tirto.id - Pernyataan Joko Widodo (Jokowi) yang kerap diulang saban bencana datang adalah perbanyak alat deteksi. Hal ini ia katakan saat Pandeglang, Serang, dan Lampung dihantam tsunami, juga Palu beberapa bulan yang lalu.
"Ke depan saya sudah perintahkan BMKG [Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika] untuk membeli alat deteksi, early warning system yang bisa memberikan peringatan secara dini ke masyarakat," kata Jokowi.
Persoalannya, menambah alat deteksi butuh uang yang tak sedikit, dan anggaran untuk itu justru dipotong. Rapat pembahasan rancangan APBN 2019 di DPR pada 26 Oktober lalu memutuskan anggaran untuk BMKG–dan Badan SAR Nasional–'disunat'.
BMKG mengusulkan anggaran sekitar Rp2,9 triliun. Namun, dalam Raker, Komisi V hanya menyetujui anggaran dengan total Rp1.754.228.195.000. Sementara alokasi dana untuk Basarnas dalam RAPBN 2019 hanya disetujui Rp1.986.896.526.000.
Kepala Pusat Data, Informasi, dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho pernah menyinggung pemotongan anggaran dalam kaitannya dengan antisipasi bencana. Indonesia, kata Sutopo, tidak lagi memiliki buoy sejak 2012. Buoy adalah sensor untuk mendeteksi tingkat ketinggian muka air dan memberikan peringatan dini tsunami.
Indonesia tadinya punya 21 buoy. Sebanyak 10 unit diberikan pemerintah Jerman. Tiga lainnya didapat dari Amerika Serikat.
"Ini berpengaruh terhadap upaya navigasi kepada masyarakat, bagaimana kita bersosialisasi dan melakukan pengurangan risiko bencana. Memasang peringatan dini jadi terbatas karena anggarannya yang memang terus berkurang," jelas Sutopo.
Dan itulah yang terjadi di ujung barat Pulau Jawa pada Sabtu (22/12/2018) lalu.
"Tidak adanya peralatan sistem peringatan dini menyebabkan potensi tsunami tidak terdeteksi sebelumnya. Tidak terpantau tanda-tanda akan datangnya tsunami sehingga masyarakat tidak memiliki waktu evakuasi," kata Sutopo.
Kurangnya anggaran juga tak hanya bikin buoy sulit diperbaiki, tapi juga pendeteksi lain. Misalnya, alat pengukur guncangan (seismik). Anggota Komisi V DPR RI, Bambang Haryo Soekartono, mengatakan jumlah alat ini sangat minim, apalagi jika dibanding negara lain yang juga rawan bencana seperti Jepang.
Di Jepang, dengan luas 377 ribu meter persegi, mereka memiliki 622 unit peralatan seismik. Sedangkan Indonesia, dengan luas 5 juta meter persegi, hanya memiliki 175 peralatan serupa.
"Negara kita lebih luas, jadi membutuhkan peralatan yang cukup [banyak] dan memiliki kualitas yang bagus juga. Paling enggak kita memiliki jumlah peralatan yang sama seperti Jepang," kata Bambang yang juga merupakan politisi Partai Gerindra seperti dikutip dari siaran langsung Kompas TV, Selasa (25/12/2018) kemarin.
Butuh Anggaran Lebih
Deputi Teknologi Pengembangan Sumberdaya Alam Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) Hammam Riza menyampaikan bahwa instansinya memiliki seperangkat alat pendeteksi tsunami bawah laut yang dapat melengkapi buoy. Alat pendeteksi tsunami ini dikenal sebagai Cable Based Tsunameter (CBT).
Alat tersebut merupakan kabel bawah laut yang dilengkapi sensor untuk mengukur perubahan tekanan dalam laut yang ekstrem. Perubahan tekanan laut ini mengindikasikan tsunami.
Sensor akan mengirimkan data melalui satelit kepada pusat penerima data. Data ini dapat digunakan beberapa instansi seperti BMKG dan BNPB untuk memberi peringatan tsunami kepada masyarakat.
Menurut Hammam, sistem CBT dapat diterapkan secara nasional, seiring adanya program sistem komunikasi kabel laut broadband network Palapa Ring yang dilakukan Kementerian Kominfo. Namun, kata dia, CBT tidak murah dan bakal menghabiskan biaya yang lebih mahal dari buoy.
"Jika dibandingkan dari biaya, pembuatan buoy bisa menghabiskan miliaran, CBT mencapai triliunan. Dari aspek perawatannya, CBT lebih murah, buoy akan lebih mahal. Dari waktu pembangunan, buoy lebih cepat, bisa hitungan bulan, CBT akan lebih lama bisa tahunan. Ini hitung-hitungan kalau buat baru," tuturnya.
Karena sulit mengeluarkan dana lebih, Ketua Ahli Tsunami Indonesia Gegar Prasetya mengatakan kalau pada dasarnya pemerintah dan legislatif memang tak pernah benar-benar serius menyiapkan mitigasi bencana.
"Pemerintahnya tidak serius menangani [tsunami] dan tidak menempatkan orang yang tepat di bidangnya," ujar Gegar kepada reporter Tirto, Selasa (25/12/2018).
Penulis: Hendra Friana
Editor: Rio Apinino