Menuju konten utama

Pebisnis Timor Leste Gunakan BBM RI Secara Ilegal

Sejumlah pebisnis minyak di Timor Leste hingga kini masih mengambil pasokan bahan bakar minyak (BBM) dari Indonesia melalui jalan-jalan tikus di perbatasan kedua negara untuk melangsungkan usahanya di negara baru tersebut. Pengambilan BBM oleh pebisnis Timor Leste secara ilegal tersebut merupakan tindakan pelanggaran hukum yang perlu segera dicegah, namun terkesan dibiarkan saja terjadi hingga saat ini.

Pebisnis Timor Leste Gunakan BBM RI Secara Ilegal
(Ilustrasi) Antrean SPBU. Antara foto/oky lukmansyah/foc/16.

tirto.id - Sejumlah pebisnis minyak di Timor Leste hingga kini masih mengambil pasokan bahan bakar minyak (BBM) dari Indonesia melalui jalan-jalan tikus di perbatasan kedua negara untuk melangsungkan usahanya di negara baru tersebut.

"Saya melakukan penelitian khusus mengenai bisnis BBM di Timor Leste, dan menurut sejumlah pebisnis BBM, khususnya bensin, mereka mengakui bahwa bahan bakar minyak tersebut didatangkan dari Indonesia," kata pengamat hukum internasional dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Kupang Dr DW Tadeus kepada Antara di Kupang, Kamis (7/7/2016).

Menurut pengakuan mereka, kata Tadeus, BBM tersebut didatangkan dari Belu dan Timor Tengah Utara di Provinsi Nusa Tenggara Timur, karena letaknya berbatasan langsung dengan negara baru tersebut.

BBM tersebut diseludupkan ke wilayah Timor Leste melalui jalan-jalan tikus di perbatasan kedua negara, sehingga mereka tetap eksis melangsungkan usahanya di sektor tersebut.

Menurut dia, para pebisnis minyak dari Timor Leste masih terus mengambil BBM di Indonesia secara ilegal itu karena harga BBM, khususnya bensin tergolong mahal di negara setengah Pulau Timor itu.

"Saya pernah melakukan penelitian khusus mengenai hal ini dan sempat jalan bersama pebisnis minyak dari Timor Leste untuk menelusuri jejak minyak tersebut," ujar Ketua Bidang Hukum Internasional Fakultas Hukum Undana Kupang itu.

Tadeus mengatakan para pebisnis minyak tersebut mengambil BBM bersubsidi dari Indonesia kemudian menjualnya di Timor Leste dengan harga yang lebih mahal.

Harga BBM bersubsidi khususnya bensin di Inonesia saat ini Rp6.450/liter, sementara di Timor Leste mencapai 1,4 dolar AS/liter atau setara Rp13.400/liter.

"Kalau bensin dijual eceran, harganya mencapai 2 dolar AS/liter atau setara Rp26.800/liter. Mereka meraih keuntungan berlimpah dari BBM bersubsidi untuk kebutuhan rakyat Indonesia," ujarnya.

Tadeus menilai pengambilan BBM oleh pebisnis Timor Leste secara ilegal tersebut merupakan tindakan pelanggaran hukum yang perlu segera dicegah, namun terkesan dibiarkan saja terjadi hingga saat ini.

"Ini merupakan pencurian dan tidak boleh dibiarkan oleh pemerintah Indonesia," katanya dan meminta kementerian terkait untuk segera membuat regulasi yang mengatur tentang aturan pengisian BBM bagi kendaraan dari luar negeri di wilayah Indonesia.

Menurut dia, pengambilan BBM secara ilegal merugikan negara Indonesia khususnya masyarakat di wilayah perbatasan NTT karena jatah pasokan bahan bakar untuk NTT jelas berkurang.

"Masyarakat Indonesia di wilayah perbatasan mengalami kelangkaan karena pasokan minyak sebagian diselundupkan ke negara tetangga Timor Leste," katanya.

Ia mengatakan, para pebisnis minyak masih terus melakukan penyelundupan ke Timor Leste, karena menurutnya, mereka merasa tidak ada teguran dari pemerintah Indonesia selaku pemilik.

Tadeus berharap pemerintah pusat atau Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) harus mengambil langkah cepat dan tegas untuk membuat regulasi melarang pengambilan BBM di daerah perbatasan.

"Pemerintah pusat maupun provinsi yang menjadi perpanjangan tangan harus membuktikan dengan aksi nyata dan tidak boleh masa bodoh dengan persoalan yang dihadapi masyarakat perbatasan," katanya.

Menurut dia, kasus pelanggaran kedaulatan negara bukan hanya terkait pencaplokan wilayah batas negara oleh negara lain, namun juga mengambil sumber daya secara ilegal seperti BBM tersebut.

Ia menambahkan hukum internasional tidak membolehkan hal itu dan ini merupakan tindakan pidana karena melakukan pencurian apalagi ini menyangkut kedaulatan bangsa Indonesia.

"Jadi tidak ada alasan untuk terus melakukan pembiaran, karena subsidi yang diberikan negara kepada rakyat Indonesia, justru dinikmati juga oleh rakyat di negara lain. Ini sama sekali tidak dibenarkan," demikian DW Tadeus.

Baca juga artikel terkait BISNIS

tirto.id - Bisnis
Sumber: Antara
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Yandri Daniel Damaledo