tirto.id - Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman mengatakan Indonesia perlu membenahi industri pengolahan untuk menahan laju impor.
Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Alam dan Jasa Kemenko Kemaritiman Agung Kuswandono menjelaskan, fenomena itu memang menjadi perhatian.
Sebabnya, ia mendapati selama ini para pemangku kepentingan cenderung lebih senang melakukan impor. Selain karena mendapat bea masuk (fee), ia menduga adanya kebiasaan untuk tak mau mencoba bergerak ke arah industri pengolahan juga turut menyumbang masalah.
“Kadang-kadang kita lebih senang impor karena dapet fee. Kita enggak mau capek-capek pengolahan agar dapat nilai tambah,” ucap Agung dalam diskusi bertajuk “Efisiensi Energi Melalui Pemanfaatan Sumber Daya Energi Baru dan Terbarukan” di Kemenko Kemaritiman, Jakarta, Selasa (28/5/2019).
Dalam sambutannya Agung mengatakan, saat ini gelagat itu terlihat jelas dari lamanya ketergantungan Indonesia pada impor bahan bakar minyak (BBM). Padahal, katanya, selain memiliki cadangan minyak yang masih dapat dikembangkan, Indonesia juga memiliki produksi kelapa sawit yang melimpah.
Menurutnya, bila hal itu dapat dimanfaatkan, Indonesia sudah lama dapat menekan impor minyak dan menghemat anggaran. Tepatnya sekitar 25,2 juta dolar AS per hari bila Indonesia mampu mengganti impor 360 ribu barel minyak per hari dengan bahan bakar alternatif.
“Kalau kelapa sawit kita bisa dimanfaatkan untuk biofuel bisa ganti bahan bakar berapa banyak devisa yang bisa kita simpan untuk pembangunan,” ucap Agung.
Di samping itu, ia juga menilai Indonesia dapat mengurangi impor minyak bumi untuk keperluan aspal yang berbasis minyak. Pasalnya, kata Agung, Indonesia memiliki hampir 670 juta ton cadangan aspal buton yang dapat digunakan untuk membangun infrastruktur jalan.
Pemanfaatan aspal buton ini, katanya, seharusnya dapat menghemat hingga 500 juta dolar AS bila mampu menggantikan keseluruhan penggunaan aspal minyak yang selama ini masih diimpor Indonesia.
“Kita punya cadangan aspal 670 juta ton cadangan aspal buton. Kalau digunakan itu kita masih berlebih, tapi kok kita masih harus impor pakai APBN,” tukas Agung.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Dewi Adhitya S. Koesno