Menuju konten utama

Pemilihan Ketua Umum PSSI bagai Membeli Kucing dalam Karung

Jelang pemilihan ketua umum, PSSI membatalkan sejumlah acara yang seharusnya bisa jadi ajang sosialisasi kandidat baru.

Pemilihan Ketua Umum PSSI bagai Membeli Kucing dalam Karung
Suasana Kongres Luar Biasa (KLB) PSSI di Jakarta, Sabtu (27/7/2019). KLB itu membahas amandemen statuta PSSI serta penetapan Komite Pemilihan (KP) dan Komite Banding Pemilihan (KBP). ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay/hp.

tirto.id - Hari ini (31/10/2019) semestinya jadi hari yang penting bagi masyarakat, khususon pencinta sepakbola Indonesia. Sebabnya, seperti yang dikatakan Ketua Komite Pemilihan Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (KP PSSI) Syarif Bastaman, seharusnya hari ini terselenggara debat calon Ketua Umum PSSI yang dilakukan “di hadapan voters dan disaksikan masyarakat lewat stasiun televisi nasional.”

“Debat ini akan sangat penting, karena menjadi sarana pertarungan visi misi antar calon dan bisa digunakan publik untuk menilai kredibilitas masing-masing,” terang Syarif.

Sayangnya, beberapa hari yang lalu, panitia penyelenggara debat, Komite Banding Pemilihan (KBP) PSSI membatalkan agenda tersebut. Anggota KBP, Machfudin Nigara, berdalih pembatalan tersebut didasari munculnya kericuhan akibat protes para calon.

Calon yang dimaksud Machfudin adalah Bernhard Limbong dan La Nyalla Mattalitti. Keduanya menyatakan keberatan atas kongres yang digelar 2 November mendatang karena mereka menganggap itu tidak sesuai dengan arahan FIFA. Bernhard dan Nyalla juga menyebut waktu kongres cacat hukum karena mulanya tak masuk dalam agenda KLB, tapi tiba-tiba dibahas.

Nama terakhir, yang juga Ketua DPD RI, bahkan mengancam tidak akan hadir ke lokasi kongres apabila tak ada perubahan.

“Daripada situasinya seperti itu, mending kami batalkan [debat] saja sekalian,” tutur Machfudin.

Namun pembatalan ini tidak cuma merugikan pihak-pihak yang menentang kongres 2 November. Keputusan ini juga turut disayangkan oleh sebagian besar calon ketua umum lain.

“Sebenarnya justru debat seperti ini yang dibutuhkan kami, tapi enggak tahu kenapa kok malah dibatalkan,” ujar caketum Aven S Hinelo saat ditemui di Aula Wisma Kemenpora, Rabu (30/10/2019).

Sementara caketum lain, Arif Putra Wicaksono, berujar: “pembatalan debat ini adalah sesuatu yang merugikan orang-orang baru seperti saya.”

PSSI Tak Memfasilitasi Sosialisasi ke Voters

Alasan Arif merasa dirugikan wajar belaka. Debat ini seyogyanya jadi kesempatan terakhir CEO Nine Sport tersebut untuk menyosialisasikan rencana program di hadapan voters. Sebagaimana wajah-wajah baru lain, Arif datang dengan sederet program yang belum sempat disosialisasikan.

“Saya datang menawarkan modernisasi. Saya optimistis karena sejauh ini tidak ada calon lain yang programnya mirip [..] Tapi sayang, untuk sosialisasi ke voters memang sulit,” keluhnya.

Sebelumnya PSSI juga membatalkan beberapa agenda penting lain yang seharusnya bisa jadi ajang komunikasi caketum ke voters dengan berbagai alasan. Sebut saja agenda sosialisasi program yang mulanya dicanangkan pada 26 Oktober 2019.

“Sosialisasi enggak jadi, debat enggak jadi, saya enggak tahu maksudnya apa,” keluh caketum lain, Fary Djemi Francis.

Tidak terbukanya PSSI tampak makin berlebihan jika menimbang fakta bahwa mereka sempat berupaya ikut campur membatalkan acara talkshow debat caketum yang diorganisasi Yayasan Vamos Indonesia dan TVRI pada 16 Oktober 2019 lalu.

Federasi mengancam mendiskualifikasi para calon yang menghadiri acara tersebut. Tak cuma itu, Direktur Program dan Berita TVRI, Apni Jaya Putra, bahkan mengaku sempat ditegur dua kali lewat surat resmi PSSI bertanda tangan Sekjen Ratu Tisha Destria.

“Siapa sih Tisha? Kami lembaga negara. Dia datang kami layani. Masak sampai bersurat begini, menegur-negur, seperti zaman Orde Baru saja,” ujar Apni, seperti dilansir Bola.com.

Saat dimintai keterangan mengenai dasar pelarangan tersebut, anggota KP PSSI, Budiman Dalimunthe, berdalih kebijakan itu ditempuh demi “menghormati ketetapan KP.” Acara diskusi yang dihelat pada 2 November, menurut KP, menerabas kebijakan, karena sebelumnya KP sudah menentukan kandidat caketum PSSI cuma boleh berkampanye pada 24-31 Oktober 2019.

“Karena itu para calon mohon tidak tampil di depan publik untuk membicarakan program, visi, misi, atau terkait PSSI sebelum masa kampanye,” kata Budiman.

Masalahnya, pernyataan Budiman tersebut jadi terkesan tebang pilih. Sebab jauh sebelum kampanye pun, ada sejumlah kandidat yang sudah bersafari menyosialisasikan visi dan misi ke voters, tapi tidak pernah dapat teguran. Kandidat tersebut adalah Komjen Pol M Iriawan alias Iwan Bule.

Sejak Juli hingga September 2019, Iwan tercatat pernah berkeliling ke berbagai wilayah. Dia pernah pula melakukan pemaparan visi dan misi dengan mengundang Asprov PSSI dan perwakilan klub dari Jawa Tengah, Jawa Timur, Maluku, Nusa Tenggara, bahkan Papua.

Dan ironisnya, kegiatan-kegiatan ini tak mendapat teguran terbuka dari federasi.

Masa Kampanye Terlalu Singkat

Selain dibatalkannya beragam acara kampanye dan sosialisasi resmi PSSI, para kandidat juga mengaku dirugikan karena KP dan KBP menetapkan masa kampanye begitu singkat. Menurut caketum Vijaya Fitriyasa, keputusan ini cuma “menguntungkan calon-calon yang sudah punya jaringan di antara voters.”

Secara hitung-hitungan, federasi hanya membolehkan kandidat yang sudah lolos verifikasi dan banding untuk berkampanye pada rentang 26-31 Oktober 2019, alias cuma lima hari. 1 November 2019 ditetapkan sebagai masa tenang, sementara sehari berikutnya kongres sudah dihelat.

“Kalau mau jujur-jujuran, memang sulit. Saya ini pendatang baru di PSSI. Saya maju kali ini saja, nanti kalau enggak terpilijh ya sudah, enggak lagi. Capek,” tutur caketum lain, Sarman El Hakim.

Hal serupa juga diutarakan Aven S Hinelo. Atas karut marut pembatalan berbagai acara dan singkatnya masa kampanye ini, dia lantas mengibaratkan: “kongres PSSI ini rasanya seperti beli kucing dalam karung.”

Baca juga artikel terkait KONGRES PSSI atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Rio Apinino