tirto.id - Sadie Pfeifer baru berusia sembilan tahun saat Lewis Hine mengambil foto dirinya yang sedang mengoperasikan mesin pemintal benang di Lancaster Cotton Mill, South Carolina, Amerika Serikat, pada bulan November 1908.
Sorot matanya tampak fokus. Bukan ke arah kamera, tapi ke mesin setinggi hampir dua kali lipat dari tinggi badan Sadie. Baju terusan yang ia kenakan nampak robek di bagian rok. Di bagian latar belakang terlihat buruh perempuan dewasa yang sedang mengerjakan tugas yang sama.
Sadie adalah satu dari ribuan buruh anak-anak yang Lewis abadikan melalui foto. Tindakan ini pada akhirnya menghapus praktik perburuhan anak-anak di Amerika. Karya-karyanya membeberkan fakta atas isu penting yang kala itu ditepis sebagai kabar bohong oleh kalangan borjuis.
Revolusi industri meningkatkan produksi barang secara signifikan. Pabrik-pabrik di Amerika membutuhkan banyak tenaga kerja untuk menggerakkan mesin. Tugasnya cenderung repetitif dalam durasi yang panjang.
Vox melaporkan anak-anak menjadi golongan yang ditargetkan para pemilik modal dua alasan. Pertama, mereka bisa diupah murah atau bahkan tidak sama sekali. Kedua, potensi untuk menuntut hak-haknya dalam negosiasi atau demonstrasi tidak sebesar buruh-buruh usia dewasa.
Kala itu buruh belum dilindungi oleh undang-undang. Orang tua juga turut bertanggung jawab. Alih-alih memprioritaskan bangku sekolah, banyak dari mereka yang memandang anak sebagai aset untuk meringankan beban ekonomi keluarga.
Ada anggapan bahwa mempekerjakan anak-anak sejak usia dini akan membuat mereka terbiasa dengan kerja keras—etos yang penting untuk mengamankan masa depan. Pemilik pabrik tentu tidak memprotes pandangan ini, mengingat dari sanalah mereka bisa mengeruk profit lebih.
Pada 1900 terdapat 1,75 juta buruh anak-anak di bawah usia 16 tahun, mengutip data Biro Statistik Tenaga Kerja AS. Perbandingannya kurang lebih 1:5 dari total populasi anak-anak di Amerika. Mereka dipekerjakan di areal pertambangan, pabrik pemintal benang, perkebunan kapas, pabrik pengalengan, dan lain sebagainya.
Elite pemerintahan di banyak negara bagian sebenarnya menyadari kondisinya sebagai problem yang menggejala sejak akhir abad ke-19. Tapi mereka tidak berbuat apa-apa. Ada aroma kolusi antara elite dan pemilik modal, menurut sebagian analis. Ditambah lagi, pengetahuan publik masih minim mengenai isu ini.
Pada saat yang bersamaan, sekitar tahun 1890-an hingga 1920-an, Amerika Serikat memasuki Era Progresif. Pada era ini aktivisme sosial dan reformasi politik sedang tumbuh subur dengan misi mengikis masalah-masalah yang disebabkan oleh industrialisasi, urbanisasi, imigrasi, dan korupsi.
Komite Perburuhan Anak Nasional (NCLC) lahir pada tahun 1904. Mereka berfokus pada isu perburuhan anak. Washington Post melaporkan, meski ada banyak laporan investigatif mengenai pekerja di bawah umur, pelaku industri selalu mengelak.
Kabar berita adalah satu hal, fotografi adalah hal lain. Yang pertama bisa disangkal melalui kebohongan, sementara foto mampu menelanjangi kebenaran. Oleh sebab itu NCLC memutuskan untuk mempekerjakan Lewis Hine—sosiolog sekaligus fotografer yang punya kepedulian kuat pada nasib anak-anak.
Kepedulian itu barangkali didasarkan pada pengalaman Lewis selama bekerja di pabrik furnitur di Wisconsin pada usia 18 tahun. International Photography Hall of Fame mencatat Lewis didesak oleh kebutuhan membantu ekonomi keluarga setelah ayahnya meninggal dalam sebuah kecelakaan.
Lewis bekerja selama 13 jam per hari dan enam hari per minggu. Ia kemudian berganti profesi menjadi petugas kebersihan di sebuah bank. Lewis pintar menabung. Uangnya dipakai untuk melanjutkan kuliah di jurusan Sosiologi.
Selepas lulus ia menjadi guru di Ethical Culture School di Manhattan sambil sesekali menjalankan hobi memotret. Ia amat bersemangat untuk mendokumentasikan gelombang imigrasi di Pulau Ellis. Hasilnya kerap ia pakai sebagai bahan pembelajaran agar siswanya menaruh hormat kepada para pendatang.
NCLC tertarik dengan semangat Lewis yang meyakini bahwa fotografi bisa jadi alat pendorong reformasi sosial. Lewis pernah mengungkapkannya pada pidato pada tahun 1909 berjudul Social Photography: How The Camera May Help.
“Diktum pekerja sosial adalah ‘Jadilah terang’ (let there be light), dan di dalam kampanye ini kita memiliki cahaya itu: fotografi.”
Sepanjang perjalanannya berkeliling Amerika dengan kamera Graflex, Lewis menghasilkan foto-foto ikonik di mana para subjek menatap tajam ke arah kamera.
Ia dianggap sebagai salah satu pelopor photo story karena turut menyuguhkan keterangan yang berisi cerita dari para subyek. Melalui metode wawancara dan pengumpulan fakta-fakta, pembaca mengetahui identitas, umur, latar belakang, alasan memburuh, gaji yang diterima, hingga kondisi kesehatan buruh anak.
Lewis mengenakan pakaian formal tiga lapis untuk dua tujuan. Pertama, agar bisa berbohong pada pemilik pabrik yang tidak mengizinkannya mengambil gambar. Ia kadang mengaku sebagai penjual alkitab yang bertugas menyebarkan firman Tuhan kepada para buruh.
Kedua, jika tidak diperkenankan melakukan wawancara, kancing-kancing pada rompinya bisa dipakai untuk mengira-ngira tinggi dan usia buruh anak.
Kembali merujuk Vox, Lewis mendokumentasikan lebih dari 5.000-an buruh anak yang bekerja di pertambangan batu bara di Pennsylvania, pemotong ikan sarden di Maine, pemanen umbi di Colorado, pengupas tiram di Louisiana, pemanen tembakau di Kentucky, pemanen buah kranberi di Massachussets, dan lain sebagainya.
Itu untuk area perdesaan. Di wilayah perkotaan ia mengabadikan anak-anak yang mencari nafkah sebagai buruh pabrik, pengantar surat, penjual koran, pedagang asongan, penyemir sepatu, dan lain sebagainya. Beberapa foto turut menampilkan orang dewasa yang ditugaskan untuk mengawasi anak-anak itu.
Usianya beragam: tiga, lima, 10, hingga 15 tahun. Dengan durasi kerja lebih dari 10 jam per hari, upah yang mereka terima tetap lebih rendah dibandingkan upah untuk buruh dewasa.
Saat tidak diijinkan masuk pabrik, Lewis menunggu dengan sabar di seberang jalan untuk mendokumentasikan buruh anak yang keluar-masuk pabrik. Ia memfoto pabrik saat masih beroperasi pada malam hari, dan menyaksikan buruh anak yang masih dipekerjakan para waktu-waktu tersebut.
Beberapa foto mempertontonkan hasil kecelakaan kerja yang dialami oleh para buruh. Misalnya seorang anak dari Bessemer City, North Carolina, yang dua jari tangan kanannya tergerus mesin pemintal benang. Ia cacat permanen.
Publikasi semacam itu membuat Lewis sesekali mendapat ancaman kekerasan atau bahkan penghilangan nyawa dari penjaga keamanan pabrik. Semangat Lewis tidak surut.
Foto-foto Lewis dirilis oleh NCLC hingga muncul dua dampak penting. Pertama, menyadarkan publik mengenai keberadaan buruh anak dan penderitaan yang mereka hadapi sehari-hari. Kedua, makin kuatnya advokasi dari kaum progresif agar pemerintah memberlakukan undang-undang penghapusan perburuhan anak.
Sepanjang 1910-an hingga 1930-an para pengacara dari pihak progresif membawa kasus perburuhan anak ke meja hijau. Sempat ada kemajuan, namun sesekali mereka menelan kekalahan.
Kemenangan penting mereka raih pada 1938 ketika pemerintah meloloskan UU Standar Tenaga Kerja yang Adil. Isinya mencangkup pelarangan mempekerjakan anak di bawah usia 16 tahun di bidang manufaktur atau pertambangan atau selama jam sekolah. Tercantum pula pelarangan merekrut anak di bawah usia 18 tahun untuk pekerjaan berbahaya.
Dua tahun berselang Lewis meninggal dunia. UU Perburuhan terus diperbarui. Anak-anak makin dimudahkan untuk memenuhi hak pendidikannya. Karya-karya Lewis masih menginspirasi kaum progresif dalam perjuangan melawan praktik perburuhan anak di berbagai negara.
Editor: Windu Jusuf