tirto.id - Revisi Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2006 tentang Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), masih bergulir di DPR RI. Beleid ini telah menjadi RUU usulan dewan.
Revisi UU ini akan mengubah nomenklatur Wantimpres menjadi Dewan Pertimbangan Agung (DPA). Hal itu termaktub dalam Pasal 1A RUU Wantimpres. Selain itu, ada sejumlah hal yang diubah dalam aturan ini lewat revisi UU Wantimpres.
Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR RI dari Fraksi PDIP, TB Hasanuddin, mengakui secara pribadi tidak menyetujui perubahan nomenklatur dari Wantimpres menjadi DPA. Menurut dia, perubahan itu tak berpengaruh terhadap tugas dan fungsi Wantimpres.
"Tetapi, akan lebih sempurna tidak usah pakai istilah DPA, [cukup] Dewan Pertimbangan Presiden saja. Jadi, tetap seperti Wantimpres," kata Hasanuddin saat dihubungi Tirto, Senin (22/7/2024).
Ia khawatir perubahan itu justru berdampak pada kedudukan DPA yang akan sejajar dengan presiden. Anggota Komisi I DPR RI itu mengatakan tidak setuju bila kedudukan presiden sama dengan DPA.
"Kalau nanti diminta statusnya DPA ini sejajar sama dengan presiden berarti sama dengan DPR, saya tidak setuju alias saya menolak, mengapa? Karena soal kesetaraan lembaga, misalnya eksekutif dengan legislatif dengan presiden setara atau tidak setara harus diatur dengan UUD," ucap Hasanuddin.
Hasanuddin sepakat bila tugas pokok DPA sama dengan Wantimpres. Namun, dirinya lebih bersyukur tidak ada perubahan nama dari Wantimpres menjadi DPA.
"Kalau sama [kedudukan DPA dengan presiden], tidak sesuai dengan UUD hasil amandemen. Itu sama dengan mengembalikan ke UUD sebelum amandemen, posisi DPA seperti itu," kata Hasanuddin.
Sebelumnya, Ketua DPR RI, Puan Maharani, mengaku belum bisa memastikan kapan revisi UU Wantimpres yang diubah menjadi Dewan Pertimbangan Agung akan rampung.
Ia mengatakan bila memungkinkan revisi beleid itu akan selesai pada era Presiden Jokowi, tetapi kemungkinan baru rampung pada periode Presiden terpilih Prabowo Subianto.
Pasalnya, revisi aturan itu baru disahkan menjadi UU inisiatif DPR dalam rapat paripurna, Kamis (11/7/2024) hari ini.
"Yang pasti jika memang dimungkinkan selesai, jika dimungkinkan ya. Jika ada waktu satu bulan untuk kemudian presiden menandatangani undang-undang tersebut sebelum masa jabatan presiden yang sekarang berakhir. Namun, jika tidak memungkinkan tentu saja presiden yang akan datang pasca 20 Oktober," kata Puan di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis pekan lalu.
Menurut Puan, kepastian revisi beleid itu rampung pada era Presiden Jokowi atau tidak tergantung sidang paripurna pada 16 Agustus 2024 mendatang.
"Jadi, kita tunggu sidang yang akan datang, yang akan dibuka pada 16 Agustus,” ucapnya.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto