tirto.id - Staf Khusus Menko Maritim, Atmadji Sumarkidjo mengatakan pemerintah berencana memodernisasi alat pendeteksi bencana di darat dan laut serta cuaca buruk. Menurut dia, anggaran yang akan disiapkan mencapai Rp7 triliun.
"Nanti kami akan ada pembaruan alat mitigasi bencana. Jadi bisa mendeteksi tidak hanya bencana di darat dan laut, tapi termasuk perubahan cuaca, kan ancaman bisa datang dari cuaca buruk juga," kata Atmadji di Kantor Kemenko Kemaritiman, Jakarta pada Rabu (20/2/2019).
Namun, menurut dia, realisasi pembelian alat deteksi bencana dan cuaca buruk itu belum bisa teralisasi pada tahun ini karena keterbatasan anggaran APBN 2019. Menurut dia, pengadaan baru bisa dilakukan mulai tahun depan.
"[Anggarannya] Rp7 Triliun. Itu kan mahal sekali. Jadi harus mengajukan ke APBN," ucap Atmadji.
Dana itu, kata Atmadji, akan diajukan melalui penganggaran untuk Badan Metereologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) dan juga lembaga lain, seperti Airnav.
Atmadji menambahkan penganggaran untuk pembelian alat pendeteksi bencana itu masih perlu dibahas lagi. Detail dan spesifikasi alat deteksi bencana itu belum ditentukan. "Belum ada detailnya,” ujar dia.
Indonesia memang sedang mengalami “krisis” alat deteksi bencana. Sebagai contoh, Juru Bicara BNPB Sutopo Purwo Nugroho pernah menyatakan Indonesia tidak lagi memiliki buoy sejak 2012. Buoy ialah sensor untuk mendeteksi tingkat ketinggian muka air dan memberikan peringatan dini tsunami. Semula Indonesia memiliki 21 buoy, 10 unit diberikan pemerintah Jerman dan 3 lainnya dari Amerika Serikat.
Anggota Komisi V DPR, Bambang Haryo Soekartono juga pernah mengatakan jumlah alat pengukur guncangan (seismik) di Indonesia sangat minim dibandingkan negara lain, seperti Jepang. Dengan luas wilayah 377 ribu meter persegi, Jepang memiliki 622 unit pengukur seismik. Indonesia, dengan luas 5 juta meter persegi, hanya memiliki 175 peralatan serupa.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Addi M Idhom