Menuju konten utama

Pemanasan Global Ancam Pasokan Bir di Masa Depan

Bir akan makin langka, harganya akan kian naik. Ironis, sebab saat dunia semakin panas, orang makin susah mengakses dari minuman paling populer ini.

Pemanasan Global Ancam Pasokan Bir di Masa Depan
Pengunjung berusaha meraih gelas bir pertama dalam hari pembukaan Oktoberfest ke-148 di Munich, Jerman, Sabtu (16/9). ANTARA FOTO/REUTERS/Michael Dalder

tirto.id - Pemanasan global bukan hoaks. Para akademisi dari berbagai negara telah menyodorkan bukti berikut dampaknya.

Salah satunya adalah yang baru-baru ini dipublikasikan oleh Dabo Guan dari University of East Anglia, Britania Raya, dan beberapa peneliti dari universitas lain. Topiknya unik: efek perubahan iklim yang ekstrem terhadap masa depan bir.

Bir dipilih berdasarkan statusnya sebagai minuman beralkohol paling populer di dunia jika ditilik dari volume konsumsi. Riset Kirin Beer University menyatakan pada 2016 warga dunia menenggak sekurang-kurangnya 180 juta kiloliter bir. Bir sebanyak ini sanggup untuk mengisi 150 stadion bisbol Tokyo Dome.

Ada stereotip bahwa salah satu minuman beralkohol paling tua di dunia ini adalah minuman khas warga Eropa atau Amerika Serikat. Faktanya, Republik Rakyat Cina masih menjadi negara konsumen terbesar bir dunia.

Bir adalah minuman yang tergolong universal, sehingga ketersediaannya dianggap penting bagi sebagian orang, demikian menurut Guan dkk. Meski dampak pemanasan global bersifat multi-dimensi, tapi Guan dkk belum melihat ada yang tertarik untuk menelisik efeknya pada bir.

Fokus penelitian yang mereka publikasikan di Jurnal Nature Plants edisi April 2018 itu adalah pada bahan bakunya, yakni biji jelai alias Hordeum vulgare. Metodenya meliputi integrasi dari tiga model. Satu untuk untuk menganalisis iklim, kedua untuk kondisi pertanian jelai, dan ketiga untuk cakupan ekonominya.

Mula-mula mereka menganalisis suhu, curah hujan, curah hujan, kelembaban tanah dan variabel lain dalam skenario paling buruk dan skenario yang kurang buruk. Data-data yang didapat kemudian diolah dalam model pertanian jelai yang membuat mereka bisa mensimulasikan pertumbuhan jelai di seluruh dunia.

Kesimpulannya: di bawah pengaruh perubahan iklim yang ekstrem, mayoritas negara akan mengalami penurunan produksi jelai. Situasi ini turut menurunkan produksi bir sebab 17 persen dari total panen jelai dipakai untuk produksi minuman beralkohol tersebut.

Sebanyak 83 persen sisanya, kata Guan kepada CNN Health, adalah untuk pakan babi dan hewan ternak lain. Namun, sebanyak 17 persen itu adalah jelai dengan kualitas terbaik, dan sayangnya juga paling sensitif terhadap pemanasan global.

Penurunan produksi jelai dunia berada di kisaran 3 persen hingga 17 persen, tergantung dari cuaca. Dalam iklim yang paling buruk, konsumsi bir global akan turun sebanyak rata-rata 16 persen. Harganya akan naik menjadi dua kali lipat.

Sedangkan dalam skenario yang kurang buruk, konsumsi bir dunia tetap akan turun sebesar empat persen dengan kenaikan harga sebesar 15 persen.

Guan mengkategorikan bir sebagai “barang mewah”. “Barang mewah” merujuk pada segala hal yang tidak harus dikonsumsi atau bukan untuk semua orang. Namun, bagi pecinta bir minuman yang kini punya banyak varian merek itu amat esensial.

Oleh sebab itu Guan mengkhawatirkan kenaikan harganya di negara-negara konsumen bir level tinggi, seperti Irlandia, Estonia, Republik Ceko. Ia memprediksi akan ada penurunan konsumsi bir di Irlandia hingga 75 persen. “Warga yang cinta bir akan benar-benar menderita,” imbuhnya.

Nathan Mueller adalah salah satu anggota tim riset dari University of California, Amerika Serikat. Kepada reporter BuzzFeed News Dan Vergano ia berkata bahwa situasi di masa depan agak ironis.

“Ada gelombang panas yang membuat iklim makin gerah tiap tahunnya, dan membuatmu ingin minum bir. Tapi harganya justru kian mahal. Ini akan berdampak pada banyak orang.”

Vergano kemudian meminta pendapat ahli ekonomi agrikultur sekaligus profesor di University of Illinois, AS, Gerald Nelson. Nelson menyepakati prediksi dalam riset Mueller dan kawan-kawan, sekaligus menegaskan jika di masa depan kondisi iklim memang bikin buruk semua jenis bahan makanan dan minuman, tidak cuma bir.

Temperatur yang tinggi juga bisa menurunkan nutrisi yang terkandung pada hasil pertanian, atau mempengaruhi kesehatan tanamannya.

“Ini (pemanasan global) akan memengaruhi semuanya. Kita barangkali bisa mencari cara mempertahankan produksi panen jelai di angka yang tinggi, tapi kualitasnya akan makin jelek, dan akan menghasilkan bir dengan kualitas buruk pula,” kata Nelson.

Di lain kesempatan, saat berbicara kepada Guardian, Guan menyatakan penelitian timnya adalah gambaran atas efek pemanasan global yang akan dialami penduduk dunia secara nyata. Kelangkaan bir dan kenaikan harganya, kata Guan, bukan persoalan elitis semata.

Guan tidak berusaha membesar-besarkan masalah, tapi baginya dua persoalan pokok tersebut punya potensi untuk menggoyahkan stabilitas sosial. Ia merujuk pada “Prohibition Era”, masa dilarangnya produksi, impor, transportasi, dan penjualan minuman keras sejak 1920 hingga 1933 di Amerika Serikat.

Infografik Dunia Krisis Bir

Kelangkaan minuman keras, termasuk bir, membuat kelompok kriminal mengendalikan bisnis bawah tanah di berbagai kota. Mereka mengambil keuntungan banyak, namun efeknya adalah meningkatnya kriminalitas seperti pencurian, perampokan, pembunuhan, penyerangan, hingga kecanduan obat-obatan terlarang.

Kembali ke laporan Vergano, Jogan Swinnen selaku ahli ekonomi agrikultur LICOS Center for Institutions and Economic Performance cenderung skeptis dengan temuan Guan dkk. Ia memandang harga bir memang akan naik di masa depan, namun bukan karena penurunan panen jelai semata.

Swinnen mengatakan, harga bir lebih ditentukan oleh distribusi, pemasaran, pengemasan, monopoli harga oleh produsen di beberapa teritori, dan tak lupa, pajak. Di beberapa tempat, bahan baku bir tidak hanya bergantung pada jelai. Beras, kata Nelson, juga kerap jadi bahan tambahan. Riset Guan dkk juga belum mempertimbangkan pertumbuhan pendapatan global.

“Jadi, meski jelai mengalami kenaikan harga yang signifikan, hal tersebut bukan menjadi pendorong utama pada kenaikan harga bir,” imbuhnya.

Guan menegaskan tujuan dari riset timnya bukan untuk mendorong orang-orang agar minum bir lebih banyak. Ia hanya ingin menunjukkan bahwa perubahan iklim yang ekstrem punya dampak nyata. Bukan pada hal-hal yang makro atau abstrak saja, tapi sesederhana pasokan minuman alkohol favorit warga dunia.

“Jika kau tak mau hal itu terjadi, jika kau ingin tetap menikmati beberapa gelas bir, maka satu-satunya cara adalah dengan berkontribusi pada penanggulangan pemanasan global. Kita semua mesti bekerja sama untuk mengurangi dampak dari perubahan iklim yang ekstrem ini,” katanya, mengutip CNN Health.

Baca juga artikel terkait PEMANASAN GLOBAL atau tulisan lainnya dari Akhmad Muawal Hasan

tirto.id - Mild report
Penulis: Akhmad Muawal Hasan
Editor: Windu Jusuf