Menuju konten utama

Pembuktian Dani Alves sebagai Full-Back Kanan Terbaik di Dunia

Meski sudah berusia 36 tahun,  Daniel Alves tetap tampil garang. Dia sukses membawa Brasil mengalahkan Argentina 2-0.

Pembuktian Dani Alves sebagai Full-Back Kanan Terbaik di Dunia
Kapten tim Brazil Daniel Alves. Antaranews/Oglobo

tirto.id - Anggur tua bagus untuk diminum, kayu tua bagus untuk dibakar, dan full-back kanan tua terbaik di dunia seperti Daniel Alves tahu betul bagaimana caranya menunjukkan kehebatannya.

Pada menit ke-19 pertandingan semifinal Copa Amerika 2019 antara Brasil melawan Argentina, Rabu (3/7/19), Dani Alves melakukan tiga hal ajaib hanya dalam hitungan detik. Yang pertama ia membuat Marcos Acuña melompat seperti orang bodoh, lalu bikin Leandro Paredes menekel angin, dan terakhir melakukan no-look pass ke arah Roberto Firmino.

Kombinasi pergerakan Alves di sisi kiri pertahanan Argentina itu maut betul, sehingga kita tak bosan meski menontonnya berulang-ulang. Pergerakan itu juga merefleksikan perpaduan antara skill, rasa percaya diri yang tinggi, serta mental juara yang seakan tak pernah punah.

Selain itu, dampaknya juga akurat: umpan Alves ke arah Firmino itu lantas diakhiri sebuah sotenkan Gabriel Jesus yang membuat Brasil unggul 1-0.

Alves akhirnya dinobatkan sebagai man of the match setelah Brasil menutup pertandingan tersebut dengan skor 2-0. Dan Lionel Messi kembali gagal mempersembahkan sesuatu untuk Argentina.

Kehebatan Alves tidak hanya sampai di situ.

Statistik lantas mengungkap: Alves tak pernah kalah dalam duel udara, dua kali melakukan sapuan, lima kali melewati pemain lawan, tiga kali melakukan tekel sukses, sebelas kali menyelamatkan bola, sekali melakukan intersep, dan ia masih bisa bermain segarang itu meskipun sudah berusia 36 tahun.

Yang menjadi pertanyaan: bagaimana bisa dia melakukannya?

Bagus Bertahan & Menyerang

Daniel Alves mulai bermain di Eropa pada 2002 lalu, saat baru berusia 18 tahun. Saat itu ia bergabung bersama Sevilla, yang masih berstatus klub semenjana di La Liga. Pada masa awal bergabung, Alves ternyata sempat menemui kendala. Selain jarang bermain, ia juga dilarang ikut maju saat tim tampil menyerang.

“Aku bermain dalam beberapa pertandingan, menendang bola ke sana-sini, dan selalu memperhatikan garis tengah lapangan. Aku seperti seorang anjing yang takut menyeberang pagar di halaman rumah,” kata Alves.

Namun, setelah mendapatkan menit bermain lebih banyak, Alves akhirnya nekat bermain dengan caranya sendiri. Saat Sevilla menyerang, ia ikut maju ke depan. Hebatnya, Sevilla ternyata terus menang, menang, dan memang.

Joaquin Caparros, pelatih Sevilla, pun memutuskan untuk mengubah pendekatannya: Alves beralih peran menjadi salah satu senjata dari setiap bangunan serangan yang dilakukan Sevilla.

Dari sana Alves mampu memberikan dampak yang signifikan. Selain menjadi pemain andalan, kemampuannya dalam menyerang juga mampu menghasilkan 5 piala untuk Sevilla--dua di antaranya adalah dua gelar Piala UEFA yang diraih dalam dua musim berturut-turut (2005-2006 dan 2006-2007).

Setelah itu, dengan cara yang sama, Alves juga panen piala saat bermain untuk Barcelona, Juventus, hingga Paris Saint-Germain.

Menurut Michale Cox, salah satu kunci sukses Alves dalam menyerang adalah gaya menyerangnya yang berbeda dengan dengan full-back asal Brasil kebanyakan. Jika full-back asal Brasil kebanyakan, misalnya Cafu dan Roberto Carlos, terbiasa melakukan serangan dengan membawa bola dari lini belakang, Alves lebih banyak mengandalkan kecepatannya.

Alves memang mempunyai kecepatan yang--meski sprint terlambat--bisa membuatnya menerima umpan terobosan dengan baik.

Masih menurut Cox, pendekatan Alves tersebut bisa memberikan banyak keuntungan. Pertama, rekan-rekannya bisa mengirimkan umpan terobosan ke samping yang tidak memungkinkan untuk dijangkau oleh kiper lawan. Kedua, Alves berpeluang besar sedang berada dalam kecepatan penuh saat bola berada di kakinya. Ketiga, Alves dapat melihat si pengoper bola terlebih dulu sehingga ia tak perlu menoleh ke belakang atau memperlambat kecepatannya untuk menerima bola.

Dan keempat, karena muncul dari belakang, para pemain bertahan lawan akan kesulitan mengantisipasi pergerakan Alves.

Yang menarik, setelah pindah ke Barcelona, meski kemampuan dalam menyerang tersebut mampu membuat tim meraih segalanya, Alves ternyata tak luput dari kritik: apakah dia tidak bisa bertahan?

Dalam wawancara dengan Sid Lowe di Guardian pada 2016 lalu, Alves tak menggubris kritik tersebut. Ia menyebut tujuan pertandingan adalah untuk meraih kemenangan, bahwa “pemenangnya bukanlah tim yang mampu bertahan secara luar biasa. Jika Anda bertahan dengan ciamik tapi tak mampu mencetak angka, itu tak berguna.”

Namun pada kenyataannya, Alves sebenarnya juga mempunyai kemampuan bertahan yang luar biasa. Saat di Barcelona pada musim 2010-2011, misalnya, menurut hitung-hitungan Whoscored, Alves rata-rata melakukan tiga kali tekel dan 2,1 intersep di dalam setiap pertandingan.

Itu artinya, selain berperan besar dalam counter-pressing yang diterapkan Barcelona, Alves juga mampu membaca serangan dengan baik.

Michael Cox kembali mendapat temuan menarik. Seperti saat menyerang, kecepatan ternyata juga jadi kunci Alves dalam bertahan. Karenanya, saat ia bisa seenak jidat maju ke depan, kecepatan yang ia miliki bisa tetap membuatnya berada di posisi dan waktu yang tepat saat tim dalam fase bertahan.

Dan, tanpa stamina yang ia latih sejak dini, Alves barangkali tak akan mampu terus-terusan melakukan sprint yang menjadi faktor fundamental dari setiap kelebihannya itu.

Stamina Bagai Kuda

Saat masih berusia 10 tahun, Alves biasa bangun pada pukul lima pagi. Ia lalu pergi ke ladang, membantu ayah, dan akan membuat perhitungan dengan saudaranya.

Di ladang, ayah Alves berperan sebagai wasit: siapa yang bekerja paling keras dalam membantunya membasmi hama, ia diperbolehkan pergi ke sekolah menaiki sepeda satu-satunya yang dimiliki oleh keluarga.

Alves tentu sering menang, tapi bukan berarti ia tak pernah kalah. Saat menang, ia bisa berlagak layaknya laki-laki dewasa, membuat para gadis bergantian membonceng di sepedanya hingga sampai sekolah. Saat kalah, ia ternyata juga memiliki keuntungan yang kelak membuatnya tampak memiliki paru-paru ganda.

“Aku harus berjalan sejauh 19,3 kilometer dari rumah ke sekolah. Perjalanan pulang dari sekolah sangat mengerikan, karena pertandingan sepakbola di sekitar tempat tinggalku akan tetap dimulai meski aku belum pulang. Maka aku harus berlari sejauh 19,3 kilometer untuk kemudian kembali berlari di atas lapangan,” kenang Alves, dalam tulisannya yang berjudul Secret yang tayang di The Player Tribune.

Kini, kebiasaannya itu ternyata sudah mampu menghasilkan 40 piala. Meski sudah berusia 36 tahun, tidak menutup kemungkinan bahwa Alves akan meraih piala nomor 41 saat gelaran Copa Amerika ditutup pada 7 Juli 2019 nanti.

Baca juga artikel terkait COPA AMERICA 2019 atau tulisan lainnya dari Renalto Setiawan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Renalto Setiawan
Editor: Rio Apinino