Menuju konten utama

"Pejalan Kaki Seperti Mempertaruhkan Nyawanya di Jalan"

Robohnya jembatan penyeberangan orang (JPO) di Pasar Minggu akibat angin kencang telah membuka mata banyak orang bahwa ada yang tidak pas dalam pengelolaan JPO di ibukota. Terkuak fakta bahwa ada Perda yang melarang memasang reklame di JPO.

Ketua Koalisi Pejalan Kaki, Alfred Sitorus. Doc. Pribadi

tirto.id - Selain soal pemasangan reklame, ternyata JPO di Jakarta juga tak ramah bagi para lansia, ibu hamil dan kaum disabilitas.

“Misalnya bidang kemiringan anak tangganya mencapai 45 derajat, sehingga akses untuk lanjut usia, ibu hamil dan disabilitas tidak ada. Mungkin hanya orang normal saja yang bisa mengakses JPO,” kata Alfred Sitorus, Koordinator Koalisi Pejalan Kaki.

Hal yang mencengangkan, ternyata ada peraturan yang saling bertabrakan terkait pemasangan reklame di JPO. Perda jelas melarang, namun ada Pergub yang membolehkan. “Kami menilai ada aturan hukum yang bertabrakan,” kata Alfred.

Aturan hukum seperti apa yang bertabrakan? Mengapa para pejalan kaki justru menjadi pihak yang paling rentan terkait keberadaan JPO? Berikut wawancara Reja Hidayat dari tirto.id dengan Alfred Sitorus;

Bagaimana pendapat Anda terkait robohnya Jembatan Penyeberangan Orang (JPO) di Pasar Minggu?

Sebenarnya terkait dengan JPO, kalau mereka mengikuti Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 19 tahun 2011 tentang Persyaratan Teknis Jalan dan Kriteria Perencanaan Teknis Jalan, maka kasus itu tidak terjadi. Kalau sekarang, lihat saja JPO di Jakarta banyak yang umurnya sudah tua. JPO di Jakarta ada yang dibangun tahun 1982, 1985, dan sebagainya. Tak hanya itu, ini bukan hanya masalah kenyamanan saja, tapi masalah keselamatan pejalan kaki dalam menyeberang JPO yang tidak layak.

Mengapa tidak layak?

Tidak layak, misalnya bidang kemiringan anak tangganya mencapai 45 derajat, sehingga akses untuk lanjut usia, ibu hamil dan disabilitas tidak ada. Mungkin hanya orang normal saja yang bisa mengakses JPO.

Bukan hanya JPO saja yang sudah tua, tetapi JPO yang baru dibangun juga sama dengan yang lain, seperti JPO di Halte Bundaran Hotel Indonesia. Dari sisi bidang kemiringan sudah mencapai 20 derajat sehingga memenuhi kriteria Permen PU. Tetapi untuk akses disabilitas sama saja. Harusnya pada bagian tengah tangga JPO harus dilengkapi bagian rata yang dapat digunakan sebagai fasilitas untuk kursi roda bagi penyandang disabilitas.

Kemudian, kontruksi JPO hanya menopang atap saja. Tidak ada JPO untuk menopang papan reklame. Kalau ada yang menyebutkan JPO untuk papan reklame mana kajiannya? Kalau tidak ada kajian dan landasan hukumnya maka itu pelanggaran hukum.

Maksud Anda pemasangan papan reklame di JPO tidak ada landasan hukumnya?

Kami menilai ada aturan hukum yang bertabrakan. Pada Perda Nomor 8 tahun 2007 tentang “Ketertiban Umum”, secara tegas melarang papan reklame di pasang di JPO. Hal tersebut tercantum dalam Pasal 21 poin A, "Setiap orang atau badan dilarang: mencoret-coret, menulis, melukis, menempel iklan di dinding atau di tembok, jembatan lintas, jembatan penyebrangan orang, halte, tiang listrik, pohon, kendaraan umum dan sarana umum lainnya."

Apa artinya pasal itu?

Jelas bahwa setiap orang dan penyelenggara dilarang keras untuk memasang iklan di JPO. Itu jelas. Kalau ketahuan maka kosekuensinya ada pada Pasal 61 poin 1, yaitu ancaman pidana kurungan paling singkat 10 hari dan paling lama 60 hari atau denda paling sedikit Rp100 ribu dan paling banyak Rp20 juta.

Anda tadi menyebut ada aturan yang bertabrakan?

Ya. Pada Perda Nomor 9 tahun 2014 tentang “Penyelenggaraan Reklame”, disebutkan setiap sarana dan prasarana kota boleh dijadikan tempat iklan atas izin tertulis dari gubernur dan pejabat yang ditunjuk gubernur. Tapi dalam Perda tersebut tidak disebutkan bahwa boleh pasang di JPO. Nah JPO merupakan sarana dan prasaran kota, kami menafsirkan ada kerancuan antara Perda Ketertiban Umum dengan Perda Penyelenggaraan Reklame.

Jadi siapa yang bertanggung jawab terkait robohnya JPO Pasar Minggu?

Sebenarnya tidak hanya penyelenggara iklan saja yang salah, tetapi juga Pemprov DKI Jakarta. Ini yang harus diusut oleh polisi, karena penyelenggara iklan tidak mungkin memasang kalau tidak ada izin dari pemerintah.

Kalau dirunut dari prosedurnya, maka tersangka utama adalah pemberi izin. Contohnya, Bapak A mau pasang iklan, tentu harus membuat izin dan membayar pajak ke pemerintah. Kalau sudah dikeluarkan izin, maka si A akan pasang iklan. Sementara untuk teknis pemasangan, harusnya ada pengawas JPO di bawah Dinas Perhubungan DKI Jakarta. Pertanyaannya, pengawasan itu berjalan atau tidak? Jika tidak, maka patut dicurigai bermain semua dong. Ingat konstruksi JPO itu hanya mampu menopang atap, bukan papan reklame.

Dishub DKI menyebutkan bahwa dari 75 reklame JPO yang mereka kelola, hanya 7 yang memiliki izin. Apakah lainnya ilegal?

Bukan ilegal. Tanya dulu ke Dinas Pelayanan Pajak DKI dan Badan Pengelola Keuangan Aset dan Daerah. Mereka bayar pajak nggak? Kalau mereka bayar, berarti bukan ilegal dan tidak ada masalah. Sebaliknya, kalau mereka tidak bayar pajak baru itu disebut ilegal iklannya.

Kalau JPO Pasar Minggu, kabarnya terakhir bayar pajak tahun 2011, tetapi iklannya masih dipasang sampai sekarang. Kalau itu terjadi, bagaimana prosesnya? Ini menjadi rancu. Dari 75 papan reklame hanya 7 yang memiliki izin. Ini kan tanda tanya? Kita jangan buru-buru mengatakan papan itu ilegal. Coba cek dulu, berapa papan reklame yang membayar pajak? Kalau mereka bayar berarti ada izin. Logikanya nggak mungkin diizinkan pasang iklan kalau nggak bayar pajak. Berarti ada oknum yang bermain dan ini harus dihentikan serta diselidiki.

Kalau tidak bayar pajak baru bisa disebut ilegal?

Iya. Kalau mereka membayar pajak lalu dibilang ilegal, maka pemasang iklan bisa menuntut pihak Pemprov DKI Jakarta. Tapi yang paling utama justru para pejalan kaki yang nyawanya dimain-mainkan. Mau menyeberang melalui JPO saja justru nyawa terancam. Beberapa kasus malah terjadi di JPO. Seperti pelecehan seksual di Lebak Bulus, lalu jambret, terus terakhir dinding JPO roboh akibat papan iklan yang ditiup angin kencang. Akibatnya empat nyawa melayang. Jadi, pejalan kaki seperti mempertaruhkan nyawanya di jalan.

JPO bukan hanya dikelola oleh Pemprov DKI Jakarta, tetapi ada juga Kementerian PU, Jasa Marga dan PT KAI. Bagaimana pengawasannya?

Nggak masalah. Maksudnya begini, kita punya standar satu saja yakni Permen PU No 19/2011. Permen itu kunci standar dalam pembangunan JPO. Jadi kalau ada aturan nasional yang mengikat, lalu kenapa harus bikin aturan seenak sendiri? Dari mana aturan bidang miring 45 derajat? Ikuti saja aturan yang sudah ada dan lebih tinggi.

Jadi JPO memang tidak diperuntukkan untuk memasang papan reklame?

Itu sudah jelas tertera dalam perda Ketertiban Umum. Tidak boleh. Ahok sudah ngomong berapi-api, kalau JPO tidak boleh dipasangi iklan dan tidak mau melanggar aturan. Kita ada aturan ketat. Kalau JPO tak sesuai dan tak layak, maka dibongkar saja. Saya tidak mau berspekulasi boleh atau nggak iklan di JPO, tapi Pemprov DKI Jakarta menyebutkan tidak boleh ada papan reklame di JPO. Itu acuan saya. Kalau nggak ada acuan seperti pepesan kosong.

Jadi jangan peraturan gubernur membolehkan, tapi ada aturan di atasnya yakni perda yang melarang. Kan lebih tinggi perda. Kalau gubernur tidak mengikuti itu, terus siapa lagi yang mau mengikuti aturan? Saya hanya menegaskan, sebelum banyak korban meninggal dari pejalan kaki, pemerintah jangan membuat bidang kemiringan yang curam. Harus sesuai aturan. Jika tidak akan kami somasi.

Terkait pemeliharaan JPO, Dishub memiliki dana Rp6,8 miliar untuk 75 JPO. Apakah ideal?

Buat kajian saja deh. Kalau tidak layak bongkar saja. Pakai zebra cross yang lebih ramah. Kita latah sekali. Untuk memperlancar laju kendaraan bermotor, pemerintah mempersulit pejalan kaki untuk menyeberang. Padahal UU Lalu-Lintas menyebut agar mengutamakan keselamatan pejalan kaki dan sepeda. Terus yang diutamakan sekarang siapa? Pejalan kaki atau pengendara?

Apa sikap Koalisi Pejalan Kaki terkait JPO?

Pertama, moratorium pembangunan JPO yang baru. Lalu pemerintah membangun zebra cross bagi pejalan kaki. Kedua, JPO di Jakarta harusnya tidak layak lagi bagi pejalan kaki, terutama penyandang disabilitas karena track-nya cukup curam. Kalau kota ini mau menuju kota yang smart, seharusnya sudah memfasilitasi pejalan kaki dengan lebih ramah. Beda halnya dengan tol yang harus pakai JPO karena memang jalan bebas hambatan.

Ingat, dalam Peraturan Menteri Perhubungan dan Instruksi Presiden No. 4 Tahun 2013 tentang “Program Aksi Keselamatan Jalan”, disebutkan batas kecepatan kendaraan di kota maksimum 50 km per jam. Tidak boleh melebihi 50 km per jam. Dengan kecepatan tersebut, tidak ada alasan lagi zebra cross membahayakan keselamatan pejalan kaki. Kalau pengendara membawa dengan kecepatan di atas 50 km per jam, maka tidak mengindahkan aturan tersebut. Jadi kasus JPO jangan dilihat sepotong-sepotong.

Baca juga artikel terkait JPO atau tulisan lainnya dari Reja Hidayat

tirto.id - Mild report
Reporter: Reja Hidayat
Penulis: Reja Hidayat
Editor: Nurul Qomariyah Pramisti