tirto.id - Nilai tukar rupiah terhadap dolar AS semakin terperosot. Berdasarkan hitungan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (JISDOR), nilainya sudah mencapai Rp15.178. Pengamat ekonomi dari Unika Atma Jaya, Agustinus Prasetyantoko mengatakan, melemahnya nilai tukar rupiah itu bisa meningkatkan utang pemerintah.
"Itu sesuatu yang tidak bisa dihindari, sehingga memang depresiasi nilai tukar itu dampaknya menyeluruh kemana-mana," ujar Agustinus di Jakarta pada Rabu (17/10/2018).
Namun, ia menilai depresiasi nilai tukar rupiah tersebut belum sampai membuat utang pemerintah di luar batas kewajaran. Pasalnya, ketentuan UU Keuangan Negara Nomor 17 Tahun 2003, menyebutkan batas rasio utang pemerintah 60 persen terhadap PDB.
"Jadi, kalau depresiasinya itu kira-kira 12 persen, maka dampak terhadap utang ya mungkin enggak lebih dari lima persen dampak ke kenaikan utang itu," ujar Agustinus.
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) mencatat bahwa posisi utang pemerintah hingga akhir September 2018 ini sebesar Rp 4.416,37 triliun atau 30,47 persen terhadap PDB yang asumsinya sebesar Rp 14.495 triliun. Angka rasio tersebut menunjukan utang pemerintah masih di batas wajar, meskipun rupiah terus melemah sejak awal September yakni sebesar Rp 14.767 (berdasarkan JISDOR).
"Memang memberikan tekanan negatif, tetapi tidak membuat situasi utang menjadi terlalu buruk," kata Agustinus.
Selain itu, Agustinus mengatakan, melemahnya rupiah juga dapat membuat Rasio Pembayaran Utang (Debt Service Ratio/DSR) menurun. Sehingga, ia menyarankan untuk terus mendorong ekspor agar DSR bisa kembali meningkat.
"Ekspor menurun, utang naik, DSR-nya melemah. Saat ini DSR masih di sekitaran 25 persen. Tapi, menarik diukur dari kewajiban kita keluar misalnya kewajiban kita membayar utang jangka pendek, rasionya terhadap ekspor segala macam masih relatif baik, berarti belum menunjukan indikasi krisis," ungkap Agustinus.
Penulis: Shintaloka Pradita Sicca
Editor: Alexander Haryanto