tirto.id - Polisi menangkap seorang guru berinisial JM (52) dari pondok pesantren Sabilurrosyad, Kecamatan Padarincang, Kabupaten Serang, Banten. Satreskrim Polres Serang Kota menduga lelaki itu pelaku pencabulan.
Korbannya diduga beberapa santriwati pondok. Salah satunya berinisial Y (14). Ia dan keluarganya melaporkan perbuatan JM ke polisi.
"Untuk kepentingan penyidikan, tersangka (JM) berikut barang bukti satu unit mobil merek Toyota Avanza warna silver, nopol A-1096-CW, ditangkap Satreskrim Polres Serang Kota," ujar Kasat Reskrim Polresta Serang AKP Indra Feradinata, dalam keterangan tertulis, Rabu (29/7/2020).
Kini JM telah ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan keterangan saksi dan bukti permulaan yang cukup. JM dijerat Pasal 81 ayat (1) dan (2) juncto Pasal 82 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Penangkapan terjadi usai warga berbondong-bodong mendatangi pondok guna mencari JM, Rabu (29/7/2020). Dua hari sebelumnya, mereka juga mendatangi kantor polisi agar JM ditangkap, tapi belum digubris meski laporan sudah sebulan masuk.
Di samping tersangka, penanganan terhadap korban juga harus dilakukan serius. Psikolog klinis anak dari Yayasan Pulih Gisella Tani Pratiwi mengingatkan dampak terhadap korban pelecehan sangat beragam, dari mulai aspek pola pikir, sosio-emosional, dan kondisi biologis.
"Dampak jangka pendek bisa langsung tampak, tapi ada dampak yang jangka panjang. Jika tidak diproses dengan tepat maka bisa mengakibatkan banyak dampak traumatik dan gangguan psikologis lain," kaa Gisella kepada reporter Tirto, Rabu (29/7/2020). Pendampingan juga perlu diberikan kepada orang tua korban, serta orang-orang terkait di lingkungan pondok.
Upaya awal yang bisa dilakukan adalah membantu anak berada dalam situasi yang aman. Rasa aman ini dapat diperoleh dari orang tua atau pengasuh atau yang dipercaya korban. Upaya selanjutnya disesuaikan dengan kondisi korban.
Cegah Berulang
Faktanya kasus pelecehan di pondok pesantren bukan kali ini saja terjadi. Hal serupa pernah terjadi di sebuah pesantren di Jombang. Berdasarkan Catatan Kekerasan terhadap Perempuan Tahun 2019, di ranah komunitas, Komnas Perempuan menyebut ada 176 guru dan 26 guru mengaji merupakan pelaku kekerasan (hal. 18).
Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati mengatakan kasus ini jelas patut dikutuk karena terjadi di lembaga pendidikan keagamaan, yang semestinya paling depan mengimplementasikan nilai-nilai agama.
Meski ada akreditasi, lembaga pendidikan keagamaan kerap tidak memiliki skema anti kekerasan seksual maupun mekanisme pengaduan korban. Protokol-protokol perlindungan dan pengaduan yang konkret dapat menekan perkara sejenis. Ini semakin penting karena biasanya pelaku memanfaatkan relasi kuasa.
"Anak-anak ini tidak berkuasa secara mental, [mereka] di bawah kuasa," katanya kepada reporter Tirto.
Selain itu, kasus ini juga "menunjukkan negara gagal melindungi perempuan tidak terkena kekerasan seksual. Gagal bisa bermacam-macam, bisa di institusi pendidikan, sistem di Kementerian Pendidikan, dan Kementerian Agama."
Asfinawati menegaskan kasus ini semakin membuktikan pentingnya pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (PKS)--peraturan yang sudah didesak disahkan sejak bertahun-tahun yang lalu tapi dikeluarkan dari Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2020 oleh DPR.
Semua ini, katanya menegaskan, perlu dilakukan agar hal serupa tak terulang.
Sementara anggota Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Ai Maryati Solihah meminta kepolisian menggunakan pendekatan perlindungan korban yang sesuai standar operasional prosedur. Mereka juga harus mencari tahu apakah ada orang lain yang membantu aksi pelaku. Jika terbukti, orang tersebut dapat dihukum pula, katanya kepada reporter Tirto.
KPAI sendiri berjanji "proaktif" mengusut kasus-kasus seperti ini "meskipun laporan belum masuk."
"Kami juga memastikan anak terjangkau dan mendapatkan layanan pemulihan," katanya, lalu menegaskan dalam kasus seperti ini jika tidak ditangani dengan baik korban akan trauma. Misalnya, ketakutan setiap kali melihat orang bersarung.
"Di luar itu semua," ia berharap, "seluruh lembaga keagamaan memiliki perspektif, berkontribusi dan memberikan ruang lingkup pembelajaran dan aktivitas sosial-budaya yang ramah anak."
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino