tirto.id - “Wajar aja kalau kena 0,5 persen dari omset bisa jadi pengguna e-commerce berkurang.”
Kalimat itu spontan dilontarkan oleh Ahmad Syifa Rifai, 29 tahun, seorang pengguna layanan Tokopedia, Bukalapak, dan Shopee kepada Tirto ketika ia mendengar kabar mengenai penerapan pajak bagi pedagang di e-commerce. Bagi Ahmad yang berjualan ponsel pintar, penerapan pajak di platformmarketplace hanya akan membuat pendapatannya yang tipis semakin tergerus.
Ia mengaku, perolehan dari penjualan gawai pintar itu tidaklah banyak. Dari satu gawai biasanya para penjual hanya mengambil keuntungan sekitar 5 persen. Beberapa, lanjutnya, bahkan ada yang mengambil untung lebih kecil.
Pria yang tinggal di Krapyak, Yogyakarta tersebut mengaku bahwa banyak pedagang yang ia kenal sesungguhnya merasa lebih nyaman melakukan transaksi jual beli dengan cara bayar di tempat dibandingkan dengan menggunakan marketplace seperti Tokopedia dan Bukalapak.
Pasalnya, ketika menggunakan sarana marketplace, mereka masih harus mempertimbangkan ongkos kirim yang dapat membuat harga jual barang dagangannya lebih mahal. Selain itu, faktor tidak langsung cairnya dana yang diperoleh dari hasil penjualan juga menjadi pertimbangan utama mereka, lanjut Rifai.
“Aku sebenarnya belum yakin platform pajak itu bisa berjalan dengan baik. Pajak PPh 1 persen saja masih banyak yang ngakalin, padahal mutasi rekening jelas-jelas bisa dilihat,” tambahnya.
Sentimen negatif seperti yang disebutkan oleh Rifai inilah yang membuat Asosiasi e-Commerce Indonesia (idEA) gamang ketika mendengar Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan 210/PMK.010/2018 tentang Perlakuan Perpajakan atas Transaksi Perdagangan melalui Sistem Elektronik pada Sabtu (12/01) lalu.
Salah satu pokok yang disebutkan dalam peraturan tersebut adalah bahwa setiap orang yang berdagang atau menyediakan jasa lewat platform e-commerce diminta untuk memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) serta membayar PPh final sesuai ketentuan yang berlaku yakni sebesar 0,5 persen dari omzet jika omzetnya tidak mencapai Rp 4,8 miliar per tahun. Sementara itu, mereka yang memiliki omzet lebih dari batas ketentuan tersebut wajib menjadi Pengusaha Kena Pajak (PKP).
Dalam jumpa pers pada Senin (14/01), Ketua Umum iDEA Ignatius Untung mengutip data idEA yang menunjukkan sekitar 80 persen dari 1.765 pelaku Usaha Mikro, Kecil dan Menengah (UMKM) yang berada dalam ekosistem e-commerce merupakan pengusaha mikro yang masih belum memiliki model bisnis yang solid sehingga belum tentu dapat bertahan dalam jangka waktu yang lama.
Jika peraturan tersebut diterapkan, ia khawatir banyak pedagang tersebut yang akan terbebani dengan kebijakan pajak sehingga memilih untuk keluar dari platform marketplace dan berpindah menuju media sosial. Selain itu, kewajiban untuk memiliki NPWP juga disinyalir dapat menjadi entry barier bagi mereka yang ingin menggunakan marketplace.
Kebijakan ini, lanjut Untung, tidak hanya akan berdampak negatif pada prospek pendapatan pajak pemerintah, akan tetapi juga akan membawa perkembangan industri marketplace yang tengah menggeliat menjadi mandeg.
Peraturan tersebut bukannya tidak menyebutkan ketentuan pembayaran pajak bagi pedagang atau penjual jasa yang menggunakan media sosial. Namun, mengingat bahwa perusahaan media sosial merupakan perusahaan asing, maka hal ini hanya malah akan mempersulit pemerintah untuk menjamin keamanan konsumen yang melakukan transaksi dagang.
“Padahal justru platform lokal (baca: marketplace) mendorong peningkatan ekonomi ketimbang platform media sosial yang dimiliki asing,” sebutnya.
Tetap Berjalan
Industri e-commerce di Indonesia memang tengah bergairah. Menurut laporan yang dibuat oleh Google dan Temasek berjudul “e-Conomy SEA 2018,” besar pasar e-commerce di Indonesia pada 2018 lalu mencapai 12,2 miliar dolar Amerika Serikat. Pertumbuhan itu diprediksi akan naik lebih dari empat kali lipat pada 2025, mencapai 53 miliar dolar AS.
Dalam hal ini, Indonesia memimpin jauh di atas negara Asia Tenggara lainnya. Sebagai perbandingan, Thailand yang berada persis di bawah Indonesia ‘hanya’ memiliki besaran pasar senilai tiga miliar dolar AS, disusul oleh Vietnam dengan besaran pasar 2,8 miliar dolar AS.
“Konsumen di Asia Tenggara akan semakin mengandalkan e-Commerce untuk membeli berbagai macam produk yang tidak tersedia di toko, sebagai dampak dari kurangnya jaringan ritel modern di luar kota-kota besar,” tulis laporan tersebut.
Menilik besarnya pasar e-commerce, tidak heran jika pemerintah mulai menyasar potensi pendapatan pajak dari sektor industri tersebut. Wacana penerapan aturan tersebut memang sudah mengemuka dalam beberapa tahun terakhir.
Kepada Tirto, Kepala Biro Komunikasi dan Layanan Informasi Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Nufransa Wira Sakti mengatakan bahwa terlepas dari segala kekhawatiran yang ada, pemberlakuan Peraturan Kementerian Keuangan 210 itu tetap akan berjalan sesuai dengan jadwal yang telah ditentukan, yakni 1 April 2019.
Ia mengatakan, pihak Kemenkeu telah bertemu dengan idEA pada Senin lalu untuk membahas pemberlakuan pajak tersebut dan telah mencapai beberapa poin kesepakatan untuk meminimalisir dampak negatif dari peraturan itu bagi industri e-commerce pada umumnya dan marketplace pada khususnya. Sebelumnya, idEA sempat mendesak Kemenkeu untuk menunda penerapan peraturan tersebut.
Dalam keterangan resminya, Nufransa mengatakan bahwa pedagang dan penyedia jasa tidak diwajibkan memiliki NPWP saat mendaftarkan diri pada marketplace daring. Sebaliknya, mereka yang tidak memiliki NPWP dapat memberitahukan Nomor Induk Kependudukan (NIK) sebagai gantinya.
Hal tersebut diamini oleh Untung. Selain itu, ia mengatakan bahwa Kemenkeu dan idEA juga sepakat bahwa akan ada kelompok pedagang yang akan ‘dilindungi’ dari kewajiban pajak tersebut.
“NPWP dan/atau NIK tidak semerta-merta langsung akan digunakan untuk penagihan pajak,” sebutnya. “Ada grup yang kita anggap masih perlu dibantu akan dibiarkan dulu, tidak usah setor NPWP atau NIK.”
Lebih lanjut, Nufransa mengklaim bahwa peraturan tersebut tidak ditujukan untuk memenuhi target penerimaan pajak, namun lebih kepada upaya untuk membangun “ekosistem dan database e-commerce yang lebih komprehensif.”
Data yang didapat melalui penerapan peraturan tersebut kemudian akan digunakan sebagai basis penentuan kebijakan bagi industri e-commerce di masa depan.
Selain itu, peraturan ini ditujukan agar pembeli, pedagang dan penyedia jasa memiliki kepastian hukum ketika misalnya mereka terlibat masalah yang dapat diperkarakan ke meja hukum. “Dengan peraturan ini, juga terdapat persamaan perlakuan antara pengusaha konvensional dan pengusaha yang memasarkan barang ataupun jasanya melalui e-commerce,” sebutnya.
Nufransa mengatakan bahwa pihak Kemenkeu akan melakukan sejumlah penyesuaian agar penerapan peraturan tersebut tidak memberatkan pelaku industri e-commerce, penjual serta pembeli. Kemenkeu juga akan melibatkan pelaku marketplace dalam pembuatan peraturan turunan (Peraturan Direktorat Jenderal) dari peraturan tersebut, termasuk pembahasan mengenai infrastruktur pelaporan.
“Mereka juga akan kita aja bicara, kira-kira seperti apa yang pas peraturan dirjennya supaya bisa saling melengkapi,” jelasnya.
Untung mengatakan idEA akan bertemu dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani pada Rabu (16/01) untuk melakukan pembahasan lanjutan mengenai hal tersebut.
“Kita coba kejar finalisasi detailnya (infrastruktur, sambungan sistem dan definisi kelompok yang akan dibantu), mudah-mudahan sebelum 1 April selesai,” tutup Untung.
Penulis: Ign. L. Adhi Bhaskara
Editor: Windu Jusuf