tirto.id - Saya beberapa kali mewawancarai warga satu hari usai pembakaran dan perusakan Polsek Ciracas, Jakarta Timur, oleh massa yang diduga tentara. Tujuannya agar tahu apa yang terjadi, langsung dari para saksi.
Tapi beberapa orang yang saya temui menolak bercerita dengan berbagai alasan, termasuk takut.
Alasan lain di antaranya tidak melihat langsung, tidak tahu-menahu, dan tidak mau berasumsi siapa pelaku penyerangan.
Enggan memberi tahu apa yang dilihat dengan alasan takut jadi bukti kalau masih ada saja yang tak paham bahwa sebetulnya seorang saksi pada dasarnya memperoleh perlindungan. Itu tertera pada Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 soal Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam Pasal 5 huruf c beleid itu disebutkan bahwa seseorang “berhak memberikan keterangan tanpa tekanan.”
Instansi yang bertugas untuk itu adalah Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban. Ia dibentuk pada tahun 2008, beralamat di Jalan Raya Bogor Km. 24.
“Jika ada korban yang membutuhkan layanan dan perlindungan dari LPSK tentunya kami siap,” kata Ketua LPSK Abdul Haris Semendawai di kantornya, Kamis (13/12/2018). Sejauh ini, belum ada laporan sama sekali.
Abdul Haris menekankan kalau penyerangan dan pembakaran Polsek Ciracas sebetulnya bukan termasuk salah satu kasus prioritas yang disebutkan dalam UU LPSK, meski tetap bisa dilindungi. Prioritas melindungi saksi adalah pada kasus pelanggaran hak asasi manusia berat, tindak pidana terorisme, tindak pidana perdagangan orang, tindak pidana penyiksaan, tindak pidana kekerasan seksual, dan penganiayaan berat.
Saksi perusakan dan pembakaran Polsek sangat mungkin dilindungi meski bukan prioritas karena kasusnya sendiri disinyalir melibatkan tentara. Wakil Ketua LPSK Lies Sulistiani mengatakan biasanya saksi peristiwa yang melibatkan TNI dan Polri kemungkinan besar mendapatkan tekanan atau minimal rasa takut.
“Kondisi saksi yang seperti ini sangat mungkin juga kami berikan perlindungan,” kata Lies, dalam kesempatan yang sama.
Apa yang dikatakan Lies soal tekanan memang terjadi. Beberapa warga yang saya temui mengaku dipukuli “orang berbadan tegap berambut cepak” ketika mereka tengah mencari tukang parkir penganiaya TNI—awal mula kasus ini.
Salah seorang pengendara ojek daring yang kebetulan lewat juga dipukuli karena dituduh merekam pembakaran Polsek.
Pasal 28 ayat (1) Undang-Undang PSK menyebut perlindungan terhadap saksi dan/atau korban diberikan dengan syarat: a. sifat pentingnya keterangan saksi dan/atau korban; b. tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan/atau korban; c. hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan/atau korban; dan d. rekam jejak tindak pidana yang pernah dilakukan oleh saksi dan/atau korban.
Melihat beleid itu, artinya, jika ada kasus yang mengancam jiwa seseorang, LPSK bagaimanapun bertanggung jawab untuk menjalankan tugas dan fungsinya.
“Tidak mesti masuk dalam kategori kasus prioritas, tapi kalau sudah menyangkut dengan terancamnya jiwa, kami bertanggung jawab memberikan perlindungan,” jelas Wakil Ketua LPSK Askari Razak. Ancaman ini harus harus bisa dibuktikan LPSK. Tugasnya ada pada unit reaksi cepat di bawah naungan Biro Penelaahan Permohonan yang diisi oleh personel internal LPSK dan anggota Polri yang diperbantukan.
Polisi bisa membantu karena LPSK punya nota kesepahaman/Memorandum of Understanding (MoU) dengan Polri. Beda dengan TNI yang belum bekerja sama. Kesepakatan yang telah diperpanjang tahun lalu ini berlaku lima tahun.
Meski LPSK siap melindungi, namun menurut Wakil Ketua Setara Institut Bonar Tigor Naipospos itu tidak cukup. LPSK, katanya, “tidak menunggu bola” alias baru bereaksi ketika ada orang melapor.
“Saran saya, LPSK harus turun tangan. Jangan 'nunggu bola' seperti yang selama ini mereka lakukan. Ini bukan zamannya lagi,” katanya kepada reporter Tirto.
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino