tirto.id - India menghentikan sementara ekspor vaksin dan obat COVID-19 dengan alasan sedang menghadapi lonjakan kasus di dalam negeri. Sejumlah negara termasuk Indonesia tak berdaya hingga mengakibatkan vaksinasi melambat.
Lewat contoh kasus tersebut, epidemiolog Indonesia di Griffith University Australia Dicky Budiman menyimpulkan negara-negara di dunia tak terkecuali Indonesia akan kesulitan menangani pandemi apalagi jika salah menentukan strategi vaksinasi. “Kalau kita salah menempatkan strategi vaksin, maka jadi tersandera, dan merugikan,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Senin (12/4/2020).
Program vaksinasi harus ditempatkan sebagai salah satu, alih-alih satu-satunya strategi untuk keluar dari pandemi, katanya. Strategi yang fundamental, 3T, yakni pemeriksaan (testing), penelusuran kontak erat (tracing), dan tindak lanjut berupa perawatan pada pasien (treatment) tak boleh dikesampingkan.
“Harus itu yang menjadi andalan utama, karena apa pun yang terjadi pada vaksinasi ini ya memang berisiko, karena yang jadinya dasar adalah ketersediaan vaksin yang mana sepenuhnya tidak ada di kita,” ujar Dicky.
Ketika ketersediaan vaksin tidak sesuai dengan yang direncanakan seperti saat ini, maka selama 3T memadai kasus COVID-19 kata Dicky juga akan terkendali.
Di sisi lain, bila ingin lebih leluasa dan tak bergantung dari produsen vaksin, maka penelitian vaksin, obat, dan bahan baku dari dalam negeri harus betul-betul diperkuat, kata Dicky. Dengan catatan, teknologi yang digunakan sudah terbukti seperti dipakai pada obat dan vaksin yang sudah ada.
Vaksinasi Melambat
Pemerintah menyelenggarakan program vaksinasi dengan dua skema, yakni yang mereka selenggarakan sendiri dan dilakukan oleh perusahaan swasta atau disebut skema gotong royong. Vaksinasi yang diselenggarakan pemerintah menggunakan empat merek vaksin, yakni Sinovac, AstraZeneca, Pfizer, dan Novavac.
Salah satu sumber vaksin berasal dari program COVAC yang diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Vaksin yang tersedia bermerek AstraZeneca, asal Inggris tapi diproduksi di India. Vaksin inilah yang diembargo India.
Akibat embargo yang membuat stok tak sesuai harapan, Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan program vaksinasi selama Maret-April 2021 termasuk saat bulan Ramadan jadi tersendat. Hal itu ia ungkapkan saat rapat bersama Komisi IX DPR RI, Kamis (8/4/2021).
Semula direncanakan datang 15 juta dosis vaksin pada Maret dan 15 juta lagi pada April. Namun pada April Indonesia ternyata hanya mendapatkan 9 juta vaksin. Jika rata-rata kapasitas penyuntikan per hari mencapai 500 ribu orang, maka 9 juta dosis akan habis dalam waktu 18-20 hari.
“Itu sebabnya agak kami perlambat laju vaksinasinya,” kata Budi.
Menkes juga menegaskan bahwa stok vaksin di Indonesia masih tidak pasti. “Bagaimana kepastian [ketersediaan vaksin]? saya dengan segala kerendahan hati bilang bahwa kalau bilang pasti [tersedia itu] bohong.”
Ketersediaan vaksin secara global, kata Budi, setiap hari memang bisa berubah. Tak ada yang mengira India melakukan embargo vaksin.
“Ketidakpastiannya tinggi sekali. Saya tidak bisa menjamin bahwa sesuatu yang pasti bisa terjadi,” katanya. “Tapi yang akan kami pastikan, kami kerja keras mencari alternatif strateginya.”
Tak hanya vaksin, dengan alasan alasan yang sama India juga menghentikan ekspor obat antivirus Remdesivir yang selama ini didistribusikan ke berbagai negara termasuk Indonesia.
Berbeda dengan vaksin, pemerintah melalui Juru Bicara Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan penghentian ekspor Remdesivir belum memberikan dampak yang berarti bagi Indonesia. “Stok Remdesivir masih aman,” kata Nadia kepada reporter Tirto melalui pesan singkat, Senin.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino