tirto.id - Rencana Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI merevisi Undang-undang tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) menuai polemik. Semula semua fraksi di DPR sepakat merevisi UU Pemilu sehingga masuk ke dalam Prolegnas Prioritas 2021. Belakangan, rencana ini justru ramai-ramai ditolak sendiri oleh mereka.
Bahkan Partai Nasional Demokrat (Nasdem) yang awalnya paling vokal mendukung revisi UU Pemilu, kini berbalik arah. Ketua Umum Partai Nasdem Surya Paloh mengerahkan fraksinya DPR untuk tidak melanjutkan revisi UU Pemilu dan mendukung pelaksanaan pilkada serentak pada 2024.
Dengan begitu, saat ini hanya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang terang-terangan mendukung rencana revisi dua aturan pemilu, yakni UU Pemilu (Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017) dan UU Pilkada (Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016).
Salah satu aturan yang menjadi sorotan adalah pilkada dan pemilu digelar serentak pada 2024. Pada aturan yang sudah ada, Indonesia akan meniadakan pilkada serentak pada 2022 dan 2023.
Dalam draf rancangan revisi UU Pemilu yang diterima reporter Tirto, regulasi itu rencananya akan menormalisasi jadwal pemilihan kepala daerah untuk tetap digelar pada 2022 dan 2023. Hal ini tercantum dalam pasal 731, khususnya ayat 2 dan 3.
Menyikapi rencana itu, Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) menolak revisi UU Pemilu. Pemerintah berkukuh untuk melaksanakan UU Pemilu dan UU Pilkada yang sudah ada.
Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum Kemendagri Bahtiar mengatakan UU Pemilu belum perlu direvisi lantaran mengatur rangkaian pemilihan umum di Indonesia hingga 2024.
"Mestinya, dilaksanakan dulu, kemudian dievaluasi, baru kemudian direvisi jika diperlukan," kata Bahtiar dalam keterangan tertulis, Jumat (29/1/2021).
Beban Berat Penyelenggara Pemilu
Peneliti kepemiluan dari Konstitusi dan Demokrasi (KoDe) Inisiatif, Ikhsan Maulana menilai pemilu dan pilkada yang digelar serentak pada 2024, bakal menimbulkan sejumlah persolana. Terutama mengenai beban berat penyelenggara pemilihan—KPU, Bawaslu, hingga level Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS).
Kendati 'serentak' yang dimaksud pada 2024 tidaklah benar-benar serentak. Pemilihan presiden dan legislastif akan berlangsung pada April—sebagaimana saat 2019 lalu—, sedangkan pemilihan kepala daerah akan dilaksanakan pada November sesuai UU Pilkada tahun 2016.
Namun, menurut Ikhsan, beban penyelenggara pemilu akan sangat berat lantaran menjalankan enam jenis pemilihan—presiden dan wakil presiden, DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kab/Kota, kepala daerah, dan DPD—dalam satu tahun.
“Akan ada himpitan penyelenggaraan antara pemilu dengan pilkada dan pastinya ini membebankan penyelenggara, apalagi penyelenggara di daerah. Tumpang tindih kewenangan akan semakin terjadi dan bahkan bisa berdampak pada penyelenggaraan pemilu dan pilkada,” kata Ikhsan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (4/1/2021).
Perkara lainnya, menurut Ikhsan, saat pilkada dilaksanakan pada 2024 mendatang, akan banyak jabatan kepala daerah yang diisi oleh pelaksana tugas (Plt) karena masa jabatannya habis di 2022 dan 2023. Setidaknya sekitar 271 jabatan kepala daerah yang akan diisi oleh Plt yang ditunjuk oleh pemerintah.
Dari sisi itu, Ikhsan menilai ada inkonsistensi yang dilakukan oleh pemerintah dan DPR. Ia mengungkit bagaimana pemerintah dan DPR menolak untuk menunda Pilkada 2020 di tengah pandemi, karena alasan banyak jabatan kepala daerah yang akan diisi oleh Plt. Hal tersebut dinilai tidak efektif untuk penganan COVID-19.
“Tetapi untuk 2022 dan 2023, mereka justru mengiyakan akan ada Plt yang cukup banyak di daerah. Khawatirnya program kerja daerah tidak akan bisa berjalan maksimal meskipun Plt memiliki kewenangan dalam penganggaran atau eksekutorial,” kata dia.
Ikhsan juga menyayangkan narasi revisi UU Pemilu hanya terkesan mengenai jadwal pilkada saja, yang mana rentan menjadi isu politis. Padahal, kata dia, banyak isu yang lebih substansial yang mesti dibahas di dalam revisi UU Pemilu untuk keberlangsungan demokrasi.
“Misalnya soal ambang batas parlemen yang perlu diturunkan, ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden yang sangat tinggi, hingga ada beberapa Putusan MK yang harus ditindaklanjuti di dalam revisi UU Pemilu dan belum sama sekali diperhatikan oleh pembentuk UU,” tuturnya.
Siapa yang akan Diuntungkan?
Beberapa nama kepala daerah yang masa jabatannya akan berakhir pada 2022 dan 2023 akan terdampak pelaksanaan pemilu dan pilkada serentak 2024. Sebut saja Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan, Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Timur Khofifah Indar Parawansa, hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Terlebih, nama-nama itu kerap disebut berpeluang untuk menjadi calon presiden pada 2024 mendatang.
Peneliti politik dan kepemiluan dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Aisah Putri Budiarti menyebut Anies yang paling dirugikan apabila ingin maju menjadi calon presiden. Hal tersebut dikarenakan Anies memiliki waktu jeda yang cukup lama untuk ke pemilu berikutnya ketimbang tiga nama lainnya.
Masa jabatan Anies akan berakhir pada 2022, sedangkan yang lainnya pada 2023. Artinya, Anies akan “menganggur” selama dua tahun, sementara yang lain hanya setahun.
“Jeda yang begitu jauh tanpa basis aktivitas politik yang jelas, apalagi Anies tak berpartai, punya risiko besar bagi Anies untuk melekatkan dirinya kepada publik dengan image positif dan untuk mempertahankan posisi kuat dalam dinamika politik nasional,” kata Puput—sapaan akrab Aisah Putri Budiarti—saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (5/2/2021).
Menurut dia, nama-nama lain yang hanya memiliki jeda satu tahun akan lebih diuntungkan jika ingin menjadi calon presiden. Mereka masih punya rekam jejak yang diingat oleh publik karena masa jabatannya berakhir di saat yang dekat dengan dimulainya tahapan Pilpres 2024.
Puput juga menyoroti beberapa pihak yang akan sangat diuntungkan pemilu serentak 2024. Menurut dia, para kepala daerah yang menjabat sejak memenangkan Pilkada 2020 adalah yang paling diuntungkan. Sebab, mereka praktis hanya menjabat dalam waktu singkat: kurang lebih 3,5 tahun.
“Jika kepala daerah tersebut telah optimal membuat pencapaian kerja dan mampu membangun citra publik yang baik. Hal ini bisa jadi modal kuat untuk mencalonkan ulang pada Pilkada dengan level yang sama atau bahkan lebih tinggi,” kata dia.
Apalagi, banyak dari kepala daerah yang menang di Pilkada 2020 adalah aktor-aktor dinasti politik. Mereka adalah anak, menantu, kerabat, hingga istri, dari orang-orang yang sudah memiliki nama atau minimal petahana di masa sebelumnya. Belum lagi banyak anggapan bahwa enggannya pemerintah dan DPR menunda Pilkada 2020 di tengah pandemi karena memang yang ikut berkompetisi adalah keluarga mereka sendiri.
Para aktor dinasti politik ini, menurut Puput, adalah pihak yang paling diuntungkan jika ingin berlaga di pemilu level yang lebih tinggi. “Dalam kondisi calon tidak punya track record dan kapasitas yang jelas pun, tetapi karena latar belakang keluarga dinasti elite, saya rasa bagi kepala daerah berlatar dinasti politik, maka periode 3,5 tahun atau bahkan jika kurang dari itu pun, tetap punya potensi kuat terpilih,” kata dia.
Penulis: Haris Prabowo
Editor: Gilang Ramadhan