tirto.id - Gilbert Kubali bermimpi jadi pengusaha kaya. Saat ini ia masih tercatat sebagai warga Goma, kota di bagian timur Kongo, Afrika Tengah. Kota tempat tinggal Kubali bukan daerah yang dihuni orang berduit seperti di Kinshasha, ibukota Kongo, yang jaraknya sekitar ribuan kilometer dari Goma.
Di kota kecil itu, Kubali ingin jadi pesohor yang mempelopori bisnis makelar pelayat profesional, salah satu profesi yang membuat orang-orang di Kinshasha punya cukup banyak uang.
Dalam laporan yang dirilis Februari 2019, Economist menyebut bisnis penyalur pelayat profesional—sebutan bagi orang yang dibayar untuk datang ke ritual pemakaman—adalah bisnis yang sedang laris dan menghasilkan keuntungan berlimpah.
Karena profesi itu belum dikenal di Goma, Kubali optimis bisa sukses jika ia memonopoli ranah bisnis tersebut.
Lapangan kerja ciptaan Kubali menarik hati perempuan-perempuan paruh baya hingga lansia, salah satunya Deborah Nzigire, 65 tahun, yang lelah hidup miskin di kota yang penuh konflik antar-kelompok militan. Setiap hari Nzigire dan sebagian besar warga Goma lain berusaha mati-matian agar bisa mendapat uang $2 sehari. Jumlah tersebut sebenarnya masih terbilang tinggi dan sulit diperoleh warga Goma.
“Selalu saja ada masalah. Pikiranmu dipenuhi pertanyaan ‘di mana aku bisa dapat uang?’ Ini bikin aku sedih dan menangis. Kami selalu siap menangis.” kata Nzigire.
Satu pelayat profesional dibayar $150 untuk bekerja selama seminggu. Mereka diwajibkan menangis sejadi-jadinya di samping peti jenazah ketika ritual digelar. Semakin ekspresif tangisan, semakin besar bayaran yang didapat.
Ami Dokli, pelayat profesional asal Ghana, telah membuktikannya. Dokli mengaku kerap dipanggil ke berbagai jenis upacara pemakaman. Bila upacara diadakan besar-besaran, janda ini akan mematok harga tinggi.
Anggota keluarga yang berduka pun tak keberatan mengabulkan permintaan honor dari pelayat profesional. Upacara pemakaman di Ghana dipandang sebagai perayaan yang bahkan lebih penting dari pernikahan. Biasanya mereka menghabiskan uang sekitar $15.000-$20.000 untuk merampungkan ritus kematian, mulai dari menyewa papan iklan untuk mengumumkan kabar duka, penyediaan konsumsi, hingga menggelar hiburan musik/tari untuk pelayat. CNN mengabarkan bahwa satu EO acara pemakaman di Ghana bisa menangani 30 upacara per hari.
“Orang-orang seringkali kesulitan atau bahkan tidak bisa menangis,” kata Dokli kepada BBC.
“Kalau kamu tidak menangis di acara pemakaman, leluhur akan marah dan mengganggu hidupmu,” kata Nzigire. Bagi orang Afrika, bila tak ada air mata di pemakaman, tandanya tak ada kepedulian kepada orang yang meninggal.
Pelayat profesional juga ada di Taiwan. Salah satunya Liu Chun-lin yang beken di negeri itu karena bisa menari dan menangis meraung-raung di pemakaman.
Sebelum jadi pelayat profesional, Liu adalah remaja yatim piatu pas-pasan yang disuruh bekerja oleh sang nenek agar bisa membantu melunasi tumpukan utang orangtuanya.
Masyarakat Taiwan dan Cina daratan membutuhkan jasa pelayat profesional karena anggota keluarga dari orang yang meninggal biasanya tinggal jauh di luar kota dan sulit menghadiri upacara pemakaman. Walhasil, pelayat bayaran jadi solusi.
Menurut pantauan BBC, pelayat profesional biasanya diminta mengisi sesi hiburan dan pengucapan belasungkawa, dua hal yang selalu ada dalam upacara pemakaman masyarakat Cina.
Pada usia 30, Liu mendirikan usaha pelatihan pelayat bayaran. Dengan tarif $600 dolar sekali datang ke pemakaman, kini ia bisa hidup nyaman.
Mao, pelayat profesional asal Cina daratan lainnya, dikenal karena keahlian menangis sesedih-sedihnya sambil berteriak. Ia memutuskan jadi pelayat bayaran setelah di-PHK oleh kantornya.
Sepuluh tahun setelah bekerja sebagai pelayat profesional, Mao bisa menjalani hidup layaknya masyarakat kelas atas.
Nasib baik para pelayat profesional Cina menginspirasi Ian Robertson untuk mendirikan bisnis bernama Rent a Mourner. Pria asal Inggris ini menyediakan jasa pelayat profesional dengan honor 45 poundsterling per jam.
Sebelum datang ke upacara pemakaman, para pelayat akan diberitahu latar belakang jenazah, termasuk soal pekerjaan dan kehidupan keluarga. Robertson mengaku mendapat 52 pesanan dalam waktu satu tahun tak lama setelah bisnisnya diluncurkan. Jumlah tersebut terus meningkat seiring. Ia bahkan sempat menolak sekitar enam puluhan pesanan lantaran terkendala jarak. Tetapi, pada 19 Maret lalu, Robertson memutuskan untuk menutup usahanya. Ia mengaku kesulitan menerima pesanan yang semakin membludak dari seluruh penjuru negeri. Sementara ia harus mempertahankan ongkos produksi serendah-rendahnya.
Marilyn Mendoza, penulis We Do Not Die Alone: Jesus Is Coming to Get Me in a White Pickup Truck (2008) menyatakan bahwa praktik pelayat bayaran telah muncul sejak zaman Romawi kuno. Pada masa itu, pelayat profesional diminta datang untuk mengungkapkan kesedihan dengan menangis sampai menyobek-nyobek baju, dan mencakar wajah sendiri. Semakin banyak pelayat profesional yang hadir, keluarga yang berduka pun semakin dianggap terpandang.
“Aku rasa hari ini pun pelayat profesional direkrut dengan alasan yang mirip dengan 2000 tahun lalu. Pelayat profesional adalah simbol status sosial keluarga,” tulis Mendoza dalam Psychology Today.
Editor: Windu Jusuf