tirto.id - Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Provinsi Jawa Barat mengeluarkan kebijakan pembatasan terhadap beberapa lagu berbahasa Inggris. Dalam surat edaran tersebut dijelaskan lagu-lagu bersangkutan hanya dapat disiarkan serta ditayangkan pada klasifikasi waktu dewasa, yakni dari pukul 22.00 hingga 03.00 WIB.
Total terdapat 17 lagu yang masuk pembatasan. Di antaranya adalah “Dust till Dawn” (Zayn Malik), “Sangria Wine” (Camila Cabello dan Pharrell Williams), “Mr. Brightside” (The Killers), “Love Me Harder” (Ariana Grande), “Shape of You” (Ed Sheeran), hingga “Versace on the Floor” (Bruno Mars).
Dedeh Fardiah, Komisioner KPID Jawa Barat, mengungkapkan kepada Tirto bahwa kebijakan ini diambil karena lagu-lagu di atas memuat unsur seks dan perilaku cabul. Dedeh khawatir, lagu-lagu tersebut dapat memberikan dampak negatif untuk anak-anak.
“Kebijakan ini sudah diambil dengan pertimbangan dan masukan dari berbagai pihak. Budayawan, musisi, hingga akademisi. Kami tidak ingin anak-anak mendapatkan dampak yang kurang baik ketika mendengarkan lagu-lagu itu,” terangnya saat dihubungi via telepon, Selasa (26/2) malam.
Ia menambahkan, kebijakan hanya berlaku pada konten-konten yang disiarkan lembaga penyiaran yang memanfaatkan frekuensi publik. Kebijakan tersebut, jelas Dedeh, tidak berlaku untuk layanan streaming seperti YouTube.
Sensor Lagu adalah Wabah
Jawa Barat bukan wilayah pertama yang menerapkan kebijakan pembatasan terhadap suatu lagu yang dinilai mengandung muatan seksual. Di belahan bumi lainnya, kebijakan serupa sudah banyak bermunculan. Bahkan, kebijakannya lebih keras: lagu-lagu dengan muatan tertentu dilarang untuk diputar.
Di Malaysia, ambil contoh, pemerintah melarang lagu “Despacito” yang dibawakan Luis Fonsi dan Daddy Yankee untuk diputar di publik serta siaran televisi. Alasan pelarangan lagu yang rilis pada 2017—dan langsung bikin heboh YouTube sebab ditonton enam miliar orang—ini, mengutip pemberitaan The Star, ialah karena lirik “Despacito” dianggap memuat ajakan untuk berhubungan seksual.
Hal yang sama juga muncul di Singapura. Lagu The Beatles, “Yellow Submarine” pernah dicekal pemerintah tanpa alasan yang jelas—sebelum akhirnya larangan ini dicabut pada 1993. Pemerintah Singapura turut pula melarang “I Kissed a Girl” milik Katy Perry sebab dinilai mempromosikan budaya hidup anak muda yang kelewat bebas.
Bergeser ke Eropa, tepatnya di Jerman, album grup hard rock Rammstein, Liebe ist Fuer Alle Da (Love is For All, 2009) dilarang beredar oleh pemerintah Jerman dengan alasan “menggambarkan sadomasokisme.” Beberapa lagu yang membikin pemerintah kebakaran jenggot yakni “Ich tue Dir Weh” (“I Want to Hurt You”)—merepresentasikan kekerasan—serta “Pussy” yang dinilai mengkampanyekan hubungan seks tanpa kondom di tengah histeria AIDS.
Sejak berdiri pada 1995, Rammstein telah banyak memancing kontroversi lewat album-albumnya yang berjumlah delapan buah. Album-album mereka berbicara soal sadomasokisme, homoseksualitas, inses, pelecehan seksual, hingga kanibalisme. Kendati sering bikin geger masyarakat, album-album Rammstein tetap laris manis di pasaran.
Album Liebe ist Fuer Alle Da, ambil contoh, seperti yang diwartakan Reuters, langsung menempati posisi puncak tangga album di Jerman, Swiss, Austria, Denmark, Ceko, Finlandia, dan Belanda sebulan setelah dirilis. Di pasar AS, album Rammstein duduk di posisi 13—menjadikan pencapaian tersendiri bagi band.
Amerika juga punya pengalaman dengan sensor lagu. Akhir tahun kemarin, radio-radio lokal beramai-ramai memboikot lagu Natal yang ditulis Frank Loesser pada 1944, “Baby It's Cold Outside.” Lagu tersebut dilarang karena dinilai mempromosikan kencan yang berujung hubungan seksual tanpa konsensus.
Mundur jauh ke belakang, tepatnya pada dekade 1960-an, nomor milik The Who, “My Generation”, juga sempat kena cekal radio pemerintah Inggris, BBC. Pelarangan ini didasari asumsi bahwa “My Generation” dianggap mendorong anak-anak muda Inggris untuk memberontak. BBC, pada akhirnya, merevisi kebijakannya setelah melihat radio-radio lain memutar lagu ini dengan intensitas yang tinggi.
Jurus Terkenal: Stempel Parental Advisory
Muatan lagu yang dianggap seronok, tak pantas, dan sama sekali tak mendidik, khususnya untuk anak-anak, seringkali bikin orangtua panik. Di Amerika, cara melawan peredaran lagu-lagu yang memuat lirik-lirik ofensif—seksual, kekerasan, hingga kata-kata jorok—adalah dengan menempelkan stempel bertuliskan “Parental Advisory” (“Bimbingan Orangtua”) di setiap album musik.
Dorongan untuk label “Bimbingan Orangtua” datang dari luar industri musik. Alkisah, pada 1980-an, sebagaimana ditulis Nathaniel Belcik dalam makalahnya berjudul “Parental Advisory Explicit Lyrics: A Case Study of Music Censorship and Suppression in America” (PDF, 2012), Tipper Gore, istri politikus Demokrat, Al Gore, membeli album Purple Rain (1984) yang dibikin Prince.
Tak dinyana, album tersebut bikin Tipper kaget. Pasalnya, ia merasa lagu berjudul “Darling Nikki” memuat hal-hal yang ada hubungannya dengan masturbasi. Pengalaman itu lantas dibawa Tipper ke forum arisan ibu-ibu di Washington. Maka, dari sini, terbentuklah kelompok advokasi yang menamakan dirinya Parents Music Resource Center (PMRC).
PMRC kemudian mengambil sikap sehubungan dengan ontran-ontran ini. Asumsi mereka, lagu-lagu dengan muatan tak senonoh dapat mengancam masa depan anak-anak Protestan. Mereka pun langsung menyusun daftar yang berisikan 15 lagu “terlarang” dengan “Darling Nikki” berada di posisi pertama.
Tak hanya itu, PMRC juga mengusulkan sistem peringkat atau rating sebagaimana yang dilakukan Motion Picture Association of America (MPAA) dalam bidang film. Kategorisasi versi PMRC ialah “X” untuk lirik-lirik yang eksplisit secara seksual; “V” untuk kekerasan; “A/D” untuk obat-obatan dan alkohol.
PMRC lalu membawa usulan mereka ke Asosiasi Industri Rekaman Amerika Serikat (RIAA). Namun, saran PMRC ditolak. PMRC tak menyerah. Mereka membawa masalah ini ke sidang Kongres. Langkah ini membuat RIAA sedikit panik. Sebagai jalan tengah, RIAA setuju untuk menyematkan tulisan “Bimbingan Orangtua: Lirik Eksplisit” di setiap rilisan album. Konteks “eksplisit” sendiri merujuk bahasa yang menggambarkan kekerasan, seks, serta penyalahgunaan obat-obatan.
Bagi industri rekaman, keputusan itu merupakan bentuk kompromi. Menurut mereka, penyematan label “Bimbingan Orangtua” jauh lebih “ramah” dibanding usulan kategorisasi. Kendati demikian, menurut Danny Goldberg, salah seorang manajer musisi, pemberian stempel semacam ini tetaplah berbahaya dan membatasi kreativitas seniman.
“Itu hanya akan menciptakan kegilaan bagi penulis lagu karena mereka harus berjudi apakah liriknya aman di mata pemerintah dan anak-anak berusia di bawah 18 tahun atau tidak,” terangnya kepada National Public Radio.
Sama halnya seperti Goldberg, Frank Zappa juga mengutarakan kritiknya. Ia, bersama dengan Dee Snider, termasuk pihak yang menentang keras upaya PMRC. Zappa bilang, pelabelan adalah bukti betapa tidak logisnya pikiran. Sebagai bentuk protes, pada 1984, manakala album Them or Usgarapannya dirilis, ia memberi label peringatannya sendiri. Peringatan itu menjamin bahwa lirik-lirik dalam lagunya tak akan menyebabkan siksa neraka.
Kritik yang bermunculan tak menghentikan implementasi kebijakan ini. Label diletakkan di sudut kanan bawah kaset, dengan warna hitam dan putih. Pada 1990, sebanyak 19 negara bagian mengeluarkan wacana untuk membikin undang-undang pelabelan. Empat tahun berselang, ada sedikit perubahan: tulisan “Lirik Eksplisit” berganti “Konten Eksplisit,” yang lantas bertahan beberapa belas tahun setelahnya.
Ada ketakutan kehadiran stempel semacam itu mereduksi angka penjualan rilisan fisik, terutama di genre hip-hop dan metal yang rilisannya banyak memuat konten “eksplisit.” Namun, yang terjadi di lapangan justru sebaliknya: album-album rock, hip-hop, dan metal tetaplah diburu banyak orang. Album Ritual de lo Habitual (1990) garapan Jane Addiction, serta The Chronic (1992) yang disusun Dr. Dre, misalnya, terjual hingga menyabet status platinum.
Langkah Percuma
Masyarakat seringkali dengan mudahnya memberi kesimpulan terhadap efek suatu genre musik. Misalnya saja begini: orang-orang yang mendengarkan hip-hop diasumsikan rentan terhadap aksi kriminal dan penyalahgunaan obat-obatan, penikmat metal diasosiasikan sebagai orang yang keras, sementara pemuja emo dinilai cenderung depresi.
Akan tetapi, pandangan seperti itu hanyalah stereotip belaka. Dalam artikel berjudul “Getting a Bad Rap: Why Problem Music Isn’t Really a Problem” yang dipublikasikan The Conversation, Genevieve Dingle dan Leah Sharman mengatakan bahwa, berdasarkan penelitian mereka, mendengarkan musik metal justru mampu meningkatkan emosi secara positif dan mengurangi perasaan marah.
Kemudian, masih berdasarkan penelitian Dingle dan Sharman, mendengarkan hip-hop dapat membantu pendengar untuk mengelola suasana hati yang sedang muram. Sedangkan menikmati musik emo mampu mendorong pendengar untuk mengeluarkan emosi dan amarah secara pasif.
Dari sini bisa dilihat tak selamanya karya musik yang dianggap negatif punya dampak yang negatif pula. Membatasi—bahkan sampai melarang—beredarnya lagu karena alasan moral adalah tindakan yang tak menyelesaikan masalah.
Jika memang ada ketakutan musik bisa merusak generasi muda, langkah yang diambil semestinya menguatkan edukasi dan partisipasi dari institusi pendidikan hingga keluarga—alih-alih merepresi karya musik. Lagipula, membatasi beredarnya lagu di tengah era digital seperti sekarang merupakan tindakan yang percuma mengingat akses untuk memperoleh informasi begitu terbuka lebar dengan adanya internet.
Editor: Nuran Wibisono