Menuju konten utama

Buruknya Penampilan Timnas Argentina Bukan Salah Lionel Messi

Timnas Argentina belum meraih satu pun kemenangan di dua laga awal Copa America. Namun, tak seharusnya Lionel Messi dijadikan kambing hitam.

Buruknya Penampilan Timnas Argentina Bukan Salah Lionel Messi
Reaksi Lionel Messi dari Argentina selama pertandingan sepak bola Copa America Group B di Arena Fonte Nova di Salvador, Brasil, Sabtu, 15 Juni 2019. Natacha Pisarenko / AP

tirto.id - Timnas Argentina memulai perjalanan mereka di Copa America 2019 dengan tidak begitu menggembirakan. Usai dipecundangi Kolombia dua gol tanpa balas, Tim Tango tertahan 1-1 oleh Timnas Paraguay, Kamis (20/6/2019).

Torehan satu poin di dua laga awal tersebut merupakan yang terburuk dalam sejarah partisipasi Argentina di Copa America sejak 1979.

Tak cukup di situ, nasib Argentina juga sedang di ujung tanduk. Satu-satunya kans mereka melaju ke perempat final adalah dengan menundukkan Qatar pada laga pamungkas Senin (24/6/2019) pagi mendatang. Itu pun sifatnya belum mutlak. Andai pada saat bersamaan Paraguay mengalahkan Kolombia, bukan tidak mungkin skuat asuhan Lionel Scaloni harus mempertaruhkan nasib di perebutan peringkat tiga terbaik.

"Akan jadi hal yang gila jika kami tidak lolos, padahal ada kesempatan tiga tim dari grup yang sama bisa ke perempat final," kata kapten tim, Lionel Messi.

Di tengah kemurungan itu, Messi sendiri justru jadi sorotan. Menyandang status peraih lima gelar Ballon d'Or, oleh beberapa pihak reputasinya dipertanyakan. Bukan sekadar karena kekalahan timnya, namun juga diakibatkan statistik penampilannya di atas lapangan.

Saat melawan Paraguay, Kamis (20/6/2019) misal, meski mencetak satu gol penalti penyelamat, hitung-hitungan Whoscored tak menempatkan Messi di posisi yang begitu istimewa.

Akurasi umpan Messi cuma menyentuh 66 persen. Penggawa Barcelona itu juga tercatat lima kali kehilangan penguasaan bola dari kakinya. Satu-satunya aspek yang dapat ditonjolkan Messi adalah upaya dribelnya yang menyentuh angka sembilan (terbanyak), meski cuma tujuh yang sukses.

Bandingkan, misal, dengan perjumpaan terakhir Messi dengan Paraguay di ajang Copa America, tepatnya pada semifinal empat tahun lalu. Saat itu Messi mengantarkan Argentina menang 6-1 sekaligus terlibat dalam proses build-up keenam gol timnya.

"Setiap sentuhan pertamanya terlihat sempurna, tanpa cela," begitu komentar jurnalis The Guardian, Tim Hill yang menyaksikan langsung laga tersebut.

Evolusi Messi Bukan Sebuah Kesalahan

Sebagai catatan, perubahan penampilan Messi di atas lapangan sebenarnya bukan cuma terjadi di Argentina. Di klub tempat Messi menghabiskan karier sepakbolanya, FC Barcelona, hal tidak beda jauh sedang terjadi.

Menurut hitung-hitungan Bleacher Report,bersama Barcelona musim ini Messi rata-rata cuma menorehkan 0,5 tekel sukses serta 0,2 intersep per pertandingan. Artinya, per laga, secara rata-rata Messi cuma 0,7 kali merebut bola dari lawan.

Angka tersebut sangat jauh di bawah rata-rata torehan Messi sewaktu berada di usia lebih muda, misal pada 2009/2010. Saat itu, Messi rata-rata menorehkan 0,9 tekel sukses serta 1,2 intersep per pertandingan. Artinya, rata-rata 2,1 kali dia berhasil mengambil alih bola dari lawan.

Kendati demikian, menurut pengamat sepakbola Inggris, Jonathan Wilson, fenomena tersebut bukan sebuah anomali atau pertanda buruk. Justru, menurut dia, perubahan Messi adalah hal alami yang dilakukan pesepakbola untuk bertahan di level terbaiknya. Bahkan seorang Cristiano Ronaldo pun melakukannya.

"Dia telah mengikuti jalan yang diambil Cristiano Ronaldo untuk melakukan sesuatu dengan lebih sedikit dan lebih sedikit dibanding sepuluh tahun lalu," ungkap penulis buku Angle With Dirty Faces: The Footballing History of Argentina tersebut.

Ronaldo memang lebih dulu mengambil jalan yang sedang ditempuh Messi. Terlihat dari begitu kontrasnya jumlah peluang yang diciptakan untuk rekannya.

Pada musim perdana di Real Madrid, menurut hitung-hitungan SkySports pemain asal Portugal itu mencatatkan 75 peluang untuk rekan setimnya. Di musim terakhir saat memperkuat Real Madrid, menurut data yang sama, Ronaldo cuma melakukannya 38 kali.

Sebaliknya, dalam hal jumlah tendangan ke gawang, angka Ronaldo terus meningkat. Bersama Juventus musim lalu, dia bahkan mendulang 7,1 tembakan per pertandingan, alias terbanyak di Liga Italia.

Atribut yang berubah dalam diri Ronaldo dan Messi memang relatif berbeda. Ronaldo menjelma dari 'pemain pembangun serangan' menjadi 'penuntas serangan'. Sementara Messi berevolusi dari 'pemain yang gemar mengincar bola' menjadi 'pemain yang lebih condong memanfaatkan bola dari rekan setimnya'.

Kendati demikian, menurut Wilson, dua perubahan ini memuat satu kesamaan, yakni sama-sama menurunkan kontribusi Messi maupun Ronaldo untuk membantu tugas tim saat bertahan.

Di Juventus, Real Madrid, maupun Barcelona perubahan keduanya barangkali tak terasa. Namun, di level internasional, timnas yang diperkuat Ronaldo, Portugal terlihat lebih bisa mengatasi masalah tersebut ketimbang Argentina.

Tidak seperti Argentina, Portugal cenderung belajar untuk bertahan dari gempuran lawan-lawannya tanpa bergantung pada Ronaldo. Final Piala Eropa 2016 melawan Perancis lalu adalah laga yang membuktikan betapa Seleccao Das Quinas berjuang mati-matian tak membebankan segalanya pada si pemakai nomor tujuh.

Di sisi lain, Argentina belum terlihat menyikapi masalahnya dengan tepat. Bahkan di Copa America kali ini, komposisi pemain bertahan mereka tak menunjukkan tanda-tanda perbaikan ketimbang edisi sebelumnya.

Secara taktik, Argentina juga urung tampil semenjanjikan Portugal. Saat melawan Kolombia di pertandingan pembuka Copa America 2019 misal, keputusan Lionel Scaloni untuk membentuk blok pertahanan, alih-alih mempressing lawan (ketika kehilangan bola) jadi malapetaka. Jarak blok pertahanan Argentina yang kerap terlalu jauh dengan Messi maupun Aguero bikin Tim Tango kesulitan melancarkan serangan balik. Alhasil, kekalahan 2-0 bukanlah sesuatu yang mengejutkan.

Racun dari Federasi Sepakbola Argentina

Setali tiga uang dengan Wilson, legenda hidup sepakbola Argentina, Diego Maradona menilai penurunan performa Argentina bukan salah Messi. Maradona bahkan sudah menegaskan itu jauh-jauh hari sebelum Copa America 2019 dimulai.

"Messi seharusnya mengabaikan segala kritik. Ini [penurunan kualitas Argentina] bukan kesalahannya. Dia hanya berada di tim yang buruk, tak terorganisasi. Tim yang sedang berusaha bergantung dengan dirinya," tuturnya Maret lalu, saat Argentina kalah memalukan 3-1 dari Venezuela.

Maradona memang tak menutupi kekecewaannya terhadap performa tim, termasuk kepada pelatih Lionel Scaloni. Namun, menurutnya pihak yang lebih pantas disalahkan atas kegagalan timnas adalah Federasi Sepakbola Argentina (AFA), yang belakangan tak becus memilih pelatih.

"Orang tak kompeten yang memimpin AFA itu berharap kita menang? Saya pikir itu lelucon," ujar Maradona.

"Saya ikut menyesal karena yang menanggung beban terbesar justru pemain. Seharusnya kemajuan dimulai dari pemimpin yang melakukan hal dengan tepat," imbuhnya.

Tak cuma oleh Maradona, protes terhadap AFA memang kerap disuarakan publik Argentina. Semua bermula dari krisis keuangan akibat korupsi yang dilakukan mantan presiden AFA, Julio Grodona. Grodona adalah diktator kelas berat. Dia memimpin AFA sejak 1979 sampai meninggal pada 2014, namun mewariskan defisit keuangan yang bikin stabilitas AFA terguncang.

Luis Segura, mantan presiden AFA yang muncul sebagai penggantinya pun tak membawa dampak berarti. Bahkan, pada 2016 dia justru terlibat dalam skandal korupsi hak siar televisi. Kejadian itu bikin krisis di AFA semakin terasa. Timnas Argentina bahkan sempat hampir membatalkan partisipasinya pada Olimpiade Brasil.

Di tahun yang sama, Gerardo Martino yang menjadi pelatih Tim Tango mengundurkan diri bersama seluruh stafnya karena merasa tak sanggup mengangkat prestasi timnas di tengah krisis yang ada.

"Saya tak sanggup melanjutkan pekerjaan ini. Saya rasa yang terbaik, untuk saya dan seluruh orang Argentina, adalah saya mundur," ucap Martino saat itu.

Rezim Claudio Tapia, presiden baru AFA yang naik per 2017 juga tak menghadirkan perubahan berarti. Krisis tak terhindarkan. Di bawah rezim Tapia, AFA selalu mengutamakan pelatih dengan gaji termurah untuk menangani timnas.

Dampak dari kebijakan tersebut langsung terlihat. Pada Piala Dunia 2018, pelatih terpilih Jorge Sampaoli gagal mengantarkan Tim Tango ke pencapaian menjanjikan. Kendati punya kesempatan membawa skuat bertabur bintang, Sampaoli gagal bersaing dengan pelatih-pelatih mumpuni lain di Piala Dunia. Argentina tersingkir di 16 besar, padahal dalam edisi sebelumnya mereka sukses menembus final.

Lionel Scaloni yang lagi-lagi dipilih karena bayarannya rendah juga belum terbukti bisa jadi opsi bagus. Wajar saja, portofolio melatih Scaloni relatif minim. Dia bahkan baru gantung sepatu dari karier sebagai pemain pada 2015. Setelahnya, pengalaman manajerial Scaloni hanya diisi dengan melatih Argentina U-20 dan jadi asisten Sampaoli. Maka, andai Argentina tersingkir dari Copa America tahun ini, adalah hal wajar apabila nasibnya bakal sama tragisnya dengan Sampaoli.

Menurut Jonathan Wilson, fakta bahwa AFA gagal menjamin Timnas Argentina mendapat pelatih terbaik adalah sebuah ironi. Sebab Argentina sesungguhnya punya stok juru taktik mumpuni macam Mauricio Pochettino (Tottenham) hingga Diego Simeone (Atletico Madrid).

"Argentina menghasilkan banyak pelatih hebat, tapi tidak ada satupun dipakai untuk melatih timnas mereka yang tampil mengenaskan saat berhadapan dengan tim sekelas Paraguay," ungkapnya.

Baca juga artikel terkait COPA AMERICA 2019 atau tulisan lainnya dari Herdanang Ahmad Fauzan

tirto.id - Olahraga
Penulis: Herdanang Ahmad Fauzan
Editor: Abdul Aziz