tirto.id - Hanya beberapa jam setelah Indonesia terpilih sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2021, Kamis (24/10/2019), akun Twitter PSSI diretas. Sebuah cuitan—yang intinya membanggakan kinerja kepengurusan federasi periode ini—tersebar luas.
“Sudah selayaknya kami [pengurus PSSI saat ini] terus bertahan di kepengurusan PSSI ke depannya karena terbukti hanya kami yang mampu menjadikan Indonesia tuan rumah Piala Dunia U-20,” begitu potongan isi cuitan tersebut.
Direktur Media dan Promosi PSSI Gatot Widakdo kemudian mengklarifikasi cuitan tersebut tidak benar. “Dan enggak mungkin kami nge-twit seperti itu,” jelasnya.
Pernyataan Gatot diperkuat fakta bahwa cuitan tersebut dikirim menggunakan jenis perangkat yang berbeda dengan kepunyaan admin-admin Twitter federasi. Ditambah pula dengan keterangan lokasi yang menujukkan cuitan tersebut dikirim menggunakan perangkat beralamat Polandia.
Kendati demikian, nasi sudah terlanjur jadi bubur. Jejak digital cuitan tersebut tak bisa dihapus dan isinya sudah kadung jadi konsumsi publik. Suka tidak suka, PSSI wajib menerima perubahan respons warganet terhadap para pengurusnya, dari yang mulanya simpati jadi antipasti.
Antipati ini wajar belaka, sebab pandangan bahwa ditunjuk sebagai tuan rumah Piala Dunia U-20 2021 adalah ‘keberhasilan’, merupakan kesalahan besar.
Alih-alih ‘prestasi besar’, Ketua Asosiasi Profesor Olahraga Indonesia (APKORI) Djoko Pekik Irianto menilai situasi seperti ini “seharusnya dijadikan tantangan, sebab masih banyak hal yang harus disiapkan federasi dan pemerintah untuk menyukseskan gelaran tersebut.”
Infrastruktur, Anggaran dan Komunikasi dengan Pemda
Menjadi tuan rumah tentu menguntungkan karena otomatis kontingen Indonesia akan tembus ke putaran final tanpa perlu repot-repot memenangkan kualifikasi. Tapi, seperti kata pepatah, “ada uang ada barang.”
Ada harga yang harus dibayar oleh Indonesia untuk mendapat keistimewaan tersebut, yakni menyiapkan kompetisi itu sendiri.
Dalam siaran persnya, APKORI mengatakan PSSI dan pemerintah setidak-tidaknya harus memenuhi tiga hal agar menjadi tuan rumah yang baik.
“Yang pertama adalah menyiapkan Sumber Daya Manusia (SDM) panitia yang kompeten. Lalu menyediakan infrastruktur memadai, dan terakhir hospitality yang layak,” tutur Djoko.
Terkait infrastruktur, dalam dokumen kriteria yang dirilis FIFA (PDF), tuan rumah setidaknya harus menyiapkan enam sampai delapan stadion dengan berbagai kriteria spesifik. Di antaranya stadion tersebut harus memiliki layar besar di luar bangunan (video screen), kapasitas tribun minimal 5.000 (fase grup) atau 15.000 (knockout), memiliki tribun media dan mixed zone proporsional, mendukung fasilitas siaran langsung televisi, serta beberapa rincian spesifik lain.
Sejauh ini PSSI telah mengajukan 10 bakal calon stadion tuan rumah, yang sebagian besar di antaranya telah memenuhi kriteria. Namun, detail-detail kecil seperti video screen dan mixed zone di beberapa stadion masih belum pantas dibilang mencukupi.
Syarat yang juga tidak kalah penting untuk dipenuhi, menurut aturan FIFA, adalah tuan rumah wajib menyediakan hotel terpisah untuk tim, wasit, dan staf FIFA. Hotel terpisah ini juga punya ketentuan sendiri-sendiri.
Misalnya, hotel untuk tim tidak boleh berjarak terlalu jauh dari lokasi latihan dan harus muat menampung minimal 150 orang. Hotel untuk staf FIFA juga memiliki syarat menampung minimal 250 orang, serta masih banyak aturan lain.
“Untuk itu, bukan sekadar membangun stadion dan infrastruktur, penyelenggara—dalam hal ini antara PSSI, Kemenpora, dan stakeholder lain—harus bersinergi agar nantinya segala persyaratan bisa terpenuhi,” terang Djoko.
Sinergi ini juga mencakup soal anggaran. Biaya untuk menggelar acara FIFA jelas tidak murah, dan pemerintah perlu menyuntikkan subsidi yang cukup.
Sebagai contoh, pada Piala Dunia 2018 di Rusia, pemerintahan Vladimir Putin perlu menyuntik subsidi 14 miliar dolar AS, alias setara Rp195 triliun. Anggaran untuk menggelar Piala Dunia level usia barangkali tidak akan setinggi itu, tapi bagaimanapun pemerintahan Jokowi harus siap urun duit agar citra Piala Dunia U-20 terjaga.
“Pemerintah pusat juga harus mengkoordinasikan pemerintah daerah—selaku pemilik sebagian stadion—agar menyesuaikan diri sebagai tuan rumah,” tandas Djoko.
Presiden Joko Widodo kemarin telah berjanji akan ikut menjamin kelancaran acara. Dan janji ini kini patut dinanti realisasinya.
Menyiapkan Timnas yang Layak
Tantangan penting lain yang harus dijawab federasi jelang gelaran dua tahun mendatang adalah menyiapkan skuat Timnas Indonesia U-20 yang mumpuni.
Menjadi tuan rumah bukan jaminan sebuah tim akan mendapat hasil bagus. Faktanya sepanjang sejarah gelaran Piala Dunia U-20, tidak banyak tuan rumah yang bisa menjadi juara di negerinya sendiri. Hanya Portugal (1991) dan Argentina (2001) yang tercatat pernah melakukannya.
Dalam edisi terakhir tahun 2019 ini, tim yang jadi tuan rumah, Polandia, pun tak bisa dibilang tampil menjanjikan. Mereka hanya lolos fase grup dengan predikat peringkat tiga terbaik, dan pada babak 16 besar tim ini babak belur di tangan Italia.
Menurut analis sepakbola Ady Nurhadi Shufi, ada beberapa poin penting yang harus diwujudkan PSSI untuk menjaga kualitas Timnas U-19 saat ini.
“Jangan ganti-ganti pemain supaya kompak dan cara main timnas bisa matang pada waktunya, terus jangan kasih mereka beban atau target yang terlalu tinggi,” jelas Ardy kepada reporter Tirto, Jumat (25/10/2019) siang.
Kendatipun turnamennya sekelas piala dunia, bagi Ardy, kompetisi level usia tidak bisa dijadikan acuan keberhasilan. Dia menilai, seharusnya gelaran Piala Dunia U-20 mendatang juga menjadi ajang untuk menyiapkan timnas senior yang lebih berkualitas di masa mendatang.
“Turnamen kelompok umur sebaiknya digunakan untuk menambah jam terbang, piala itu anggap saja sebagai bonus,” imbuhnya.
Satu lagi aspek yang menurut Ardy tidak kalah penting adalah meminimalkan kebiasaan gonta-ganti pelatih.
“Kalau ganti pelatih, kemungkinan besar pemain baru harus adaptasi lagi dengan pelatih baru. Itu menghambat dari aspek taktik. Belum lagi aspek kedekatan dengan pemain,” imbuh Ardy.
Jika berbagai saran di atas bisa dijalankan PSSI dengan benar, Ardy yakin Indonesia punya peluang untuk berprestasi. Dan jika prestasi ini benar-benar datang, akan menjadi sebuah keuntungan besar untuk sepakbola Indonesia.
“Kompetisi seperti ini bakal dihadiri dan dipantau para pemandu bakat klub besar. Andry Lunin [mantan pemain Ukraina U-20] sebelumnya bawa juara Ukraina lalu sekarang direkrut Real Madrid. Tunjukkan kalau pemain Indonesia juga punya bakat dan potensi,” tandasnya.
Jadwal Kompetisi Lokal Perlu Dirapikan
Berbicara kualitas timnas, tidak lengkap rasanya tanpa menyinggung kompetisi lokal. Sejauh ini alih-alih menuai pujian, kompetisi lokal justru lebih sering menjadi kambing hitam timnas Indonesia—dari berbagai level usia—bermain buruk di ajang internasional.
Pada kualifikasi Piala Dunia 2022 lalu misalnya, pelatih timnas senior, Simon McMenemy, tanpa tedeng aling-aling menyebut jadwal padat Liga 1 2019 sebagai salah satu penyebab timnya gagal perform. Akibat jadwal kompetisi lokal, Simon menyebut timnya tidak berani melakukan uji coba di luar negeri untuk memperkuat bekal persiapan pemain.
“Jika katakanlah kami menghadapi tim besar atau bertandang ke negara lain, terlalu riskan. Karena jadwal kompetisi lokal [sampai satu pekan sebelum Indonesia tampil] begitu padat. Saya memposisikan yang utama. Prioritasnya adalah kondisi pemain. Bagaimana tim kami harus fit,” keluhnya.
PT LIB berjanji akan terus berkoordinasi dengan PSSI untuk menyusun jadwal yang menguntungkan semua pihak. Terutama terkait jadwal kompetisi 2021, dimana pada bulan Mei hingga Juni Timnas U-20 harus tampil di Piala Dunia.
“Pasti itu, kami akan terus berkoordinasi. Logikanya demikian,” tutur media officer PT LIB, Hanif Marjuni lewat pesan singkat, Jumat (25/10/2019).
Suporter Juga Harus Berbenah
Terakhir, dan yang juga tak kalah penting, Indonesia perlu menyiapkan penonton yang baik.
Baru bulan September lalu Indonesia menjadi sorotan dunia karena pecahnya kerusuhan suporter saat pertandingan kualifikasi Piala Dunia 2022 melawan Malaysia. Rusuh ini tidak saja menyebabkan PSSI diganjar sanksi FIFA, tapi juga menimbulkan protes keras dari negara-negara lain, khususnya yang jadi lawan Indonesia.
Menteri Pemuda dan Olahraga (Menpora) Malaysia, Syedd Sadiq, bahkan sampai melaporkan Indonesia ke AFC karena peristiwa tersebut. Dia tak terima karena barisan suporter dan pemain Malaysia yang hadir ke Stadion Utama Gelora Bung Karno menjadi korban intimidasi orang-orang Indonesia.
"Benda besi, botol, dan suar dilemparkan ke arah kami beberapa kali. Ada juga beberapa pendukung Indonesia yang mencoba menyerang pendukung Timnas Malaysia,” keluh Saddiq.
Kerusuhan suporter bahkan belum bisa padam hingga sekarang. Musim ini, di 10 stadion yang dicalonkan PSSI untuk jadi tuan rumah, hampir semuanya pernah jadi arena pertempuran para suporter.
Jika SUGBK jadi medan perang suporter timnas yang kecewa, baru pekan lalu stadion Kapten I Wayan Dipta (Bali) dan Mandala Krida (Yogyakarta) jadi neraka serupa.
I Wayan Dipta jadi saksi barisan suporter Persebaya yang memaksa masuk dan bentrok dengan polisi karena tak dapat tiket, sedangkan Mandala Krida menjadi arena tarung suporter PSIM saat klubnya dipermalukan 2-3 oleh Persis Solo. Fenomena rusuh musim ini juga sempat pecah di Stadion Pakansari sampai Gelora Bung Tomo.
Kebiasaan seperti ini tidak boleh sampai terulang, apalagi sejak awal Sekjen PSSI, Ratu Tisha Destria, mewanti-wanti bahwa gelaran Piala Dunia U-20 2021 mendatang akan dijadikan “batu loncatan” supaya negara ini dipercaya FIFA lagi untuk menghelat agenda-agenda sepakbola lain.
Editor: Rio Apinino