dan lembaga yang membuatnya salah, ya, pasti materi muatannya salah," kata Feri.
Co-Founder LaporCovid-19 Irma Hidayana menilai pemerintah harus menggunakan pendekatan yang persuasif terhadap penolak vaksin COVID-19 sekaligus mempelajari alasan penolakannya.
Berdasarkan survei yang dilakukan Kementerian Kesehatan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), dan Dana Anak-Anak Perserikatan Bangsa-Bangsa (Unicef) pada November 2020 lalu--sebelum terbitnya izin darurat terhadap vaksin Coronavax dari BPOM-- sebanyak 7,3 persen responden menolak vaksinasi COVID-19. Dari kelompok penolak itu, 30 persen khawatir soal keamanan, 22 persen khawatir soal kemanjuran, 12 persen khawatir efek samping, 8 persen menilai vaksin bertentangan dengan kepercayaannya, lalu 13 persen memang tidak percaya vaksin.
Sementara sebuah studi di Australia mendapati kelompok penolak vaksin memiliki keyakinan kuat tentang kebebasan dan hak-hak individu. Karenanya, pendekatan punitif cenderung berpotensi menjadi bumerang.
Ini juga bukan kali pertama pemerintah menggunakan pendekatan punitif dalam menangani pandemi. Pada Maret 2020, Mabes Polri mengancam mempidanakan orang yang berkerumun di kala pandemi COVID-19. Pasal yang digunakan ialah Pasal 212 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Pasal 214 KUHP, Pasal 216 ayat (1) KUHP, dan Pasal 218 KUHP.
"Ini bentuk arogansi pemerintah yang dibungkus dalam instrumen hukum. Mencerminkan muka pemerintah yang sebenarnya, arogan," kata Irma kepada reporter Tirto, Senin (15/2/2021).
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Rio Apinino