tirto.id - Senin 27 Juni 1994. Sejak sekitar pukul 09.00, aktivis prodemokrasi, mahasiswa, seniman, dan warga lain satu per satu mulai mendatangi Pusat Perbelanjaan Sarinah di Jl MH Thamrin, Jakarta Pusat.
Ketika jarum jam menyentuh pukul 10.00, ratusan orang itu bergerak menuju kantor Departemen Penerangan di Jl Medan Merdeka Barat, sekitar 3 kilometer dari Sarinah. Di lengan mereka terlilit tanda pengenal. Sudah berembus desas-desus bakal ada provokasi dari aparat keamanan. Maka mereka merasa harus lebih disiplin dan mengenali satu sama lain.
Mereka ingin kembali memprotes pemberedelan TEMPO, Editor, dan DeTIK pada 21 Juni 1994. Setelah hari kelam dalam sejarah pers Indonesia itu, gelombang penolakan berlangsung di banyak kota. Salah satu hari yang paling layak dikenang adalah unjuk rasa pada Senin 27 Juni 1994 di Jakarta, dengan kantor Departemen Penerangan sebagai target.
Belum tiba di Departemen Penerangan, ada barisan tentara bercelana loreng dan berkaos hitam dengan tulisan “Operasi Bersih 1994” mengadang di sekitar Patung Kuda. Ketika negosiasi masih berlangsung, pasukan itu menyerbu ke arah pengunjuk rasa sambil mengayunkan tongkat rotan. Para demonstran pun kocar-kacir, lari kembali ke arah Sarinah.
“Jalan Thamrin macet total, dan para pengendara mobil menyaksikan sendiri wajah-wajah beringas dari tentara berpakaian semi-sipil sedang memburu pengunjuk rasa yang sudah tidak berdaya,” sebagaimana dicatat dalam Buku Putih TEMPO: Pembredelan Itu (1994).
Aktivis Hadi Ciptono alias Kacik dipukuli meski sudah jatuh tak berdaya. Aktivis LBH Cianjur, Dini Farida, jatuh pingsan setelah didorong dan dipukuli aparat keamanan. Puluhan orang lain juga menjadi korban penganiayaan, dengan kepala berdarah atau wajah memar.
Pelukis Semsar Siahaan menjadi salah satu korban terparah. Ia dipukuli dengan tongkat rotan, termasuk di bagian kaki. Tulang kakinya pun patah. Yosep Adi Prasetya atau Stanley, wartawan Jakarta-Jakarta mengaku sempat menyelamatkan Semsar.
“Saya sempat menyelamatkan Semsar, yang kakinya kelihatan patah, dengan membantunya naik ke truk,” kata Stanley yang kelak pernah menjadi Ketua Dewan Pers (2016-2019) ini kepada Radio Nederland yang mewawancarainya. Semsar, wafat pada Februari 2005, diketahui cacat permanen akibat penganiayaan tersebut.
Pada saat pemukulan terjadi di Patung Kuda, ada unjuk rasa tandingan di Jl Medan Merdeka Utara. Mereka membawa sejumlah poster dan spanduk bertuliskan “Harmoko, your decision is the best” dan “Kikis Habis Pengunjuk Rasa Bayaran dari Luar yang Mengoyahkan Pancasila dan UUD 1945.” Harmoko adalah Menteri Penerangan saat itu, sosok utama di balik pemberedelan. Aksi ini berlangsung aman lancar, tanpa intervensi aparat.
Rendra Dipukul
Di Lapangan Monas, persis di seberang kantor Harmoko, ratusan karyawan TEMPO dan DeTIK berkumpul, duduk tertib di rumput. Rombongan dari Sarinah batal bergabung. Hanya aparat keamanan dan wartawan yang menemani. Saat itu Lapangan Monas belum dipagari. Siapa pun bisa leluasa keluar dan masuk.
Sekitar pukul 11.00, belasan anggota Bengkel Teater pimpinan Rendra yang bergabung di Lapangan Monas. Mereka duduk melingkar dan bersemadi.
Sang pimpinan, Rendra, akhirnya tiba beberapa menit kemudian. Mengenakan topi bertuliskan Move, penyair kenamaan itu berdiri di tengah lingkaran dan membaca sajak. “Aku tulis pamflet ini karena lembaga pendapat umum ditutup jaring laba-laba,” kata Rendra dengan lantang.
Lalu mereka menyanyikan Padamu Negeri, kembali bersemadi, dan mengeluarkan bunyi dengungan. Rendra keluar dari lingkaran dan menerima wawancara dari sejumlah wartawan.
Tiba-tiba seorang perwira militer berbicara dengan pengeras suara, “Saya minta supaya segera bubar. Satu…dua…tiga…”
Dalam hitungan beberapa detik, aparat keamanan merangsek ke anak-anak Bengkel Teater, Rendra, dan para wartawan. Mereka pun buyar. Rendra, saat itu 58 tahun, juga terkena pukulan aparat. “Saya ditendang dan dipukul. Catat ini,” kata Si Burung Merak ketika digiring ke pos polisi seperti dicatat Buku Putih TEMPO: Pembredelan Itu.
Keesokan harinya, Kapolda Metro Jaya Mayjen M Hindarto bicara ke media. Ia bilang aparat keamanan tak melakukan pemukulan terhadap para demonstran di Lapangan Monas dan sekitarnya.
“Semua tuduhan itu hanya rekayasa. Mereka semua akan diadili karena melanggar ketentuan berkumpul lebih dari lima orang tanpa izin tertulis dari Kapolda,” ujarnya.
Omongan Hindarto bukan gertak sambal. Pada 28 Juni 1994 itu, di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat, digelar pengadilan kilat untuk para demonstran. Termasuk, Rendra. Ia akhirnya didenda Rp2 ribu.
Demo tak lantas surut. Sejumlah unjuk rasa lain tetap berlangsung, di berbagai kota, sampai Juli 1994.
Pada 7 Juli 1994, Rendra mengadu ke DPR dan diterima Fraksi PDI dan Fraksi ABRI. Setelah panjang-lebar mengecam pemberedelan TEMPO, Editor, dan DeTIK, Rendra sampai pada pernyataan soal tragedi 27 Juni 1994.
“…kami berdemonstrasi secara tertib sekali….di situ pun kami hanya membaca sajak, berdoa, menggelar spanduk serta poster….Yang tidak tertib justru para aparat keamanan yang bercelana loreng, berkaos oblong, dan membawa tongkat rotan, yang dengan kekerasan memukul dan menendang kami yang tidak bersenjata dan tidak melawan,” kata Rendra seperti dicatat dalam Bredel di Udara (1996).
Titik Balik
Buat sosok seperti Pemimpin Redaksi TEMPO Goenawan Mohamad, tragedi 27 Juni 1994 merupakan titik balik. “Secara dramatis ia berubah. Ia menjadi amat sinis terhadap pemerintah. Sebelumnya ia lebih kompromis. Setelah itu ia melawan pemerintah, dengan risiko apa pun,” tutur sahabatnya sejak muda, sosiolog Arief Budiman, seperti dicatat Janet Steele dalam Wars Within: The Story of TEMPO an Independent Magazine in Soeharto's Indonesia (2014).
Dalam kalimat Goenawan sendiri, “Ketika saya melihat teman-teman saya dipukuli, ketika mahasiswa-mahasiswa itu dihajar, saat itu saya tahu jalan mana yang harus ditempuh.”
Ia pun menempuh sejumlah jalan: mengadu ke DPR, keliling Indonesia untuk mengampanyekan kebebasan pers, sampai menggugat ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Jakarta.
Pada 7 September 1994, gugatan itu dilayangkan Goenawan dan 43 jurnalis eks-TEMPO. Inti gugatan adalah minta PTUN membatalkan keputusan Departemen Penerangan yang mencabut Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) TEMPO.
Secara mengejutkan, 3 Mei 1995, majelis hakim PTUN Jakarta mengabulkan permohonan Goenawan dan kawan-kawan: keputusan Departemen Penerangan dianggap bertentangan dengan UU Pokok Pers. Putusan majelis hakim ini diperkuat di tingkat banding. Namun, kemudian dibuyarkan saat kasasi di Mahkamah Agung.
“Bagi saya, perjuangan ke arah kebebasan pers melalui jalur hukum sudah selesai sampai di sini. Kini tinggal perjuangan lain,” ucap Goenawan di depan gedung Mahkamah Agung.
Dalam catatan sejumlah peneliti, rangkaian aksi menolak pemberedelan TEMPO, Editor, dan DeTIK ini menjadi simbol kemurkaan kelas menengah terhadap Orde Baru. Mereka, yang selama ini relatif adem-ayem, merasa tak bisa lagi tinggal diam saat akses informasi dipangkas dengan sewenang-wenang.
“Mereka sulit menerima kenyataan atas keputusan pembredelan itu setelah pada 1989, rezim Orde Baru Soeharto, memperkenalkan “keterbukaan politik” yang memberikan ruang kebebasan yang lebih besar bagi rakyat Indonesia untuk mengungkapkan pandangan politik,” tulis Benny Subianto, Ucok Marpaung, dan Ignatius Haryanto dalam Aktor Demokrasi: Catatan tentang Gerakan Perlawanan di Indonesia (2001).
Para peneliti tersebut menemukan tak ada bukti keterlibatan kalangan bawah seperti petani dan nelayan dalam aksi menolak pemberedelan. Bias kepentingan kelas menengah yang muncul dalam gerakan ini, secara tidak sengaja, mencegah keikutsertaan kelas bawah.
Orde Baru kiranya tak menyangka reaksi atas pemberedelan demikian luas. Kendati demikian, mereka tak juga memperbaiki diri. Empat tahun kemudian, rezim ini memetik buah praktik otoritarianismenya selama delapan windu. Reformasi 1998 melenyapkan eksistensi Departemen Penerangan dan SIUPP tak lagi jadi prasyarat.
Musim semi kebebasan tiba.
Penulis: Yus Ariyanto
Editor: Nuran Wibisono